Meracik Porto Saham Pembawa Cuan di 2023
Di tahun 2023, terdapat deretan sektor hingga saham yang potensial meski menghadapi tantangan dari perekonomian global hingga dalam negeri.
IDXChannel – Sejumlah sektor diproyeksikan punya prospek yang menarik pada 2023. Kendati, sejumlah tantangan dari ekonomi global hingga Tanah Air perlu diwaspadai di tahun depan.
Menurut riset Ciptadana Sekuritas bertajuk “Equity Market Outlook: Optimism Amidst Uncertainy” yang dirilis pada 27 Oktober 2022, kondisi ekonomi Indonesia cukup tangguh.
Kendati berbagai negara mencatatkan pertumbuhan negatif sejak pandemi pada 2020 lalu, IMF hanya memangkas 0,1 persen PDB Indonesia untuk tahun 2022.
“Sejalan dengan itu, pemerintah Indonesia optimistis bahwa pertumbuhan PDB Tanah Air dapat mencapai 5,3 persen di tahun 2023,” tulis riset tersebut.
Di tengah ketidakpastian pada 2023, harga komoditas dipercaya dapat kembali normal, sehingga bisa menjadi katalis positif bagi sejumlah sektor.
Sedangkan, riset Ciptadana juga percaya, kinerja Rupiah akan relatif tangguh dibanding mata uang lainnya, dan diperkirakan akan beradadi Rp14.780/USD di tahun 2023.
Kendati penuh tantangan, Indonesia akan mencerminkan makro yang solid yang berpengaruh terhadap menguatnya pendapatan sejumlah sektor dan perusahaan di tahun 2023.
Adapun, terdapat sejumlah sektor yang diproyeksi memiliki prospek menarik di tahun 2023. Melansir hasil riset dari sejumlah sekuritas yang dihimpun oleh Tim Riset IDX Channel, sektor tersebut di antaranya adalah konsumen, perbankan, telekomunikasi, dan semen.
Sektor Konsumen
Sektor konsumen diproyeksikan akan memiliki potensi menarik di 2023 setelah mengalami tekanan di tahun 2022 akibat tingginya inflasi.
Menurut riset Ciptadana yang disebutkan di atas, perilaku konsumen di era inflasi tinggi berubah seiring sektor konsumen yang tertekan di 2022 akibat lonjakan harga komoditas global.
Adapun, Ciptadana menyebutkan, memasuki 2023, sektor bahan pokok akan mengalami hambatan sejalan dengan harga bahan bakar yang melambat menjadi 3,3 persen di 2023 sebagai akibat inflasi domestik yang diperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mencapai 6 persen di tahun penuh 2022.
“Inflasi yang tinggi menyebabkan kenaikan harga yang tidak merata sehingga memengaruhi pola belanja konsumen hingga mengurangi daya beli masyarakat,” tulis Ciptadana dalam risetnya.
Hal tersebut sejalan dengan survei Nielsen, dikutip dalam riset Ciptadana, yang menyebutkan, pola belanja konsumen kedepannya bakal berubah seiring melonjaknya inflasi karena mereka memilih harga terendah dan mengandalkan promosi.
Akan tetapi, pola ini menyebabkan konsumen lebih memprioritaskan kebutuhan sehari-hari sehingga industri konsumen menaikkan harga jualnya.
“Kami yakin hal tersebut akan menguntungkan sektor konsumen kebutuhan pokok di 2023,” tulis riset tersebut.
Berbeda dengan Ciptadana, riset Mirae Asset Sekuritas bertajuk “Indonesia Strategy 2023 Outlook: Election Boosters” yang diterbitkan pada Selasa (6/12), sektor konsumen non-siklus akan lebih menguntungkan di tahun 2023.
Menurut Mirae Asset, sektor konsumen non-siklus akan memeroleh peningkatan margin dan pertumbuhan pendapatan yang lebih baik di 2023 sebagai dampak dari harga jual yang lebih tinggi dan normalisasi biaya produksi.
Di samping itu, adanya pemilu presiden, legislatif, hingga kepala daerah di tahun 2023 juga dapat meningkatkan kepercayaan konsumen hingga belanja konsumen di masa pra-pemilu.
Sedangkan, saham pilihan analis dari sektor ini adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR).
