Menakar Dampak Perang Palestina-Israel Bagi Harga Minyak Dunia
Dampak dari adanya perang Israel-Hamas Palestina ini sempat membuat pasar saham maupun komoditas bergejolak.
IDXChannel - Perang Israel-Palestina masih terus berlangsung sejak pecah pada akhir pekan lalu. Dampak dari adanya perang ini sempat membuat pasar saham maupun komoditas bergejolak. Salah satu yang menjadi sorotan kini adalah harga minyak dunia.
Di awal pecahnya konflik, harga minyak mentah Brent naik USD4,18, atau 4,94 persen, menjadi USD88,76 per barel pada Senin (9/10) pukul 8.20 WIB, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berada di USD87,02 per barel, naik USD4,23, atau naik 5,11 persen.
Minyak mentah berjangka WTI melonjak lebih dari 3 persen menjadi di atas USD85 per barel pada penutupan perdagangan Senin. Kenaikan ini juga menutup beberapa kerugian dari minggu lalu setelah serangan Hamas terhadap Israel.
Menjelang akhir pekan, pada Kamis (12/10) harga minyak kembali turun di mana WTI diperdagangkan di kisaran USD83,11 atau melemah 0,46 persen dan Brent di level USD 85.57 per barel atau turun 0,29 persen.
Perang Berpeluang Lahirkan Krisis Energi
Sejarah telah mencatat peristiwa perang lekat dengan bergolaknya harga energi dunia. Sejumlah peristiwa yang melibatkan ketegangan geopolitik terutama di wilayah penghasil minyak seperti Timur Tengah.
Jika menengok sejarah, krisis minyak tahun 1973-1974 yang disebabkan oleh embargo minyak Arab Saudi karena pecahnya perang Yom Kippur, menimbulkan dampak naiknya harga minyak hingga tiga kali lipat di atas USD100 barel.
Di saat yang sama, Iran juga memutuskan memangkas produksi yang menyebabkan batalnya sejumlah kontrak dengan perusahaan Amerika Serikat (AS). Gejolak harga minyak ini tidak hanya berdampak serius bagi negara-negara industri tetapi juga bagi perekonomian dunia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: World Economic Forum (WEF)
Krisis minyak 1973 terjadi pada 15 Oktober 1973 hingga 1975 ini sempat menyebabkan terjadinya stagflasi di AS.
Pada 2011, gejolak demokratisasi di Timur Tengah yang lebih dikenal dengan istilah Arab Spring juga sempat mengangkat minyak ke harga tertinggi sepanjang sejarah mencapai USD120 per barel.
Perang kembali membawa dampak meroketnya harga minyak dari peristiwa penyerangan Russia ke Ukraina pada tahun lalu.
Harga minyak WTI tembus ke level USD110,18 per barel atau naik 6,5 pada periode Maret hingga Juni tahun lalu. Kenaikan harga juga terjadi pada minyak brent yang tembus di atas USD110 per barel. Minyak brent dan WTI berada di titik tertinggi sejak 2014.
Sejak periode tersebut, kenaikan harga minyak memicu meroketnya harga komoditas energi lainnya seperti gas alam dan batu bara.
Invasi Rusia ke Ukraina membuat harga gas alam terkerek di awal 2022. Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2021, harga gas alam naik 27,21 persen hingga 3 Maret 2022. Kika dibandingkan dengan posisi 8 Maret 2021, harga gas alam kala itu juga melonjak 78,12 persen.
Tak hanya gas alam, harga batu bara juga telah melonjak pada periode tersebut. Sepanjang Februari 2022, harga batu bara sudah menguat sebesar 38,22 persen secara month to month.
Memasuki Maret, harga batu bara kembali membara dengan menyentuh level USD446 per ton. Bahkan, jika dihitung secara year to date (ytd) kala itu, harga batu bara meroket hingga 233,83 persen.
Peta Geopolitik Terbaru
Eskalasi perang antara Israel dan Palestina kini telah menarik perhatian sejumlah negara. Sejumlah pernyataan dan dukungan telah dilancarkan oleh beberapa negara, termasuk AS, Rusia, hingga China.
Di pihak Israel, negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO, yakni AS. Inggris, Jerman, Prancis, dan Italia menyatakan dukungan terhadap Israel dan haknya untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok Islam Palestina Hamas.
