MARKET NEWS

Menakar Bisnis Petrokimia di Tengah Tren Bullish Harga Minyak

Maulina Ulfa - Riset 20/09/2023 11:28 WIB

Lonjakan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan minyak mentah berjangka Brent baru-baru ini mengejutkan pasar.

Menakar Bisnis Petrokimia di Tengah Tren Bullish Harga Minyak. (Foto: Chandra Asri)

IDXChannel - Lonjakan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan minyak mentah berjangka Brent baru-baru ini mengejutkan pasar.

Harga minyak melesat karena adanya rencana pengurangan pasokan oleh negara produsen utama minyak yang tergabung dalam OPEC+ dan dipimpin oleh Arab Saudi.

Tak hanya itu, penurunan produksi minyak serpih AS, mengubah arus perdagangan global di mana AS harus memenuhi kebutuhan nasionalnya dengan cara impor dari pasokan Eropa dan Asia.

Minyak mentah berjangka WTI melonjak lebih dari USD2 per barel pada perdagangan Selasa (19/9/2023) dan juga menarik Brent, sebelum melemah karena investor melakukan profit taking.

Harga minyak Brent, patokan minyak mentah global, menembus USD95 per barel, naik 0,57 persen untuk pertama kalinya sejak November 2022 pada penutupan perdagangan kemarin. Sementara, WTI mengalami penguatan 1,27 persen di level USD92,58 per barel.

Pada perdagangan hari ini, Rabu (20/9) WTI turun di level USD90,79 per barel dan Brent di level USD93,39 per barel, masing-masing turun 0,45 persen dan 0,82 persen.

Sejumlah saham migas di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga ditutup menghijau pada perdagangan Selasa.

Saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) naik 3,74 persen sementara saham PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) naik 3,19 persen. Mengikuti reli kenaikan harga minyak dalam dua minggu terakhir, saham kedua emiten migas ini telah meroket 51,36 persen untuk MEDC selama sepekan dan RAJA naik 4,28 persen dalam perode yang sama.

Saham PT Elnusa Tbk (ELSA) juga diperdagangkan lebih tinggi 0,93 persen dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) menguat 0,72 persen.

Nasib Industri Petrokimia

Kenaikan harga minyak juga bisa berdampak pada industri turunan lainnya, yakni petrokimia.

Industri petrokimia adalah industri turunan dari produksi minyak dan gas alam yang diolah menjadi bahan kimia atau bahan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari.

Industri petrokimia juga menggunakan produk pencairan batu bara sebagai bahan bakunya.

Industri petrokimia umumnya menggunakan tiga bahan baku, yaitu olefin, aromatika, dan gas sintetis.

RI termasuk salah satu negara dengan ekspor petrokimia terbesar. Pada Juli 2023, BPS mencatat nilai ekspor berbagai produk kimia mencapai USD513 juta dan berada di urutan kelima. (Lihat grafik di bawah ini.)

Contoh produk-produk industri petrokimia hulu antara lain Methanol, Ethylene, Propylene, Butadine, Benzene, Toluene, Xylenes, Fuel Coproducts, Pyrolisis Gasoline, Pyrolisis Fuel Oil, Raffinate dan Mixed C4.

Output produk-produk berbahan petrokimia contohnya adalah plastik, serat sintetis, karet sintetis, pestisida, detergen, pelarut, pupuk, obat-obatan dan vitamin.

Pemain industri petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia adalah emiten milik Prajogo Pangestu, PT. Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA).

TPIA masuk dalam jajaran perusahaan big cap di pasar saham Indonesia dengan nilai mencapai Rp230,99 triliun. TPIA juga mencatatkan kinerja keuangan turun pada kuartal dua tahun ini dengan laba bersih terkontraksi Rp8,81 miliar. Namun secara tahunan, laba bersih TPIA naik 99,09 persen memasuki Q2 2023.

Kinerja saham TPIA secara year to date juga menghijau 3,5 persen. Pada perdagangan hari ini Rabu (20/9/2023), saham TPIA terpantau memerah dengan penurunan 1,12 persen pada pukul 10.42 WIB.

Selain TPIA, ada pula PT PT Lotte Chemical Titan Nusantara Tbk (FPNI) yang juga perusahaan yang memproduksi polythylene pertama di Indonesia. 

Polythylene (PE) adalah bahan polimer yang paling banyak digunakan di dunia dan sangat mudah dijumpai di kehidupan sehari-hari. 

Pabrik asal Korea Selatan ini berinvestasi sebesar USD3,5 miliar dan akan rampung dan bisa berproduksi pada Maret 2025. Pabrik petrokimia ini diharapkan dapat mengurangi impor produk petrokimia hingga 60 persen.

Kinerja saham FPNI secara YTD terkontraksi 4,59 persen dengan laba bersih pada Q2 tahun ini mencapai Rp17,63 miliar. Meski demikian, laba bersih ini mengalami kontraksi 9,56 persen yoy. Nilai kapitalisasi pasar FPNI mencapai Rp1,16 triliun.

Berdasarkan analisis S&P Global, nasib industri petrokimia telah lama terkait dengan nasib minyak mentah.

Kenaikan dan penurunan harga minyak mentah secara langsung akan mempengaruhi produksi, investasi, dan kinerja keuangan perusahaan petrokimia.

Pasar minyak bergerak dalam siklus, dimana terdapat surplus atau keketatan pasar dengan harga yang naik atau turun sesuai dengan kondisi pasokan yang ada.

Sepanjang 1960 hingga 2012, terdapat empat siklus minyak, dengan masing-masing dua periode surplus dan pengetatan.

Misalnya, dari tahun 1981 hingga 1998, siklus surplus menyebabkan rata-rata harga minyak mentah tahunan turun dalam 13 tahun. Siklus ketatnya pasar minyak dari 1999 hingga 2012 menghasilkan surplus kapasitas produksi yang terbatas, dan harga naik dalam 12 tahun. (Lihat grafik di bawah ini.)

Mulai 2013, pasar minyak telah memasuki siklus kelima yang mungkin merupakan periode surplus lainnya (atau sering disebut Era Serpih), dengan banyak ketidakpastian mengenai berapa lama kelebihan pasokan akan berlangsung.

Sepanjang tahun lalu, industri petrokimia boleh jadi mendapat berkah dari penurunan harga minyak akibat perang Rusia-Ukraina. Kini, harga minyak kembali mulai menguat yang bisa saja menjadi hambatan bagi industri ini ke depan di mana bahan baku utama akan semakin mahal dan langka. (ADF)

SHARE