Sebagaimana dikutip dalam riset Mirae Asset, ICBP menjadi pilihan mereka karena pemulihan margin laba dari emiten yang akan berlanjut di tahun 2023 sebagai normalisasi harga gandum dan Crude Palm Oil (CPO) yang dapat meringankan biaya produksinya.
Selain itu, pertumbuhan pendapatan diproyeksi bakal lebih tinggi hingga beberapa kuartal sebelum pemilu dilaksanakan.
Selain memilih ICBP, Mirae Asset juga memilih MYOR sebagai saham unggulan di sektor ini. Menurut Mirae Asset, MYOR berpotensi mendapatkan keuntungan dari melemahnya Rupiah karena 45 persen pendapatannya berasal dari pasar ekspor.
“Rencana MYOR dalam meningkatkan penjualan sebesar 3-5 persen dari harga per gram produknya di kuartal IV-2022 akan meningkakan margin keuntungannya hingga 18-20 persen dari penjualan per gram harga produknya pada tahun 2022,” tulis riset tersebut.
Selain itu, normalisasi harga gandum, CPO, hingga harga kopi juga dapat mendorong penghasilan emiten ini di 2023.
Sektor Perbankan
Sektor selanjutnya yang dipilih oleh para analis sebagai pilihan utama adalah sektor perbankan dengan pilihan sahamnya berasal dari emiten big four.
Melansir riset Mirae Asset seperti yang disebutkan di atas, sektor perbankan diharapkan dapat membukukan pertumbuhan pendapatan yang akan terus menguat di tahun 2023 didukung oleh pertumbuhan pinjaman, Net Interest Margin, hingga pertumbuhan laba yang lebih tinggi.
Sementara, dikutip dari Mirae Asset, BI berharap pertumbuhan kredit industri perbankan akan berada di kisaran 10-12 persen di tahun 2023.
Sedangkan, dalam risetnya, BRI Danareksa Sekuritas memperkirakan, kredit perbankan akan tumbuh sebesar 9,3 persen setelah menguatnya rebound di tahun 2022.
Menurut riset BRI Danareksa Sekuritas bertajuk “Market Outlook” yang dirilis pada Desember 2022, industri perbankan harus melihat normalisasi di tahun 2023 pasca kuatnya rebound pasca pandemi di tahun 2022.
BRI Danareksa menyebutkan, perpanjangan kebijakan restrukturisasi pinjaman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Maret 2024 akan memberikan transisi yang lebih mulus mengingat pemulihan yang tidak merata di seluruh sektor.
“Sehingga kami mengharapkan pertumbuhan pendapatan 13,7 persen year on year (yoy) didorong oleh pertumbuhan pinjaman hingga 9,3 persen yoy dengan biaya kredit lebih besar sebesar 164bps,” tulis BRI Danareksa.
Di sektor ini, saham emiten big four perbankan yang jadi pilihan analis salah satunya adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
Melansir riset BRI Danareksa, BMRI akan membukukan peningkatan NIM hingga 5,4 persen sejalan dengan penyesuaian kenaikan suku bunga belakangan ini.
Selain itu, dengan asumsi biaya kredit 130bps, pendapatan tahun penuh (FY) 2023 akan mencapai Rp45,4 triliun dengan ROAE mencapai 19,7 persen.
“BMRI akan fokus ke segmen ritel seperti komersial, UMKM, hingga anak perusahaan Bank Syariah Indonesia dan Bank Mantap yang akan menjadi kendaraan BMRI selain mengandalkan pinjaman dari konsumennya,” tulis riset BRI Danareksa.
Adapun, riset tersebut turut memperkirakan pertumbuhan laba bersih BMRI di FY 2023 sebesar 13,2 persen yoy menjadi Rp45,4 triliun dan pertumbuhan kredit hingga 8,6 persen dengan NIM yang lebih tinggi sebesar 5,4 persen.
Selain BMRI, para analis juga memilih bank big four PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebagai emiten unggulan di sektor ini.
Menurut riset Ciptadana sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kendati terdampak kenaikan suku bunga, NIM dari BBRI akan membaik seiring kontribusi dari anak perusahaan dalam memitigasi penurunan NIM.
Di samping itu, sinergi BBRI dengan PNM dan Pegadaian akan berdampak pada efisiensi operasional perusahaan hingga penyebaran pinjaman yang lebih baik. Terutama, kolaborasi dengan PNM sebagai bisnis ultramikro di bawah Mekaar diharapkan lebih efisien dengan mempertimbangkan otomatisasi maupun digitalisasi.
