Kembali Terpilih Jadi Presiden, Ini Catatan Negatif Xi Jinping di Bidang Ekonomi
tiga periode kepemimpinan Presiden China Xi Jinping membuat investor takut.
IDXChannel - Presiden China, Xi Jinping, secara resmi telah terpilih untuk periode ketiga kalinya sebagai pemimpin tertinggi Negeri Tirai Bambu. Sayang, kepastian ini lebih banyak direspon negatif oleh para pakar ekonomi, termasuk dari kalangan pelaku pasar modal domestik dan internasional.
Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah terkait kebijakan Xi Jinping yang cenderung gemar mengintervensi kinerja sektor ekonomi dan dunia usaha, sehingga kerap kali berimbas buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Misalnya saja tentang kengototan Jinping untuk tetap menerapkan kebijakan zero COVID-19, padahal terbukti benar-benar menekan perekonomian nasional China hingga terbenam dalam zona deflasi.
Namun, tiga periode kepemimpinan Presiden China Xi Jinping membuat investor takut. Keterlibatan negara yang lebih besar dalam perekonomian menjadi persoalan.
Dengan beragam pertimbangan tersebut, kembali naik tahtanya Xi Jinping pun disambut dengan aksi jual aset yang marak dilakukan oleh pelaku pasar, seiring dengan kekecewaan atas hasil Kongres Partai Komunis yang menunjuk kembali Jinping sebagai Sekretaris Jenderal, sekaligus melanggengkan kekuasaan Sang Presiden.
Aksi jual aset nampak jelas, misalnya yang terlihat pada indeks acuan CSI yang merosot lebih dari dua persen dalam minggu ini. Sedangkan obligasi dolar dengan imbal hasil tinggi telah turun selama tujuh hari berturut-turut.
“Hasil kongres menunjukkan hal yang berbeda dari apa yang diharapkan oleh pasar, dalam hal (kebijakan) zero COVID-19, properti, dan kepemimpinan senior,” ujar Kepala Ekonom di Grow Investment Group, Hao Hong, di Hong Kong, sebagaimana dilansir Bloomberg.
Sedangkan Ahli Strategi Pasar di Saxo Capital Market, Redmond Wong, mengingatkan bahwa pasar China yang kini tampak lesu disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat, baik dari segi siklis maupun struktural.
Menurut Wong, kinerja pasar saat ini sangat buruk, sehingga investor menantikan kebijakan yang lebih bersifat mendorong pemulihan ekonomi. Sementara di lain pihak, Xi Jinping, justru lebih menaruh perhatian pada kemandirian teknologi, kebijakan Zero Covid dan minimnya penanganan krisis properti.
Melihat kinerja saham dan yuan yang melemah mengisyaratkan kegagalan China dalam menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi. Para analis mempermasalahkan beban hutang yang dirasa membebani pertumbuhan ekonomi.
Yuan mengalami penurunan sebesar 0,7 persen, sehingga berada di level 7,2747 terhadap dolar AS. Mata uang tersebut telah turun lebih dari 12 persen, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Namun Bank Rakyat China setidaknya mendapat pelonggaran untuk membantu memulihkan ekonomi meski The Fed akan memulai kenaikan suku bunga agresif kembali. Para analis tidak melihat adanya penurunan dalam kelemahan yuan.
"Selama Anda terus mengharapkan dolar (AS) untuk tidak berhenti, maka (nilai tukar) Yuan (terhadap dolar AS) masih memiliki ruang untuk mendorong lebih tinggi," ujar Ahli Strategi Pasar Negara Berkembang di NatWest Markets, Galvin Chia, dalam laporan tersebut. (TSA)
Penulis: Ribka Christiana