Mendesak, Krakatau Steel (KRAS) Butuh Dukungan Finansial
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) menghadapi tantangan berat. Salah satunya ketersediaan modal kerja alias working capital.
IDXChannel - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) menghadapi tantangan berat. Salah satunya ketersediaan modal kerja alias working capital. Perusahaan baja tersebut membutuhkan dukungan finansial agar operasional tetap berjalan.
Hingga 30 Juni 2025, posisi modal kerja Krakatau Steel negatif Rp27 triliun. Posisi kas tersisa Rp1 triliun dengan utang mencapai Rp23,7 triliun.
Direktur Utama Krakatau Steel, Akbar Djohan menilai, penyediaan modal kerja merupakan kebutuhan mendesak agar perusahaan dapat mengoperasikan fasilitas produksi secara efisien dan berkelanjutan. KS Group saat ini memiliki kapasitas produksi 7,9 juta ton per tahun dengan berbagai produk seperti Hot Rolled Coil (HRC), Cold Rolled Coil (CRC), pipa las, hingga profil konstruksi.
“Restrukturisasi keuangan dan penyediaan modal kerja menjadi kunci. Tanpa dukungan finansial, upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi tidak akan optimal,” katanya melalui keterangan resmi, Kamis (2/1/2025).
Di tengah situasi tersebut, Akbar mengusulkan agar pemerintah dan DPR dapat mendukung percepatan penyediaan modal kerja bagi perusahaan. Dukungan tersebut diharapkan tidak hanya membantu Krakatau Steel Group bertahan, tetapi juga memperkuat rantai pasok baja nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Selain internal, Krakatau Steel juga tengah menghadapi eksternal berupa serbuan baja impor dari China yang semakin masif dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut mengancam eksistensi industri baja nasional.
Akbar Djohan menilai, industri baja nasional tengah berada di persimpangan jalan. Tanpa perlindungan dan dukungan kebijakan yang tepat, Indonesia akan terus didera pada impor baja di tengah kapasitas dalam negeri yang mencukupi kebutuhan.
“Regulasi dan kebijakan dari pemerintah serta dukungan dari DPR sangat krusial. Ini bukan hanya soal kepentingan satu perusahaan, tapi tentang menjaga kedaulatan industri strategis nasional,” ujar Akbar.
Menurut Akbar, tantangan terbesar yang dihadapi industri baja nasional adalah membanjirnya produk baja impor murah, terutama dari China.
Dalam tiga tahun terakhir, ekspor baja China melonjak drastis, dari 67 juta ton pada 2022 menjadi 90 juta ton pada 2023, dan mencapai 117 juta ton pada 2024. Sekitar 50 persen dari ekspor itu mengalir ke pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
“Produk baja impor bisa dijual lebih murah hingga 20-25 dolar per ton. Tanpa instrumen perlindungan seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Safeguard melalui Bea Masuk Imbalan, dan juga Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), produsen lokal akan kesulitan bersaing,” kata Akbar.
(Rahmat Fiansyah)