Kinerja WIFI Positif di Kuartal III, FTTH dan FWA Jadi Motor Pertumbuhan
Surge mencatatkan kinerja positif pada kuartal III-2025 ditopang oleh pertumbuhan pesat bisnis fiber-to-the-home (FTTH).
IDXChannel - PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) atau Surge mencatatkan kinerja positif pada kuartal III-2025 ditopang oleh pertumbuhan pesat bisnis fiber-to-the-home (FTTH).
Samuel Sekuritas dalam risetnya, Kamis (18/12/2025) menilai, kinerja kuat ini menjadi fondasi penting bagi prospek pertumbuhan WIFI ke depan, seiring ekspansi agresif ke layanan fixed wireless access (FWA) berbasis 5G.
Pada kuartal III, segmen WIFI membukukan pendapatan sebesar Rp501 miliar, melonjak 77,9 persen secara kuartalan (QoQ) dan 155,9 persen secara tahunan (YoY).
Lonjakan tersebut didukung oleh penambahan sekitar 400 ribu pelanggan baru layanan FTTH merek Starlite. Dengan tambahan ini, jumlah pelanggan per September 2025 mencapai 800 ribu, sementara home-passes meningkat menjadi 1,5 juta.
Secara kumulatif, pendapatan WIFI selama sembilan bulan 2025 tercatat Rp1 triliun, tumbuh 101 persen YoY, setara 74,4 persen dari estimasi pendapatan penuh 2025 versi Samuel Sekuritas dan 61,8 persen dari konsensus pasar.
Analis Samuel Sekuritas Jason Sebastian memperkirakan, jumlah pelanggan Starlite akan mencapai 1,3 juta sepanjang 2025, dengan potensi pendapatan mendekati Rp1,4 triliun, atau tumbuh 103 persen YoY.
Sementara itu, pendapatan WIFI 2026 diproyeksi melonjak 177,5 persen YoY menjadi Rp3,8 triliun, didorong oleh basis pelanggan Starlite yang diperkirakan mencapai 2,5 juta pengguna serta peluncuran layanan FWA bertarif terjangkau Internet Rakyat seharga Rp100 ribu per bulan dengan kecepatan hingga 100 Mbps.
Dari sisi profitabilitas, kinerja kuartal III sempat tertekan oleh sejumlah biaya satu kali (one-off). Manajemen mencatat adanya rugi terkait akuisisi kantor baru serta biaya aksi korporasi, yang berdampak pada margin. EBITDA margin turun ke 50,3 persen, dibandingkan 77,4 persen pada kuartal II dan 76,8 persen pada kuara. Segmen iklan digital bahkan mencatatkan EBITDA negatif sebesar Rp75 miliar.
Selain itu, beban umum dan administrasi (G&A) meningkat menjadi 16,6 persen dari pendapatan, sementara beban bunga melonjak 256,1 persen YoY seiring ekspansi bisnis. Biaya legal dan pajak terkait pembelian kantor juga mencapai Rp35 miliar.
Alhasil, laba bersih tercatat Rp32,2 miliar, sejalan dengan estimasi Samuel Sekuritas dan lebih tinggi dari konsensus pasar. Kepentingan non-pengendali turut meningkat menjadi 68,6 persen setelah masuknya investasi NTT di entitas IJE.
Meski demikian, Samuel Sekuritas memproyeksikan pemulihan margin pada kuartal akhir 2025, seiring normalisasi operasional. EBITDA margin diperkirakan kembali ke 72,8 persen, EBIT margin ke 55,5 persen, dan margin laba bersih ke 27,6 persen.
Ke depan, WIFI tengah menyiapkan ekspansi besar untuk menopang pertumbuhan jangka panjang. Setelah memperoleh spektrum 5G FWA di Wilayah 1 dan mulai melakukan pemasaran pada November 2025, layanan komersial dijadwalkan meluncur pada Januari 2026.
WIFI menargetkan sekitar 5 juta pelanggan FWA pada 2026, dengan hampir 900 ribu calon pelanggan telah terdaftar. Di mana bisnis 5G FWA akan berkontribusi sekitar Rp904 miliar terhadap EBITDA dan Rp356 miliar terhadap laba bersih pada 2026.
Dari sisi FTTH, WIFI menargetkan ekspansi hingga 5 juta home-passes dan 3 juta koneksi aktif atau tingkat take-up sekitar 60 persen. Target ini akan didukung oleh pembangunan tambahan sekitar 2.000 km jaringan backbone di Sumatera yang dijadwalkan mulai pada kuartal I-2026.
Berdasarkan prospek tersebut, Samuel Sekuritas mempertahankan rekomendasi BUY untuk saham WIFI dengan target harga Rp5.200 per saham. Valuasi tersebut mencerminkan estimasi EV/EBITDA 2027 sebesar 7,6 kali, atau sekitar 30 persen diskon dibandingkan rata-rata sektor.
Bahkan, terdapat potensi kenaikan signifikan hingga Rp16.000 per saham apabila WIFI berhasil masuk dalam indeks MSCI Global Standard.
Meski demikian, investor tetap perlu mencermati sejumlah risiko, seperti keterlambatan implementasi jaringan, pelemahan daya beli, serta potensi tekanan pada neraca keuangan.
(DESI ANGRIANI)