“Kami berharap, dari kolaborasi tersebut pangsa pasar BBRI akan tumbuh secara signifikan karena pertumbuhan kredit perusahaan menjadi fokus utama,” tulis Ciptadana.
Sektor Telekomunikasi
Sektor telekomunikasi atau telco juga menjadi sektor dengan potensi menarik di tahun 2023 yang dipilih oleh para analis.
Menurut riset Ciptadana, sektor telco bakal menarik seiring dengan semakin stabilnya persaingan di industri ini untuk beberapa kuartal kedepan pada 2023.
“Berdasarkan pengamatan kami, perusahaan telco akan menghasilkan penawaran yang stabil meskipun promosi yang selektif sesekali terjadi pada segmen pelanggan tertentu,” tulis riset tersebut.
Sementara riset BRI Danareksa mengungkapkan, pendapatan sektor telco di kuartal IV-2022 akan semakin tangguh dan berlanjut di 2023 dengan mengandalkan konsolidasi sektor, penggunaan data yang tinggi, hingga peningkatan harga.
Dengan adanya konsolidasi sektor, peningkatan harga yang signifikan dan pengoptimalan paket data memungkinkan perusahaan telekomunikasi mewujudkan ARPU (rerata pendapatan per pengguna) yang lebih baik.
Di samping itu perusahaan telco saat ini lebih berfokus terhadap pelanggan yang menghasilkan ARPU dengan angka yang relatif lebih tinggi.
Tren ini mengambil lebih banyak platform pada tahun 2022 d imana basis pelanggan Telkomsel berkonsolidasi dengan 159,8 juta subscribers di kuartal III-2022. (Lihat grafik di bawah ini.)
Dengan demikian, BRI Danareksa berharap, di 2023 sektor seluler dapat lebih tangguh dan bertumbuh hingga 5-6 persen yoy dengan harga paket data yang lebih tinggi dan meningkatnya upah minimum.
Sementara, analis memilih PT XL Axiata Tbk (EXCL) sebagai emiten pilihan di sektor telco. BRI Danareksa mencatat, XL memiliki indikasi kuat dalam menjalankan jaringan dengan kinerja terbaik.
“XL mewarkan spektrum 4G dengan menghentikan layanan 3Gnya sehingga memungkinkan untuk melayani pelanggannya dengan memberikan kecepatan data nomor satu sehingga meningkatkan pengalaman penggunanya dalam mengakses video,” tulis riset tersebut.
Sementara riset Ciptadana menyebutkan, saat ini EXCL baru saja menyelesaikan akuisisi LINK dengan 19,2 persen saham ditempatkan di bawah EXCL.
Sebagai buntut dari akuisisi ini, EXCL akan menggelar right issue dengan menerbitkan paling banyak 2,75 miliar saham baru.
“Dengan aksi tersebut, kami mengharapkan EXCL dapat menghasilkan pertumbuhan laba bersih CAGR sebesar 27 persen pada 2021-2024 didorong oleh pertumbuhan pendapatan yang solid dan ekspansi margin,” tulis Ciptadana.
Sektor Semen
Sektor terakhir yang menjadi sektor dengan potensi menarik di 2023 adalah sektor semen yang akan pulih setelah mengalami gejolak karena naiknya harga komoditas batu bara sepanjang tahun ini.
Berdasarkan riset yang dirilis oleh Mirae Asset Sekuritas pada Kamis (1/12) bertajuk “Cement: Maintaining Bullish Sector Stance: Encouraging 23F Outlook Ahead” Kamis (1/12)”, industri semen akan mencatatkan pertumbuhan permintaan sedikit lebih baik di tahun 2023.
Adapun alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN yang naik 7,8 persen pada tahun 2022 turut mendorong pertumbuhan permintaan batu bara di tahun 2023.
Selain itu, sektor semen ke depannya juga akan diuntungkan oleh normalisasi harga batu bara global, dengan penurunan harga batu bara Newcastle sebesar 29 persen dari puncaknya di tahun ini yang akan menurunkan biaya bahan bakar dan energi dalam produksi semen.
Senada dengan riset Mirae Asset di atas, BRI Danareksa juga optimistis dengan industri ini seiring dengan harga batu bara yang akan berangsur normal di 2023.
“Daya beli yang lebih baik akan mendukung pertumbuhan volume penjualan semen kantong. Ini didorong dengan naiknya kenaikan upah minimum di 2023 yang mendukung konsumsi rumah tangga serta investasi bangunan,” tulis riset tersebut.
