Mewaspadai Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Pasar Keuangan hingga Perdagangan RI
Pekan ini muram bagi pasar keuangan, saham, hingga komoditas. Pasalnya, kinerja pasar sebagian besar mengalami tekanan.
IDXChannel - Pekan ini muram bagi pasar keuangan, saham, hingga komoditas. Pasalnya, kinerja pasar sebagian besar mengalami tekanan.
Di pasar keuangan, dolar Amerika Serikat (AS) masih menunjukkan tajinya di kisaran level 106,5 pada perdagangan Kamis (5/10/2023). Penurunan ini memperpanjang penurunan dari sesi sebelumnya dan mengikuti penurunan imbal hasil Treasury karena data pekerjaan AS yang lebih lemah dari perkiraan.
Imbal hasil obligasi Treasury 10-tahun pemerintah Amerika Serikat naik di atas 4,86 persen pada perdagangan Rabu (4/10). Kinerja yield obligasi pemerintah AS mencapai level tertinggi baru sejak Juli 2007.
Ini juga mendorong kinerja obligasi negara-negara lain menjadi menarik. Obligasi tenor 30-tahun bahkan mendekati 5 persen dan menjadi tingkat yang belum pernah terlihat dalam enam belas tahun terakhir.
Di Eropa, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10-tahun mencapai 3 persen, tingkat yang belum pernah terlihat sejak Juni 2011.
Di Jepang, imbal hasil obligasi bertenor 10-tahun naik menjadi 0,85 persen untuk pertama kalinya sejak Agustus 2013, meskipun ada intervensi bank sentral Jepang dan pembelian obligasi darurat dari Bank Dunia Jepang. Di Australia, imbal hasil obligasi 10 tahun mencapai 4,7 persen.
Para ekonom di ING dalam sebuah catatan, menganalisis prospek DXY dan menemukan sedikit alasan untuk jual dolar saat ini.
“Level 106,70 saat menjadi support untuk DXY dan arah pergerakannya tetap menuju 108,” tulis analis ING dalam sebuah catatan.
Penguatan dolar berbarengan dengan yield obligasi AS ini menjadi tekanan buat pasar saham dan komoditas. Imbasnya, kinerja rupiah maupun pasar saham jeblok dan bisa dibilang yang terparah di sepanjang tahun ini.
Kinerja Rupiah Sepanjang 2023
Imbas penguatan dolar, rupiah terpantau melemah di sepanjang September. Bisa dibilang, bulan ini mejadi bulan kelabu buat rupiah.
Rupiah sempat jeblok di level terendah sejak awal 2023 dan sempat menyamai level penutupan 6 Januari 2023, melemah Rp15.630 terhadap dolar AS pada perdagangan Selasa (4/10). (Lihat grafik di bawah ini.)
Pada pembukaan perdagangan Kamis (5/10), rupiah masih bertengger di level Rp15.596 per USD.
Para ekonom di MUFG Bank memprediksikan, rupiah mungkin agak rentan dalam waktu dekat jika suku bunga AS naik lebih lanjut.
“Kami menaikkan proyeksi USD/IDR menjadi 15.600 dalam tiga bulan dan 15.200 dalam 12 bulan. Kami pikir Rupiah mungkin agak rentan dalam waktu dekat jika suku bunga AS naik lebih lanjut, tetapi Bank Indonesia harus mengambil peraturan lebih lanjut untuk mendorong aliran valas jika hal itu terjadi,” ujar MUFG Bank dalam sebuah catatan.
Di kesempatan lain, pengamat Pasar Uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS menguat setelah investor mengantisipasi kebijakan moneter restriktif dalam jangka waktu yang lebih lama.
Hal tersebut dibarengi dengan pandangan hawkish dari Federal Reserve dan imbal hasil Treasury tertinggi dalam 16 tahun.
"Putaran baru inflasi, kekhawatiran kenaikan suku bunga Dolar melonjak pada hari Selasa karena sejumlah pembuat kebijakan The Fed mengisyaratkan kenaikan suku bunga lagi pada bulan November atau Desember untuk menjaga inflasi tetap terkendali dan mendekati target bank sentral sebesar 2 persen per tahun dari saat ini 3,7 persen," tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (4/10/2023).
Ibrahim juga memprediksi, mata uang rupiah untuk perdagangan hari ini diprediksi bergerak fluktuatif dan cenderung ditutup kembali melemah di rentang Rp15.620 - Rp15.700.
Dampak Penguatan Dolar Buat RI
Beberapa hal yang perlu diwaspadai dari penguatan dolar dan jebloknya kinerja rupiah ada empat hal. Di antaranya risiko neraca dagang yang tergerus, kaburnya modal asing, goyahnya pasar saham, hingga risiko penurunan cadangan devisa.
