MARKET NEWS

Menanti Tuah Cuan Saham Media, Belanja Iklan Terus Bertumbuh

Melati Kristina - Riset 28/11/2022 06:30 WIB

Sektor media diproyeksikan akan bertumbuh seiring pulihnya pendapatan pasca Covid-19 yang didukung oleh TV FTA hingga OTT.

Menanti Tuah Cuan Saham Media, Belanja Iklan Terus Bertumbuh. (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Sektor media diproyeksikan akan terus berkembang seiring dengan bertumbuhnya pendapatan media pasca Covid-19 diperkuat dengan TV free to air hingga segmen Over The Top (OTT).

Gelaran Piala Dunia Qatar 2022 yang sedang berlangsung juga dapat membawa cuan bagi perusahaan TV hingga layanan streaming berbayar.

Adapun perusahaan yang diuntungkan dalam perhelatan piala dunia adalah PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang memegang hak siar Piala Dunia 2022.

Tercatat, ada empat stasiun TVdari emiten ini yang menayangkan pertandingan Piala Dunia 2022, yaitu Indosiar, SCTV, Mentari TV dan Moji.

Tak hanya itu, pertandingan tersebut juga ditayangkan melalui layanan streaming berbayar milik emiten ini, yaitu Vidio dan layanan satelit berlangganan Nex Parabola.

Melalui penayangan Piala Dunia 2022 pada platform media miliknya, emiten milik Grup Emtek ini membidik peningkatan jumlah pelanggan hingga 4 juta di platform bebayarnya.

Hal tersebut juga disebutkan dalam riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia bertajuk “Media 2023F: Competition in OTT Media Continues” yang dirilis pada Senin (21/11).

“Kami percaya acara olahraga tersebut akan menjadi langkah penting dalam meningkatkan jumlah pengguna, khususnya pelanggan berbayar Vidio,” tulis riset tersebut.

Dalam riset Mirae Asset juga disebutkan, Vidio telah mendapatkan dana dari berbagai investornya di kuartal II-2022 untuk membiayai investasi dalam menggenggam hak siar pertandingan sepak bola internasional seperti Piala Dunia Qatar 2022 dan Piala Dunia U20 Indonesia di tahun 2023.

Antusiasme masyarakat dalam mengakses TV hingga layanan streaming berbayar tak hanya meningkatkan jumlah pelanggan, akan tetapi berpotensi mendongkrak belanja iklan yang disiarkan pada media tersebut.

Mengutip data dari Nielsen bertajuk “Tanda-Tanda Pemulihan dari Sisi Angka Belanja Iklan” yang dipublikasikan pada 11 Agustus 2022, TV masih mendominasi belanja iklan dibanding media lainnya.

Adapun angka belanja iklan di TV mencapai 79,7 persen di semester I-2022. Angka ini juga bertumbuh sebesar 8 persen di banding periode yang sama tahun lalu.

Sedangkan platform digital menempati posisi ke dua dengan persentase belanja iklan sebesar 15,2 persen. Kemudian disusul media cetak yang mencapai 4,8 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Nielsen juga menyampaikan, nilai belanja iklan di semester I-2022 mencapai Rp135 triliun.

Sedangkan industri yang mengandalkan TV sebagai media iklan adalah industri Fast Moving Consumer Good (FMCG) yang menjual produk laris dan terjual dengan cepat serta memiliki harga terjangkau. Sementara beriklan di platform digital lebih dipilih oleh pemain e-commerce.

Adapun media TV yang banyak diminati masyarakat adalah free to air (FTA) atau siaran gratis yang salurannya dapat ditonton tanpa harus berlangganan.

Di lain pihak, belanja iklan industri FMCG berangsur pulih di tahun 2022 seiring bertumbuhnya perekonomian pasca pandemi.Sebagai contoh, yaitu PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang mencatatkan peningkatan belanja iklan hingga 9 bulan 2022.

Mengutip riset Mirae Asset yang disebutkan di atas, belanja iklan dari UNVR di periode inimelesat sebanyak 35 persen year on year (yoy).

“UNVR tampaknya mengurangi promosi langsung seperti promo beli satu dapat satu dan meningkatkan promosinya melalui media iklan, termasuk media digital seiring tren peningkatan aktivitas penggunaan internet,” tulis riset Mirae Asset.

Sedangkan menurut Statista, dilansir dalam Mirae Asset, total belanja iklan di industri periklanan akan mencapai USD5,9 miliar pada tahun 2023 dengan segmen terbesar adalah iklan TV dan video.

