Kimia Farma (KAEF) Fokus Perbaiki Fundamental Bisnis, DPR: Butuh Waktu 2-3 Tahun
beban biaya produksi yang semakin membengkak membuat KAEF jadi sulit bersaing dengan para kompetitornya dari sektor swasta.
IDXChannel - Upaya PT Kimia Farma Tbk (KAEF) untuk fokus menata bisnisnya dengan mengoptimalkan kapasitas terpakai pabrik memantik sejumlah respons positif dari berbagai pihak.
Salah satu apresiasi datang dari Anggota Komisi VI DPR RI, Harris Turino, yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VI dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor farmasi belum lama ini.
"Langkah pengoptimalan itu memang penting untuk dilakukan, karena dengan 10 pabrik yang ada saat ini, utilitasnya cukup rendah, hanya 40 persen saja. Jauh di bawah rata-rata utilitas pabrik farmasi swasta yang di kisaran 70 persen," ujar Harris, kepada IDXChannel, Jumat (21/6/2024).
Dengan tingkat utilitas yang jauh tertinggal tersebut, menurut Harris, tentu membuat beban biaya produksi membengkak, sehingga membuat KAEF jadi sulit bersaing dengan para kompetitornya dari sektor swasta.
Meski, diakui Harris, bukan perkara mudah bagi KAEF untuk dapat mendongkrak tingkat utilitas tersebut, sehingga setara dengan para pesaing dari kalangan swasta. Salah satunya adalah dengan pengurangan kapasitas produksi existing, dari saat ini sebanyak 10 pabrik, menjadi hanya lima pabrik saja.
Saat ini, KAEF diketahui memiliki 10 pabrik obat yang tersebar di wilayah Indonesia. Pabrik Sinkona (Subang), Pabrik Banjaran (Bandung), pabrik Marin Liza (Bandung), pabrik Lucas Djaja (Bandung), Pabrik Sungwun (Cikarang), pabrik Phapros (Semarang), pabrik Watudakon (Jombang), dan 3 pabrik lainnya yang berlokasi di Jakarta, Semarang, dan Bali.
"Jadi secara teknis, KAEF harus tentukan pabrik-pabrik mana saya yang masih bisa dioptimalkan kapasitasnya. Lalu pindahkan fasilitas produksi dari pabrik-pabrik yang tidak optimal ke pabrik yang mau dipertahankan tadi. Artinya, suka atau tidak, memang harus ada (pabrik) yang ditutup untuk efisiensi," tutur Harris.
Masalahnya, dalam industri farmasi, upaya pemindahan fasilitas produksi baru bisa dilakukan dengan perizinan yang sangat ketat. Guna melakukannya, KAEF harus mengurus izin ke berbagai pihak, seperti BPPOM, Kementerian Industri, Kementerian Kesehatan, dan lembaga-lembaga regulator lainnya.
"Untuk semua perizinan tersebut, mengurusnya tentu perlu waktu. Butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk prosesnya, sehingga kinerja KAEF ke depan bisa lebih maksimal," ungkap Harris.
Namun demikian, effort besar dan waktu yang lama tersebut menurut Harris sangat layak bila dibandingkan dengan potensi pasar farmasi di Tanah Air yang diyakininya masih sangat prospektif.
Karenanya, Harris pun juga optimistis bahwa ke depan bisnis KAEF masih memiliki potensi menjanjikan, kendati saat ini masih menghadapi banyak tantangan seperti neraca keuangan yang masih negatif.
Selain itu, sebagai BUMN KAEF memiliki peran strategis dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.
"Bisnis KAEF ini bukannya tidak menjanjikan. Bisnisnya menjanjikan. Namun, secara beban mereka terlalu besar. Jadi kalau beban ini bisa ditata ulang, dikelola dengan baik, saya yakin (bisnis KAEF) ke depan pasti bagus," tegas Harris. (TSA)