Income Investor, Yuk Pilih Saham Royal Dividen di Era Bunga Tinggi
Suku bunga acuan BI kembali naik di tengah naiknya suku bunga The Fed. Ini jadi pertimbangan investor untuk berinvestasi di deposito, obligasi, maupun saham.
IDXChannel – Bank sentral global beramai-ramai mengerek suku bunga acuan demi menekan angka inflasi yang meninggi. Hal tersebut turut berdampak pula terhadap tingkat imbal hasil aset investasi, mulai dari deposito sampai saham.
Bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed), misalnya, kembali menaikkan suku bunga. Hal tersebut kemudian disusul dengan keputusan Bank Indonesia (BI) untuk turut menaikkan suku bunga acuan yang berdampak luas bagi perekonomian.
Adapun Investing.com mencatat, The Fed menaikkan suku bunga acuan menjadi kisaran 3,00 persen-3,25 persen atau naik sebesar 75 basis poin (bps). Ini merupakan level tertinggi sejak 2008 lalu.
Menyusul keputusan The Fed, berbagai negara juga dilaporkan menaikkan suku bunga acuan mereka, tak terkecuali Indonesia. BI turut menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen.
Di Inggris, Bank of England (BOE) juga menaikkan suku bunga dasarnya sebesar 0,5 poin menjadi 2,25 persen sebagai dampak dari tingginya inflasi di negara tersebut yang mencapai 9,9 persen.
Kenaikan suku bunga tentunya berdampak luas bagi kegiatan perekonomian.
Di dalam negeri, misalnya, naiknya suku bunga dapat menyebabkan pertumbuhan kredit perbankan terganggu sebab bunga kredit bank turut meningkat sehingga masyarakat enggan mengambil pinjaman di bank.
Di samping itu, perbankan saat ini masih menghadapi restrukturisasi pinjaman pasca pandemi Covid-19 di mana terdapat debitur yang belum mampu melakukan pembayaran kredit meski sudah diberikan relaksasi.
Kenaikan suku bunga berarti turut menaikkan bunga deposito yang menjadi kabar baik bagi masyarakat yang menyimpan uangnya di deposito. Naiknya bunga deposito sebagai penyesuaian dari naiknya suku bunga acuan dari bank sentral.
Adapun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan, bunga deposito perbankan akan naik dari 10 hingga 15 poin suku bunga deposito pada akhir tahun ini.
Data LPS per September mencatat, saat ini bunga deposito simpanan rupiah untuk Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) I berada di level 2,7 persen, sedangkan KBMI II sebesar 2,34 persen, serta KBMI III dan IV masing-masing mencapai 2,05 persen dan 1,88 persen.
Berdasarkan pengelompokkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), KBMI I untuk bank yang modal intinya kurang dari Rp6 triliun. Kemudian untuk KBMI II adalah kelompok bank dengan modal inti mencapai Rp6 triliun-Rp14 triliun.
Sementara KBMI III adalah kelompok bank yamg modal intinya Rp14 triliun-Rp70 triliun. Terakhir yaitu KBMI IV yakni bank dengan modal inti lebih dari Rp70 triliun, yang terdiri dari bank big four Tanah Air.
Adu Cuan Investasi Deposito-Obligasi Vs Saham
Per Rabu (28/9), besaran rata-rata suku bunga deposito rupiah perbankan di big four bank Tanah Air dalam kurun 12 bulan berkisar antara 1,90 persen hingga 3 persen.
Adapun Bank Mandiri mencatatkan persentase rata-rata suku bunga deposito rupiah terbesar yakni mencapai 3 persen. Kemudian disusul dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yaitu sebesar 2,75 persen.
Sementara rata-rata suku bunga deposito big four perbankan lainnya, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Central Asia (BCA) masing-masing berada di angka 2,50 persen dan 1,90 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Berinvestasi pada deposito memiliki kelebihan seperti risiko kerugian yang lebih kecil dari fluktuasi pasar. Adapun LPS juga akan menjamin dana nasabah bila bank tempat menyimpan uang mengalami kebangkrutan, dengan syarat bank tersebut harus menjadi anggota LPS.
Meski dari segi keamanan investasi deposito lebih unggul, menyimpan uang di deposito rentan terkena inflasi yang tinggi karena meski nilai bunga yang diberikan tinggi, akan tetap tergerus inflasi sehingga tidak menambah keuntungan nasabah.