Sementara kenaikan upah minumum sebesar 10 persen di tahun 2023 dapat meningkatkan pertumbuhan volume semen sebesar 1 hingga 2 persen secara yoy pada 2023.
Adapun, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) menjadi pilihan utama BRI Danareksa karena kemampuan perusahaan dalam mengamankan pasokan batu bara dengan harga DMO yang menyebabkan SMGR unggul dibanding emiten semen lainnya.
“Kami berharap, marjin kotor SMGR akan meningkat dari 30,5 persen pada tahun 2022 menjadi 33,7 persen di tahun 2023,” tulis riset tersebut.
Senada dengan BRI Danareksa, riset Sucor Sekuritas bertajuk “Indonesia 2023 Outlook: Optimistic in Dealing with Headwinds” yang diterbitkan pada Rabu (14/12) menyebutkan, SMGR dapat memberikan ekspansi marjin yang lebih baik di tahun 2023 dengan biaya input yang lebih rendah.
“Kami berharap SMGR dapat mencaatkan pertumbuhan pendapatan yang luar biasa di tahun 2023 dengan perkiraan pendapatan mencapai Rp3,4 triliun pada tahun 2023 dengan pertumbuhan sebesar 21,8 persen yoy,” tulis Sucor Sekuritas.
Sedangkan, dilansir dari Sucor Sekuritas, hingga akhir 2022, pendapatan SMGR diproyeksi mencapai Rp2,8 triliun dengan pertumbuhan 36,4 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kinerja Saham dan Tantangan di 2023
Selain memiliki potensi menarik di tahun 2023, emiten-emiten yang menjadi pilihan analis sebagaimana disebutkan di atas juga memiliki kinerja saham yang moncer sepanjang 2022.
Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (29/12), kinerja saham BMRI menjadi yang paling moncer di antara saham pilihan analis, yakni melambung hingga 42,35 persen secara year to date (YTD).
Menyusul BMRI, saham emiten lainnya yang juga terkerek sepanjang 2022 yaitu MYOR, BBRI, dan ICBP, yang masing-masing melesat sebesar 21,08 persen, 20,44 persen, dan 15,52 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kendati sebagian besar emiten-emiten di atas mencatatkan kinerja saham yang melesat sepanjang 2022, terdapat dua emiten yang sahamnya masih terkontraksi secara YTD.
Melansir data BEI pada Kamis (29/12), saham EXCL ambles paling dalam, yakni mencapai 31,55 persen. Sedangkan saham SMGR juga terkontraksi hingga 6,51 persen secara YTD.
Walaupun memang, tahun 2023 memiliki prospek yang menarik, investor harus mewaspadai sejumlah risiko di tengah ketidakpastian ekonomi.
Melansir riset BRI Danareksa, di 2023 masyarakat masih dihadapkan dengan risiko makro global, konflik geopolitik yang berkepanjangan, tingginya tingkat suku bunga dan volatilitas Rupiah hingga pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Walaupun memang, kondisi tersebut berbeda dengan 2022.
“Sebagai kelanjutan dari tahun 2022, kami perhatikan bahwa risiko eksternal masih tinggi, dengan kenaikan inflasi secara global memenuhi kenaikan suku bunga yang direncanakan,” tulis riset tersebut.
Riset tersebut juga menyebutkan, sinyal The Fed dalam memperlambat kenaikan suku bunga dapat menjadi tanda bahwa kenaikan suku bunga bakal tetap terjadi meski terjadi perlambatan inflasi yang memakan waktu lebih lama.
Sedangkan menurut riset Ciptadana, ekonomi global dapat menghadapi potensi stagflasi di mana IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 4,9 persen menjadi 3,6 persen di tahun ini.
Adapun banyak bank sentral global akan mengatasi stagflasi tersebut dengan menaikkan suku bunga, termasuk The Fed.
“Menurut proyeksi kami, setelah memuncak pada kuartal IV-2022, tingkat inflasi Indonesia akan melambat menjadi 4,4 persen pada akhir 2023, dari 6,7 persen pada 2022,” tulis riset tersebut.
Dengan demikian, selain mempertimbangkan sektor yang bakal prospektif di 2023, investor juga perlu mewaspadai kondisi ekonomi global hingga dalam negeri yang bakal terjadi.
Akhir kata, selamat tahun baru 2023.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.