Riset tersebut juga memperkirakan, volume pasar di kedua media tersebut akan meningkat dari USD2,4 miliar di 2022 menjadi USD2,5 miliar di 2023.

Sektor iklan tentunya memberi keuntungan bagi pemain industri media, salah satunya yakni PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN). Menurut riset Mirae Asset, pendapatan iklan digital dari MNCN diproyeksi meningkat jadi Rp3 triliun hingga akhir 2022.

“Sedangkan di tahun 2023, pendapatan dari segmen ini akan bertumbuh menjadi Rp3,5 triliun,” tulis riset tersebut.

Pemain Industri Media Tanah Air

Industri media Tanah Air dikendalikan oleh sejumlah nama besar. Seperti MNCN yang merupakan emiten media yang dimiliki oleh MNC Group.

Seperti yang diketahui, MNCN memiliki jaringan TV FTA yakni MNC TV, RCTI, Global TV, hingga iNews. Selain itu, MNC juga memiliki platformOTT yaitu RCTI+.

Informasi saja OTT merupakan layanan media yang dapat diakses melalui internet melalui streaming konten di suatu platform.

Selain MNCN, emiten televisi lainnya yaitu SCMA. Tercatat, SCMA memiliki dua saluran TV FTA yakni SCTV dan Indosiar.

Selain itu, SCMA juga menguasai layanan streaming yaitu PT Vidio Dot Com atau Vidio dengan kepemilikan 99 persen dan PT Mediatama Televisi (Nex Parabola) denan kepemilikan saham 51 persen.

SCMA merupakan emiten televisi yang dikuasai oleh konglomerasi Grup Emtek melalui PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) sebagai pengendali SCMA dengan kepemilikan saham mencapai 60,97 persen.

Selain dua emiten yang disebutkan di atas, terdapat perusahaan televisi lainnya yang tercatat di bursa, yaitu PT Visi Media Asia (VIVA) dan PT Net Visi Media Tbk (NETV).

VIVA merupakan emiten media yang dimiliki oleh konglomerasi Grup Bakrie. Adapun emiten ini merupakan pengendali TV One. Selain itu, VIVA juga merupakan induk usaha dari PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) yang mengelola ANTV.

Menurut catatan Bursa Efek Indonesia (BEI) per 31 Oktober 2022, VIVA merupakan pengendali saham MDIA dengan kepemilikanmencapai 89,99 persen.

Emiten selanjutnya, yaitu NETV yang merupakan induk media yang menyiarkan siaran TV, produksi konten, hingga media digital. NETV juga tercatat baru melantai di bursa pada 26 Januari 2022.

Adapun emiten ini juga memiliki anak usaha yang bergerak di bidang pembuatan konten untuk program TV, yaitu Kreatif Inti Korpora (Creative Inc).

Kinerja Keuangan hingga Saham Masih Terkontraksi

Meskipun belanja iklan tumbuh, emiten media masih mengalami kinerja keuangan yang terkontraksi.

Melansir laporan keuangan emiten, NETV mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih yang terkontraksi hingga 19,50 persen secara yoy di 9 bulan 2022. Adapun pendapatan bersih yang diperoleh emiten ini mecapai Rp285,51 miliar.

Selain itu, NETV juga membukukan rugi bersih di 9 bulan 2022 yang mencapai Rp147,57 miliar.

Menyusul NETV, emiten lain yang turut membukukan rugi bersih yakni VIVA. Emiten milik Grup Bakrie tersebut membukukan rugi bersih yang membengkak sebesar Rp659,57 miliar di semester I-2022.

Padahal di periode yang sama tahun lalu, rugi bersih yang dibukukan oleh VIVA hanya sebesar Rp478,12 miliar.

Selain menanggung rugi bersih, VIVA juga mencatatkan pendapatan bersih yang merosot 0,66 persen menjadi Rp914,23 miliar di laporan keuangan teranyarnya pada semester I-2022.

Emiten lain yang mengalami kinerja keuangan yang terkontraksi yaitu SCMA, yang laba bersihnya di 9 bulan 2022 anjlok 21,92 persen menjadi Rp830,77 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Kendati laba bersihnya merosot, SCMA masih membukukan pendapatan bersih yang melesat sebesar 12,78 persen. Ini merupakan pertumbuhan pendapatan bersih yang paling unggul dibanding emiten lainnya.

Adapun pedapatan bersih yang diperoleh SCMA di periode ini mencapai Rp4,95 triliun. Meningkatnya pendapatan bersih SCMA ditopang oleh pendapatan iklan yang mencapai Rp5,13 triliun atau melesat sebesar 7,35 persen.

