Merawat Kehidupan, Menopang Ekonomi dan Pasar Modal Berkelanjutan
Posisi BEI memiliki potensi yang sangat besar dari segi kemampuan dan pengalaman, untuk bersama-sama dengan Pertamina dalam mengembangkan Carbon Business Build.
IDXChannel - "Nature creates ability; luck provides it with opportunity."
Idiom di atas tercetus oleh seorang pemikir Prancis yang hidup pada awal abad ke-17, François de La Rochefoucauld, yang menilai bahwa segala asal mula kekuatan dalam kehidupan bersumber dari alam.
Dalam pandangan tersebut, alam semesta diyakini terbentuk atas masing-masing substansi yang terjalin dalam satu ikatan kausalitas yang saling harmonis dan menguatkan, sebagai sebuah kekuatan dalam satu kesatuan.
Dalam sudut pandang yang lebih sederhana dan kekinian, boleh jadi, relasi berdasar kausalitas ini juga yang menjadi dasar dari konsep green industri yang dewasa ini semakin lantang disuarakan di kalangan pelaku industri di level internasional.
Sebuah konsep pengelolaan industri yang lebih berpusat pada kelestarian lingkungan, dengan mengedepankan efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan sumber daya secara berkelanjutan (sustainable resources).
Dengan demikian, segala aktivitas industri dan bahkan perekonomian secara lebih luas diharapkan dapat berjalan secara harmonis dan berjalan berdampingan dengan upaya menjaga kelestarian alam.
Konsep ini dipercaya sebagai jawaban atas semakin terbatasnya sumber daya fosil yang tersedia di alam, sehingga dianggap menjadi satu-satunya solusi dalam perekonomian ke depan, agar alam tidak semakin rusak, dan secara perlahan dapat diperbaiki lewat beragam pendekatan.
"Dunia hari ini tidak bisa lagi menggunakan pendekatan (pemikiran) business as usual. Dunia bisnis dan usaha tidak bisa berdiri sendiri. Semua orang bicara tentang (potensi) resesi dan khawatir (terhadap dampaknya), tapi tidak berpikir masalah di balik itu dan solusi untuk mengatasinya," ujar Asisten Sekretaris Jenderal sekaligus Chief Executive Officer UN Global Compact, Sanda Ojiambo, saat berbincang dengan idxchannel.com di sela kesibukannya dalam KTT G20, yang diselenggarakan di Bali, 15-16 November 2022 lalu.
Menurut Ojiambol, tidak banyak pihak yang menyadari bahwa potensi resesi muncul karena tekanan inflasi yang tidak lagi mampu dimitigasi di sejumlah negara. Sedangkan inflasi itu sendiri dapat terjadi lantaran pasokan energi global yang kian menipis dan mengkhawatirkan.
"Dan (menipisnya pasokan energi) itu dipicu oleh krisis iklim. Ini bukan sekadar proyeksi, bukan sekadar teori, namun benar-benar terbukti di lapangan. Sehingga bagi kami (potensi resesi) itu tidak berdiri sendiri. Semua serba berkaitan," tutur Ojiambo.
Untuk mengatasinya, Ojiambo pun mengajak agar pola pendekatan bisnis yang ada saat ini, dengan menempatkan alam sebagai obyek eksploitasi, harus segera dihentikan. Hal tersebut mendesak untuk segera dilakukan, agar kondisi kerusakan yang terjadi tidak semakin parah.
Karenanya, Ojiambo mengapresiasi bahwa semangat green economy dan green industry ini tidak hanya berhenti di level global, namun juga sudah mulai bergelora di banyak negara. Tak terkecuali juga di Indonesia, di mana pemerintah dengan tegas telah menyatakan target pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada 2060 mendatang.
"Kita harus menanyakan (komitmen itu) pada pemerintah. Dan kalian (masyarakat Indonesia) juga kami, perlu bersyukur bahwa (komitmen itu) sudah mulai terbentuk dengan baik," ungkap Ojiambo.
United Nations Global Compact sendiri, atau disingkat UN Global Compact, merupakan sebuah organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbasis pada dunia bisnis, untuk mendorong adanya adopsi kebijakan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial dari sebuah perusahaan.