Selain itu, dibandingkan jenis investasi lainnya seperti saham maupun obligasi, yield (imbal hasil) dari deposito tergolong paling rendah.
Sebagai perbandingan, yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun per Rabu (28/9), menurut data Investing, lebih tinggi dari deposito, yakni mencapai 7,52 persen.
Berinvestasi di obligasi juga menguntungkan untuk tabungan jangka panjang serta lebih aman dan terpercaya bila memilih obligasi pemerintah. Terlebih, risikonya juga lebih rendah dibanding berinvestasi di saham.
Melihat plus minus memegang deposito dan/atau obligasi di atas, bagaimana dengan berinvestasi di saham yang doyan bagikan dividen jumbo?
Kendati pergerakannya sangat fluktuatif, berinvestasi di saham dengan dividend yield yang tinggi berpotensi mendatangkan ‘cuan’ yang lebih besar. Apalagi, buat para penganut income investing yang mengandalkan keuntungan dari dividen.
Informasi saja, dividen adalah pembagian laba atau hasil yang dibayarkan kepada pemegang saham berdasarkan jumlah saham yang dimiliki berupa uang tunai atau saham.
Adapun terdapat beberapa saham emiten yang memiliki dividend yield tinggi, terutama dari sektor pertambangan yang sedang mengalami booming komoditas.
Misalnya, emiten batu bara PT Mitrabara Adiperkasa Tbk (MBAP) yang dividend yield-nya per September 2022 mencapai 16,79 persen.Bisa dikatakan, perusahaan memiliki dividend yield yang tinggi bila angkanya di atas 5 persen.
Dividend yield adalah tingkat pengembalian dalam bentuk dividen tunai kepada pemegang saham. Dengan kata lain, dividend yield dapat digunakan untuk melihat tingkat keuntungan yang diberikan perusahaan.
Sementara emiten lain yakni perusahaan alat berat PT Hexindo Adiperkasa Tbk (HEXA) juga memiliki rata-rata dividend yield yang tinggi dalam kurun tiga tahun terakhir yakni mencapai 16,87 persen.
Terlebih emiten ini juga masuk dalam IDX High Dividend 20 (IDXHIDIV20), yakni kelompok saham emiten yang rajin membagikan dividennya.
Selain HEXA, terdapat beberapa emiten lainnya yang masuk dalam deretan IDXHIDIV20 dengan rata-rata dividend yield dalam tiga tahun terakhir seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Rerata dividend yield ITMG dalam tiga tahun terakhir mencapai 11,49 persen, sementara PTBA sebesar 10,41 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)
Selain dapat ‘cuan’ dari perolehan dividen, berinvestasi di saham juga mendatangkan cuan dari perolehan capital gain yaitu selisih keuntungan dari jual-beli saham.
Sebagai contoh, HEXA mencatatkan capital gain yang jumlahnya menanjak hingga 80 persen dalam lima tahun. Ini karena semenjak mengalami rebound pasca pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, saham HEXA berada dalam tren menanjak (uptrend).
Kendati demikian, berinvestasi di saham maupun obligasi memiliki risiko masing-masing.
Dalam berinvestasi di obligasi, terdapat risiko gagal bayar terlebih jika peminjam tidak mampu membayar bunga dan pokok utang. Walaupun, dalam kasus obligasi pemerintah, risiko gagal bayar terbilang lebih minim dibandingkan dengan obligasi korporasi.
Selain itu, tingkat bunga obligasi juga bergantung pada bunga pasar keuangan. Artinya, bila harga obligasi naik maka tingkat bunga akan turun, begitupula sebaliknya.
Sementara berinvestasi di saham cukup berisiko sebab harga saham yang sangat fluktuatif dapat menyebabkan capital loss atau kondisi dimana investor menjual saham dengan harga lebih rendah dari harga belinya.
Di samping itu, investor juga dihadapkan dengan risiko dilikuidasi yakni bila emiten dinyatakan bangkrut oleh pengadilan atau perusahaan tersebut dibubarkan.
Oleh sebab itu, investor perlu mencermati kinerja perusahaan, prospek industri dari emiten tersebut, tren kenaikan harga saham, hingga dividend yield yang konsisten setidaknya di atas 7 persen dalam kurun tiga tahun terakhir.