Pernyataan ini secara resmi dikeluarkan oleh sejumlah petinggi negara tersebut di antaranya residen AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni melalui telepon pada Senin (09/10/2023).
Sementara, tak sedikit juga negara yang bersimpati pada Hamas dan Palestina. Rusia sempat menyatakan melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rusia, Maria Zakharova bahwa eskalasi konflik di wilayah itu sebagai konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. Menurutnya, perlu ada cara-cara politik dan diplomatik.
Di sisi lain, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, mengatakan pihaknya merasa sedih dan prihatin serta mengutuk dengan keras tindakan yang telah merugikan warga sipil.
Dalam pernyataan lainnya, China juga memiliki pandangan yang mirip dengan Rusia. Beijing dan Moskow mengatakan solusi dari konflik keduanya adalah negara Palestina yang merdeka.
"Jalan keluar mendasar dari konflik ini terletak pada penerapan solusi dua negara dan pembentukan Negara Palestina yang merdeka," kata Kementerian Luar Negeri China.
Di kasawasan Timur Tengah, Iran disebut terlibat dalam serangan Hamas ke Israel. Dalam laporan surat kabar Wall Street Journal, anggota Hamas yang tidak disebutkan namanya dan gerakan gerilya Hizbullah di Lebanon menyebut Iran memberi lampu hijau pada serangan tersebut sepekan lalu.
Saat ini Arab Saudi tengah dihadapkan pada pilihan dilema mengingat negara Raja Salman ini sedang dalam upaya memperbaiki hubungan diplomatik dengan Israel dan Iran.
Saudi selama ini menjadi pendukung kemerdekaan Palestina di Timur Tengah. Di sisi lain, Saudi juga memiliki kepentingan dalam upaya memperbaiki hubungan diplomatik dengan Israel dan Iran.
Skenario Dampak Perang Bagi Harga Minyak
Berdasarkan catatan Bloomberg, perang Israel-palestina tahun ini tidak terlihat seperti mengulangi krisis yang terjadi pada Oktober 1973.
Ini karena negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, Suriah, Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya tidak menyerang Israel secara serentak. Mereka hanya menyaksikan kejadian tersebut dari luar, bukan membentuknya.
Kondisi pasar minyak sendiri tidak sama sebelum Oktober 1973. Saat itu, permintaan minyak sedang melonjak, dan dunia telah kehabisan seluruh kapasitas produksi cadangannya.
Sementara saat ini, pertumbuhan konsumsi telah melambat dan kemungkinan akan semakin melambat seiring dengan terwujudnya kendaraan listrik.
Selain itu, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki kapasitas cadangan yang signifikan yang mereka gunakan untuk mengendalikan harga.
Terlebih, Arab Saudi melalui OPEC baru saja mengumumkan pemangkasan produksi minyak yang sempat membuat harga minyak menguat.
Meski demikian, Riyadh disebut akan puas dengan kenaikan harga minyak 10 hingga 20 persen lagi, menjadi sedikit di atas USD100 per barel dari level USD85 per barel seperti sekarang. Menurut Bloomberg, Riyadh disebut tidak berambisi mengejar target kenaikan lebih dari 100 persen di kisaran USD200 per barel.
Kondisi ini berbeda dengan 1973, di mana tepat sebelum embargo minyak pada Oktober tahun tersebut, negara-negara OPEC secara sepihak menaikkan harga resmi minyak mentah sekitar 70 persen.
Perlu diwaspadai, perang ini mungkin akan terasa bagi pasar minyak di 2024. Dampak paling langsung bisa terjadi jika Israel menyimpulkan bahwa Hamas bertindak berdasarkan instruksi Teheran.
Dalam skenario ini, harga minyak bisa naik jauh lebih tinggi. Pada 2019, Iran sempat membuktikan diri bahwa mereka mampu mengurangi sebagian besar kapasitas produksi minyak Saudi.
Hal ini bisa berarti tindakan yang sama seperti pembalasan jika mereka diserang oleh Israel atau Amerika.
Bahkan jika Israel tidak segera menanggapi Iran, dampaknya kemungkinan besar akan mempengaruhi produksi minyak Iran.