Selain itu, segmen penadapatan lain yang meningkat signifikan yaitu pendapatan lain-lain yang mencapai 47,25 persen menjadi Rp804,75 miliar di 9 bulan 2022.

Tak hanya SCMA, emiten media lainnya yang turut mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih adalah MNCN, yakni sebesar 8,46 persen menjadi Rp5,27 triliun di semester I-2022.

Selain pendapatan bersih yang meningkat, MNCN menjadi satu-satunya emiten yang mencatatkan laba bersih yang bertumbuh.

Melansir laporan keuangan emiten teranyar pada semester I-2022, laba bersih MNCN naik 0,86 persen menjadi Rp1,20 triliun.

Kendati keuangan MNCN masih bertumbuh, kinerja saham emiten ini sepanjang tahun 2022 masih memerah bersama emiten media lainnya.

Menurut data BEI per Kamis (24/11), kinerja saham MNCN secara year to date(YTD) turun hingga 10 persen.

Selain MNCN, saham lainnya yang terkontraksi yaitu SCMA, yang sahamnya merosot hingga 22,70 persen sepanjang 2022.

Di sisi lain, saham VIVA justru menunjukkan pertumbuhan yang stagnan di angka 0 persen seiring menyandang notasi khusus X dari bursa yang berarti sedang dalam pemantauan khusus.

Informasi saja, VIVA juga mendapatkan notasi khusus Y karena belum menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) sampai dengan enam bulan setelah tahun tutup buku.

Walaupun saham emiten televisi mengalami kinerja yang terkontraksi secara YTD, NETV justru mencatatkan kinerja yang melesat sejak listing perdana di bursa.

Menurut data BEI pada Kamis (24/11), saham NETV tumbuh 20,41 persen sejak pertama melantai di bursa pada Januari 2022 lalu. (Lihat grafik di bawah ini.)

Industri Media Masih Overweight

Kendati keuangan dan saham emiten-emiten media masih terkontraksi sepanjang 2022, prospek industri ini kedepannya diramal bertumbuh.

Adapun Mirae Asset meningkatkan rating industri media dari netral menjadi overweight untuk tahun proyeksi 2023.

Meski demikian, ketatnya persaingan antar emiten media di tengah kenaikan biaya untuk setiap konten yang diproduksi menjadi pertimbangan Mirae Asset dalam memberikan rating tersebut.

Mirae Asset juga menyebutkan, pembelanjaan iklan diharapkan lebih tinggi ditopang dari industri FMCG.

“Untuk tahun 2023, kami yakin segmen iklan akan terus berkembang seiring upaya industri FMCG dalam mempertahankan pangsa pasar selama periode inflasi tinggi,” tulis riset terebut.

Di samping itu, perusahaan mediadiproyeksikan bakal mengembangkan sayapnya di segmen konten digital dengan menyasar pasar OTT, mengingat segmen ini mulai diminati masyarakat luas.

Melansir riset The Trade Desk bersama Kantar per 2022 sebagaimana disebutkan dalam Daily Social, penetrasi layanan OTT di Asia Tenggara saat ini telah melampaui 31 persen. Sedangkan di Indonesia, pengguna OTT diproyeksikan mencapai 66 juta dengan tingkat penetrasi mencapai 24 persen.

Hasil survei tersebut turut menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mencapai 54 persen menghabiskan waktu 1-4 jam per hari untuk menikmati OTT.

Sedangkan, untuk TV FTA, Mirae Asset memproyeksikan media ini masih diminati oleh para pengiklan sehingga angka belanja iklan bagi platform ini masih tinggi kedepannya.

Segmen TV FTA tetap diminati masyarakat meskipun terpengaruh kebijakan Analog Switch Off atawa ASO yang jadi salah satu faktor penghambat bagi pemulihan sektor media.

Asal tahu saja, ASO adalah penghentian siaran TV analog yang sepenuhnya dialihkan ke siaran TV digital. Tercatat, kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tersebut berlaku pada area Jabodetabek dan 173 kabupaten kota di Indonesia.

“Namun perlu dicermati risiko penurunan belanja iklan dari peningkatan rate-card yang lebih rendah dari perkiraan hingga ketidakmampuan perusahaan FMCG untuk membebankan biaya yang lebih tinggi ke Average Selling Price/ASP (harga jual rata-rata produk) mereka,” tulis riset tersebut.

Dengan demikian, industri media akan terus berkembang kedepannya ditopang oleh belanja iklan dari industri FMCG di TV FTA dan potensi pengembangan segmen OTT bagi pemain industri ini.

Periset: Melati Kristina

(ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

SHARE