Dividend Yield Jumbo, Bagaimana Kinerja Saham dan Keuangan Emiten?
Selain memiliki dividend yield yang tergolong tinggi, emiten dalam kategori tersebut memiliki kinerja saham yang baik sepanjang 2022. Contoh saja, MBAP yang mencatatkan kenaikan harga saham tertinggi di banding emiten lain.
Melansir data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) pada penutupan Rabu (28/9), harga saham MBAP secara year to date (YTD) terkerek hingga 147,22 persen secara year on year (yoy).
Di samping itu, MBAP juga mencatatkan kinerja keuangan yang apik pada semester I-2022. Menurut laporan keuangannya, pendapatan bersih MBAP melesat 89,78 persen menjadi US248,22 juta senilai dengan Rp3,68 triliun dengan asumsi kurs Rp14.848/USD berdasarkan laporan keuangan emiten.
Sementara laba bersih emiten batu bara ini juga terbang hingga 279,70 persen menjadi USD111,69 juta atau setara dengan Rp1,66 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)
Adapun dari segi kinerja keuangan, ITMG mencetak laba bersih dan pendapatan bersih yang mengungguli emiten dengan dividend yield tinggi lainnya.
Pendapatan bersih yang diperoleh emiten batu bara tersebut di semester I-2022 menanjak hingga 110,19 persen sedangkan laba bersihnya juga meroket hingga 291,78 persen secara yoy.
Sebagaimana disampaikan dalam laporan keuangan emiten, pendapatan bersih ITMG di semester I-2022 melesat menjadi USD1,42 miliar atau Rp21,11 triliun. Sedangkan laba bersih yang dibukukan di periode ini mencapai USD460,82 juta atau setara Rp6,84 triliun.
Meningkatnya pendapatan ITMG secara signifikan ditopang oleh pendapatan batu bara dari pihak ketiga yang melambung hingga 114,22 persen menjadi USD1,38 miliar (Rp20,47 triliun). Adapun segmen ini turut menyumbang 97% terhadap pendapatan bersih ITMG.
Sementara pendapatan batu bara dari pihak berelasi juga terkerek 52,09% menjadi USD41,61 juta (Rp618,58 miliar).
Selain kinerja keuangan yang melesat, performa saham ITMG juga meroket hingga 102,21 persen secara YTD pada penutupan Rabu (28/9). (Lihat grafik di bawah ini.)
Di periode yang sama, saham emiten-emiten dengan dividend yield tinggi yang melesat secara YTD di atas 50 persen yaitu HEXA dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), masing-masing yaitu 54,35 persen dan 53,40 persen.
Sedangkan dari kinerja keuangannya, PTBA lebih uggul dari HEXA dari segi pertumbuhan pendapatan bersih dan laba bersih. Adapun berdasarkan laporan keuangan PTBA, pendapatan bersih emiten batu bara ini tumbuh 79,02 persen menjadi Rp18,42 triliun.
Sementara laba bersihnya juga terkerek hingga 246,14 persen sebesar Rp6,16 triliun di semester I tahun ini.
Menyusul PTBA, pendapatan bersih HEXA melesatmencapai 54,52 persen menjadi USD114,11 juta atau setara Rp1,69 triliun. Sedangkan laba bersih yang dibukukan di periode ini sebesar USD9,05 juta (Rp134,43 miliar) atau tumbuh sebesar 17,74 persen.
Dibanding emiten-emiten dengan dividend yield tinggi di atas, performa saham maupun keuangan PT Indosat Tbk (ISAT) kalah unggul. BEI mencatat, pada penutupan Rabu (28/9), saham ISAT tumbuh positif di 17,74 persen.
Adapun pendapatan bersihnya juga masih bertumbuh sebesar 50,34 persen di semester I-2022 menjadi Rp22,53 triliun.
Kendati demikian, laba bersih ISAT di periode ini terkontraksi hingga minus 41,76 persen menjadi Rp3,26 triliun. Padahal di semester I-2021, ISAT masih membukukan laba bersih yang mencapai Rp5,60 triliun.
Dengan demikian, berinvestasi di saham bisa jadi pilihan investor di tengah naiknya suku bunga yang menyebabkanaset investasi di tempat lainnya, seperti deposito maupun obligasi, menjadi lebih menarik karena yield-nya turut meningkat.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.