Saat ini, UN Global Compact telah menjadi pemrakarsa tanggung jawab sosial perusahaan berkelanjutan terbesar di dunia, yang memiliki lebih dari 13.000 perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya dari 170 negara di seluruh dunia.
Berada di bawah naungan PBB, UN Global Compact turut mendukung tujuan utama lembaga internasional tersebut, yaitu Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Ojiambo berharap, awareness tentang pentingnya mengembangkan dunia usaha yang berkelanjutan, yang lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan, dapat dipahami dan diterapkan oleh semua pihak. Tak terkecuali juga di industri pasar modal, yang notabene tempat berkumpulnya perusahaan-perusahaan besar dan berpengaruh.
Pendapat ini dibenarkan oleh Direktur Utama BNP Paribas Asset Management, Priyo Santoso. Ditemui secara terpisah, Priyo sama sekali sepakat bahwa perusahaan di lingkup pasar modal, terutama emiten, harus mulai menumbuhkan kepeduliannya terkait prinsip-prinsip environmental, social, and governance (ESG).
Hal ini, menurut Priyo, juga sekaligus wujud dukungan nyata industri pasar modal dalam menyukseskan upaya pemerintah dalam mengejar target NZE pada 2060 mendatang.
"Salah satu upaya menuju ke sana adalah dengan menerapkan prinsip ESG (environmental, social, and governance) serta keuangan berkelanjutan di tingkat pelaku industri dan dunia usaha," ujar Priyo, kepada idxchannel.com.
Karenanya, dalam kacamata pasar modal, emiten-emiten yang terbukti telah menerapkan prinsip ESG dan keuangan berkelanjutan, menurut Priyo, memiliki nilai lebih di mata investor.
Klaim tersebut didasarkannya pada data yang menunjukkan bahwa indeks sustainable and responsible investment dari KEHATI (indeks SRI KEHATI), yang notabene berisikan saham-saham berlabel 'hijau', rupanya memiliki kinerja yang selalu melampaui performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
"Itu artinya, bahwa ternyata berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen pada bisnis berkelanjutan, concern terhadap kelestarian lingkungan dan juga menerapkan GCG (good corporate governance-red) secara konsisten, itu jauh lebih menjanjikan," tutur Priyo.
Fakta moncernya saham-saham perusahaan yang aware terhadap isu lingkungan, menjalankan tata kelola yang baik dan benar, serta menerapkan prinsip ESG secara konsisten tersebut, sejalan dengan makin mendominasinya generasi muda dan kalangan milenial dalam iklim investasi saat ini.
"Jangan lupa, bahwa anak-anak muda ini, generasi milenial ini, memiliki tingkat kepedulian lebih tinggi terhadap isu lingkungan. Contoh simpel saja, mereka tidak mau lagi pakai straw sekali pakai dari plastik, atau bawa kantong kain saat berbelanja di supermarket. Ini bukti bahwa awareness mereka soal lingkungan tinggi, dan data investor menunjukkan, bahwa kelompok mereka ini mendominasi," ungkap Priyo.
Dengan pemahaman tersebut, lanjut Priyo, maka tak ada alasan lagi bagi emiten untuk tidak segera berbenah diri dengan semakin meningkatkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip ESG dan kelestarian lingkungan secara lebih luas. Pertaruhannya, bila emiten tak kunjung go green, maka kredibilitasnya di mata investor bakal semakin dipertanyakan.
"Jadi ini hanya perkara waktu saja, karena kesadaran untuk sustainable industry ini, sustainable economy ini, sudah semakin bagus di masyarakat. Istilahnya, semua akan environment centered dan green minded pada waktunya," tegas Priyo.
Bursa Karbon
Seakan tak mau ketinggalan, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator yang mewadahi emiten dalam industri pasar modal nasional, juga mulai mengimbangi 'green wave' tersebut lewat beragam cara, sebagai bentuk komitmennya dalam mengembangkan industri pasar modal nasional yang lebih berkelanjutan.
Sebut saja lewat penerapan kewajiban bagi emiten untuk tidak hanya menerbitkan laporan keuangan (annual report), namun juga laporan keberlanjutan (sustainibility report), sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017.
Tak hanya itu, terbaru, BEI juga tengah bersiap untuk mulai mengembangkan sistem perdagangan karbon pada 2023 mendatang. Meski, diakui oleh pihak BEI, upaya menuju ke arah sana masih cukup dini, lantaran belum tersedianya aturan dan payung hukum yang mengaturnya secara lebih rinci pada tataran teknis.
