Menanti Aturan Penyelenggara Perdagangan Karbon yang Adil dan Ideal
Kesiapan Indonesia dalam implementasi bursa perdagangan karbon terus dinanti khalayak luas.
IDXChannel - Kesiapan Indonesia dalam implementasi bursa perdagangan karbon terus dinanti khalayak luas. Saat ini, pembentukan bursa karbon memasuki fase yang sangat menentukan.
Baru-baru ini, pemerintah telah mengesahkan UU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) dan menunggu rilis aturan teknis bursa karbon dalam waktu dekat.
Sebagai informasi, bursa karbon adalah sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.
Aturan perdagangan karbon tertuang dalam Peraturan Presiden No.98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui kegiatan jual beli unit karbon perusahaan.
Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan hingga ribuan triliun dari NEK. Pendapatan ekonomi karbon diperoleh dari perdagangan karbon hutan tropis, mangrove, dan gambut dengan total potensi mencapai USD565,9 miliar.
Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan potensi penyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton dari 125,9 juta hektare hutan hujan tropis.
Sementara, luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektare dengan potensi menyerap emisi karbon 33 miliar karbon di seluruh hutan mangrove Indonesia.
Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton.
Alhasil, potensi ekonomi karbon RI yang mencapai Rp8.000 triliun berasal dari potensi hutan tropis sebesar Rp1.780 triliun, hutan mangrove Rp2.333 triliun, dan lahan gambut Rp3.888 triliun.
Urgensi Diversifikasi Aturan Main Perdagangan Karbon
Untuk memaksimalkan bursa karbon dan perdagangan karbon, perangkat aturan bursa karbon perlu disahkan untuk mempercepat dampak positif dari potensi ekonomi hijau berbasis alam atau carbon credit potential.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa bursa karbon sangat diperlukan dalam mendukung percepatan target Net Zero Emission pada 2050.
“Ini karena sektor yang memiliki unit karbon positif akan mendapat insentif dari skema perdagangan karbon. Mekanisme bursa karbon memang sudah lama ditunggu, tentu nya kualitas dari pengaturan teknis penyelenggara bursa karbon menjadi penting,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (18/4).
Selain itu dibentuknya bursa karbon mampu meningkatkan validasi data yang lebih akurat serta real-time basis transaksi karbon.
Di beberapa negara yang telah menjalankan bursa karbon, sisi positif pembentukan bursa karbon membantu penentuan harga acuan unit karbon yang sesuai standar global.
Bhima menambahkan, berkaitan dengan standar acuan bursa karbon di beberapa negara, bentuk penyelenggara bursa karbon yang ideal perlu dipisah dengan bursa efek.
Sebagai contoh penyelenggara bursa karbon di AS adalah Intercontinental Exchange (ICE), sementara untuk bursa efek terdapat New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq.
Bhima mendorong pentingnya pengaturan bursa karbon dalam RPOJK (Rancangan Peraturan OJK) dengan mendorong aturan yang memberikan ruang kompetisi yang adil kepada setiap penyelenggara yang ingin terlibat perdagangan karbon.
“Secara ekosistem dan best practics, aturan main di bursa karbon sudah selayaknya dibuat berbeda dengan bursa efek. Oleh karena itu menjadi aneh kalau ada wacana peraturan khusus dimana bursa efek bisa otomatis jadi penyenggara bursa karbon,” imbuhnya
Dalam Pasal 24 UU PPSK disebutkan bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat izin usaha OJK, bukan otomatis berasal dari penyelenggara bursa efek.
“Kita perlu memastikan aturan teknis khususnya dalam perizinan usaha bursa karbon tidak ekslusif hanya untuk bursa efek tapi terbuka bagi penyelenggara lainnya,” imbuh Bhima.
Bhima menekankan, salah satu perbedaan yang paling jelas di dalam aturan main bursa karbon terdapat penjual/pembeli dan pedagang karbon. Smentara bursa efek lebih berperan memfasilitasi investor dengan emiten.
Adapun fungsi bursa karbon berperan sebagai price discovery (penemuan harga acuan karbon), sementara bursa efek memiliki fungsi pencarian dana bagi emiten.
Menurutnya, usulan bursa efek menjadi penyelenggara bursa karbon akan menimbulkan beragam pertanyaan besar terhadap desain bursa karbon dan efektivitas perdagangan karbon di Indonesia. OJK pun perlu hati-hati dalam merumuskan aturan penyelenggara bursa karbon.
“Kita tentu melihat bahwa pemain bursa karbon kedepan bisa muncul perusahaan teknologi sebagai penyelenggara yang bukan bagian dari bursa efek. Inovasi yang muncul di ekosistem bursa karbon perlu difasilitasi oleh OJK,” imbuh Bhima.
Selain itu, Bhima menekankan, jika dibatasi hanya bursa efek sebagai penyelenggara bursa karbon, akan menghambat laju inovasi dan kedalaman pasar karbon.
“Karena kebingungan dari mekanisme bursa karbon menjadi disinsentif bagi pelaku pasar yang ingin terlibat,” pungkasnya. (ADF)