IHSG Tertekan Akibat MSCI Update, Investor Disarankan Cermati Emiten Berfundamental Kuat
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah dalam dua hari terakhir, seiring munculnya kekhawatiran pasar terhadap proposal terbaru MSCI.
IDXChannel – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah dalam dua hari terakhir, seiring munculnya kekhawatiran pasar terhadap proposal terbaru MSCI yang mengusulkan perubahan metode perhitungan free float atau Foreign Inclusion Factor (FIF) di pasar saham Indonesia.
Pada perdagangan Selasa (28/10/2025), IHSG ditutup melemah 24,52 poin atau 0,3 persen ke level 8.092,63. Investor asing tercatat membukukan net sell sebesar Rp1,2 triliun. Pelemahan ini melanjutkan koreksi pada hari sebelumnya, ketika IHSG turun tajam 1,87 persen dan sempat merosot lebih dari 3,3 persen pada perdagangan intraday.
Dalam riset terbarunya, UOB Kay Hian Sekuritas menilai penurunan indeks bersifat sementara. Analis merekomendasikan agar investor tetap berfokus pada emiten berfundamental kuat dengan valuasi menarik, terutama di antara saham big-cap laggards.
“Perubahan ini masih berada pada tahap konsultasi hingga 31 Desember 2025, dan belum memiliki dampak langsung terhadap perdagangan,” tulis analis UOB Kay Hian, Willinoy Sitorus, dalam riset yang terbit Selasa (28/10/2025).
MSCI tengah mempertimbangkan penggunaan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai acuan tambahan dalam menghitung free float saham di Indonesia. Berdasarkan usulan tersebut, MSCI akan menggunakan nilai free float terendah antara estimasi internal dan data KSEI, dengan mengecualikan kepemilikan korporasi serta pihak non-publik dari perhitungan.
UOB Kay Hian Sekuritas menilai, skema baru ini berpotensi membuat sejumlah saham berisiko dikeluarkan dari indeks MSCI Indonesia jika batas minimum free float dinaikkan. Beberapa saham yang disebut berpotensi terdampak antara lain ICBP, KLBF, INDF, CPIN, AMRT, AMMN, dan CUAN.
Namun, analis menilai reaksi pasar yang menekan IHSG kali ini lebih bersifat jangka pendek. “Kondisi ini justru bisa dimanfaatkan untuk melakukan akumulasi pada saham-saham dengan fundamental solid, yang valuasinya telah menarik setelah terkoreksi,” demikian kata riset tersebut.
UOB Kay Hian Sekuritas merekomendasikan sejumlah saham yang dinilai berpotensi mencatat kinerja unggul dalam jangka menengah.
Beberapa di antaranya adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT).
Kemudian, saham PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), PT Archi Indonesia Tbk (ARCI), PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA).
Riset tersebut juga mencatat bahwa perubahan metodologi MSCI ini baru akan diterapkan pada Mei 2026, bertepatan dengan pembaruan global terhadap sistem free float adjustment yang lebih komprehensif.
“Dengan horizon waktu yang masih panjang, investor memiliki ruang untuk memposisikan portofolio pada saham-saham dengan kinerja solid, earnings visibility jelas, dan valuasi yang relatif murah,” kata riset tersebut.
Sementara itu Head of Research Kiwoom Research, Liza Camelia Suryanata, menilai penurunan tajam IHSG pada perdagangan Senin lalu lebih disebabkan oleh aksi ambil untung (profit taking) dan reposisi dana oleh investor domestik, bukan karena penarikan modal asing.
"Investor asing tetap bertahan, hanya lebih selektif memilih saham yang likuid, valuasi fair, dan punya free float besar," ujarnya.
Faktanya, demikian katanya, investor asing malah mencatatkan net foreign buy sebesar Rp340 miliar di regular market dan Rp1,2 triliun di semua market.
"Isu MSCI ini lebih soal rotasi dan redistribusi dana, bukan 'flight to safety' keluar dari Indonesia," tutur Liza.
Sesaat setelah isu MSCI update muncul pada Senin lalu, IHSG langsung terkoreksi signifikan hingga melebihi 3,3 persen, meskipun berhasil rebound dan ditutup minus 1,87 persen.
Menariknya, pada hari yang sama, saham BBCA justru menguat ke level Rp8.350 dengan net foreign buy mencapai Rp338,43 miliar. Volume perdagangan tercatat sebanyak 1,82 juta lot dengan nilai transaksi Rp1,51 triliun, menjadi yang terbesar kedua pada hari tersebut.
BBCA merupakan salah satu emiten perbankan yang masih mencatatkan kinerja positif hingga kuartal III-2025. Laba bersih tercatat Rp43,4 triliun hingga akhir September 2025, tumbuh 6 persen secara year on year.
Pendapatan operasional sebelum pencadangan (PPOP) meningkat 8 persen yoy, ditopang oleh kenaikan pendapatan bunga bersih sebesar 5 persen dan pendapatan nonbunga sebesar 12 persen. Sementara itu, beban operasional tetap terkendali dengan kenaikan hanya 4 persen, menjaga rasio biaya terhadap pendapatan (CIR) stabil di level 29 persen, lebih baik dibandingkan panduan tahunan sebesar 32 persen. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.