"Kita masih lihat secara aturannya seperti apa dulu. Kita sedang pelajari, mulai dari teknis perdagangannya, aspek keamanannya, termasuk juga payung hukumnya, karena kan kita tidak bisa gegabah untuk hal yang baru seperti ini," ujar Direktur Utama BEI, Iman Rachman, dalam Media Gathering Pasar Modal 2022, di Bandung, Jumat (25/11/2022).
Namun demikian, menurut Iman, langkah pengembangan bursa karbon tersebut merupakan salah satu ikhtiar BEI dalam mendukung upaya sektor industri dan dunia usaha untuk dapat memangkas emisi karbon secara lebih signifikan di masa mendatang.
"Ini menjadi salah satu wujud komitmen kami dalam mendukung pemerintah dalam hal dekarbonisasi, sekaligus merealisasikan target NZE di 2060 mendatang," tutur Iman.
Khusus yang berkaitan dengan perdagangan karbon, PT Pertamina (Persero) telah menggandeng BEI untuk merealisasikannya. Langkah ini sekaligus mendukung program dekarbonisasi dan pencapaian target Net Zero Emission (NZE) Indonesia 2060.
Sebelumnya, upaya menginisiasi bursa karbon ini mengemuka usai BEI menandatangani nota kesepahaman dengan PT Pertamina (Persero) terkait kerjasama pengembangan Carbon Business Build. Penandatanganan dilakukan langsung oleh Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha Pertamina, Atep Salyadi Dariah Saputra, bersama Direktur Utama BEI, Iman Rachman, di Bali, pada pertengahan Oktober lalu.
"Ini merupakan tahap lanjut dari langkah-langkah penjajakan yang kami lakukan untuk bisnis karbon sebagai upaya mempercepat pengembangan ekosistem perdagangan karbon nasional dan internasional," ujar Atep, saat itu.
Menurut Atep, posisi BEI sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyelenggaraan bursa efek di Indonesia, memiliki potensi yang sangat besar dari segi kemampuan dan pengalaman, untuk bersama-sama dengan Pertamina dalam mengembangkan Carbon Business Build.
Nantinya kedua pihak akan saling bersinergi untuk melakukan berbagai kajian yang diperlukan, untuk menuju penyelenggaraan voluntary carbon market dan compliance carbon market.
"Yang jelas kita melihat potensinya (perdagangan karbon) sangat besar. Secara internal kami juga sudah mulai mempelajari, soal IT-nya seperti apa dan sebagainya. Jadi semua masih dalam proses," ungkap Iman.
Selain dengan Pertamina, BEI sebelumnya juga telah menjalin kerjasama dengan Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia (Indonesian Carbon Trade Association/IDCTA) terkait upaya pengembangan perdagangan karbon di Indonesia. Seremoni penandatanganan tersebut dilakukan di Main Hall BEI, Kamis (10/11/2022).
Sebagai pihak yang digadang-gadang bakal menjadi penyelenggara bursa karbon ke depan, BEI menerima berbagai masukan terkait persiapan infrastruktur bursa karbon yang selaras dengan mandat yang ditetapkan pemerintah, sekaligus sesuai kebutuhan seluruh pelaku pasar.
Sementara, sebagai asosiasi yang menjadi wadah bagi para praktisi, pengusaha, pengembang, investor, pedagang, LSM, akademisi, maupun berbagai pihak yang memiliki kepedulian besar terhadap perdagangan karbon di Indonesia, IDCTA mendukung penuh agar BEI dapat segera membuka bursa karbon untuk pasar Indonesia.
"BEI adalah bursa kebanggaan Indonesia, dan sudah terbukti mampu menjadi bursa efek terbesar di kawasan. Karena itu, sudah sangat tepat bila ke depan BEI juga menjalankan peran dalam penyelenggaraan ekosistem perdagangan karbon. Kredit karbon Indonesia akan menjadi berharga dan terpercaya sehingga merupakan kehormatan bagi IDCTA untuk terus mendukung suksesnya amanah ini,” tegas Ketua Umum IDCTA, Riza Suarga, usai penandatanganan. (TSA)