Sejak akhir tahun 2022, Washington menutup mata terhadap lonjakan ekspor minyak Iran dan mengabaikan sanksi AS. Prioritas di Washington adalah perdamaian informal dengan Teheran. Akibatnya, produksi minyak Iran telah melonjak hampir 700.000 barel per hari pada tahun ini.
Sepanjang tahun lalu, Iran juga masih masuk ke dalam jajaran negara produsen minyak terbesar. (Lihat tabel di bawah ini.)
Menurut analisis Bloomberg, jumlah tersebut cukup untuk mendorong harga minyak hingga USD100 per barel dan mungkin lebih tinggi lagi.
Rusia akan mendapatkan keuntungan dari krisis minyak di Timur Tengah. Jika Washington menerapkan sanksi terhadap Iran, hal ini dapat menciptakan ruang bagi produksi minyak Rusia yang terkena sanksi akibat invasinya ke Ukraina tahun lalu.
Salah satu alasan Gedung Putih menutup mata terhadap ekspor minyak Iran adalah karena hal itu merugikan Rusia. Sebaliknya, Venezuela juga bisa mendapatkan keuntungan karena Gedung Putih melonggarkan sanksi untuk mengurangi tekanan pasar.
Di samping itu, perbedaan utama antara lonjakan harga minyak 1973 dan sekarang adalah Washington dapat memanfaatkan Cadangan Minyak Strategisnya untuk membatasi dampaknya terhadap harga bensin.
Jika harga minyak melonjak karena ketegangan di Timur Tengah, Gedung Putih pasti akan memanfaatkan SPR. Meski berada pada level terendah dalam 40 tahun, cadangan minyak masih cukup untuk menghadapi krisis lainnya.
Menurut sejumlah analis, kekhawatiran pasar minyak terhadap situasi pasokan di Timur Tengah memberikan tekanan terbatas pada harga.
“Minyak mentah memperpanjang kerugiannya karena adanya tanda-tanda bahwa dampak perang Israel-Hamas terhadap pasar minyak akan terbatas,” kata analis ANZ dalam catatan kliennya.
Analis ING juga mengatakan dalam analisisnya bahwa remi risiko terus terkikis dengan konflik yang sebagian besar terjadi di Israel dan Palestina.
Namun ekspektasi EIA AS terhadap persediaan minyak global akan semakin menurun pada paruh kedua 2023 yang juga membatasi pelemahan harga.
Dalam laporan bulanan EIA, persediaan yang lebih rendah, yang diperkirakan akan menjaga pasokan minyak global tetap di bawah konsumsi, kemungkinan akan meningkatkan harga minyak.
Posisi Indonesia
Indonesia merupakan net importir minyak mentah dunia. Adanya konflik Israel-Palestina tidak hanya berpotensi membebani harga minyak tapi juga bisa jadi menimbulkan gangguan pasokan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Indonesia mengimpor minyak mentah sebagian besar dari Timur Tengah. Jumlahnya sekitar 15,26 juta ton di mana Nigeria, Arab Saudi, dan Azerbaijan menjadi pemasok utama. Volume impor minyak mentah ini juga meningkat sekitar 10 persen dibanding 2021. (Lihat grafik di bawah ini.)
Impor minyak mentah Indonesia dari Nigeria mencapai 5,68 juta ton. Sementara volume minyak mentah dari Arab Saudi mencapai 4,19 juta ton.
Azerbaijan memasok sebesar satu juta ton minyak mentah untuk RI. Sementara pasokan minyak lainnya dipasok oleh Angola, Australia, Gabon, Aljazair, AS, Guinea Ekuatorial, dan Malaysia.
Sebagai negara terbesar dan menduduki peringkat muslim terbanyak, Indonesia juga langsung merespon konflik Israel-Palestina baru-baru ini.
Pemerintah secara resmi menyampaikan keprihatinan atas konflik yang terjadi yang mengakibatkan korban tewas ratusan jiwa.
Tidak hanya itu, Indonesia juga mendesak agar tindakan kekerasan segera dihentikan guna menghindari jumlah korban semakin bertambah.“Indonesia sangat prihatin dengan meningkatnya eskalasi konflik antara Palestina-Israel,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Indonesia di akun resmi platform X miliknya pada Minggu (8/10/2023). (ADF)