Ini Tiga Sentimen yang Wajib Diperhatikan di 2022, dari Tapering Off hingga Kenaikan Suku Bunga
Secara keseluruhan, kondisi makroekonomi Indonesia saat ini masih solid
IDXChannel - Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun ini mencapai USD423,1 miliar atau sekitar Rp 6.008 triliun, naik 3,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Utang tersebut digunakan untuk penerbitan global bonds, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro.
"Selain itu ditujukan juga untuk mendukung belanja prioritas pemerintah, termasuk kelanjutan upaya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)," ujar Wijen Pontus, CTA, CEWA CEO PT. Kanaka Hita Solvera Founder B-Trade, Selasa (11/1/2022).
Bank Indonesia juga mencatat rasio utang luar negeri (ULN) Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 37 persen pada kuartal III/2021.
"Secara keseluruhan, kondisi makroekonomi Indonesia saat ini masih solid," papar dia. Namun ada tiga sentimen yang wajib diperhatikan pertama percepatan tapering.
Federal Open Market Committee (FOMC) Meeting bulan Desember ini membahas mengenai percepatan tapering menjadi USD30 miliar per bulan mulai Januari 2022 dan berakhir pada Maret 2022.
"Berpotensi melemahkan rupiah mengingat potensi gejolak Foreign Flow dan bisa menjadi katalis penurunan harga komoditas (gold, oil)," jelas dia.
Kedua omicron Efek. WHO pada 26/11 mengkonfirmasi varian baru Covid-19 yaitu
Omicron.
"Pada awal kemunculan omicron, para pelaku pasar merespon omicron sebagai katalis negatif karena berpotensi meningkatkan ketidakpastian dan kekhawatiran di market," jelas dia.
Ketidakpastian dan kekhawatiran tersebut disebabkan bahwa omicron berdasarkan suatu penelitian memiliki kemampuan
menyebar sebanyak 5x lipat jika dibandingkan dengan varian delta.
Ketiga kenaikan suku bunga oleh The Fed.
Risalah rapat Federal Reserve Amerika Serikat (AS) pada 5 Januari 2021 mengisyaratkan bank sentral mungkin harus menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan (hawkish).
"Ini bertujuan untuk menurunkan tingkat inflasi AS yang sudah terlalu
tinggi terutama pada akhir tahun 2021. Sehingga kondisi ini menjadi katalis negatif bagi pasar saham," papar dia.
(SANDY)