- Neraca dagang tergerus
RI masih cukup bergantung pada hasil perdagangan internasional yang mengandalkan komoditas-komoditas alam, seperti batu bara, sawit, hingga hasil tambang. Anjloknya nilai tukar dapat mempengaruhi perolehan negara dari aktivitas dagang ini.
Nilai ekspor Indonesia Januari–Agustus 2023 mencapai USD171,52 miliar atau turun 11,85 persen dibanding periode yang sama tahun 2022. Ekspor nonmigas mencapai USD161,13 miliar atau turun 12,27 persen.
Sedangkan penurunan ekspor terbesar terjadi pada bahan bakar mineral sebesar USD265,6 juta (8,42 persen). Ekspor hasil pertambangan dan lainnya turun 16,58 persen sepanjang Januari–Agustus 2023.
Dari komoditas batu bara misalnya, emas hitam ini masih mengalami penurunan harga 56,55 persen secara year on year (yoy). Per 4 Oktober 2023, harga batu bara diperdagangkan dilevel USD144 per ton, menurun 3,58 persen. Penurunan harga ini cukup berimbas pada pendapatan ekspor Indonesia di bulan Agustus.
Indikasi ini juga terlihat dari surplus neraca dagang yang semakin menyusut sejak tahun lalu. Ini menjadi anomali ketika pemulihan Covid-19 dianggap berhasil, namun perdagangan masih tertekan imbas fluktuasi harga yang signifikan. (Lihat grafik di bawah ini.)
Surplus neraca perdagangan per Agustus 2023 juga masih ditopang surplus neraca perdagangan nonmigas. Surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat sebesar USD4,47 miliar, meningkat dibandingkan dengan surplus nonmigas bulan sebelumnya sebesar USD3,20 miliar.
Namun, di sisi lain, perdagangan RI juga masih dihantui oleh defisit neraca perdagangan migas yang masih sebesar USD1,34 miliar per Agustus 2023. Meskipun angka ini tercatat menurun dari USD1,91 miliar pada Juli 2023.
- Keluarnya Modal Asing
Penguatan dolar dan melemahnya rupiah bisa mendorong perginya modal asing dari pasar keuangan dalam negeri.
Bank Indonesia (BI) melaporkan modal asing keluar dari pasar RI mencapai Rp7,77 triliun pada pekan kelima September 2023.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (29/9) mengatakan asing jual neto Rp 7,86 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Menurut data Kemenkeu, kepemilikan SBN non residen hingga 3 Oktober 2023 tercatat mencapai Rp823,31 triliun. Angka ini menguat dari sebulan sebelumnya, tapi mengalami penurunan sejak Mei. (Lihat grafik di bawah ini.)
BI juga mencatat terjadi jual neto Rp 2,07 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp2,16 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Selama 2023, Erwin mengatakan berdasarkan data setelmen hingga 27 September 2023, terdapat nonresiden beli neto Rp 67,29 triliun di pasar SBN. Selain itu, BI juga mencatat jual neto Rp 5,27 triliun di SRBI.
Di pasar saham, Bursa Efek Indonesia (BEI), dalam sebulan terakhir, asing melakukan jual bersih hingga mencapai, Rp3,55 triliun di pasar reguler. Meski secara YTD, asing masih melakukan net buy Rp9,61 triliun.
- Pasar Saham Goyah
Pada perdagangan Rabu (4/10), seluruh pasar saham global memerah imbas penguatan dolar dibarengi dengan yield obligasi US-Treasury yang mencapai all time high (ATH).
Bursa Asia melanjutkan penurunan pada Rabu (4/10), tenggelam ke posisi terendah dalam beberapa bulan.
Pada sesi penutupan perdagangan, bursa Asia ditutup memerah pada hampir semua indeks. Bursa saham di Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Hong Kong semuanya menurun. Sementara bursa China tetap tutup untuk libur selama seminggu.
Indeks Nikkei 225 Jepang ambles 2,28 persen, Hang Seng Hong Kong tumbang 0,78 persen, Straits Times Singapura merosot 1,43 persen dan ASX 200 Australia turun 0,77 persen.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup ambruk 0,78 persen. Sementara indeks KOSPI di Korea Selatan turun paling dalam hingga 2,41 persen.
Pada perdagangan Selasa (3/10), Wall Street ditutup dengan indeks S&P 500 berakhir pada level terendah sejak 1 Juni lalu.
Mengutip Reuters, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 438,96 poin, atau 1,31 persen. Sementara S&P 500 kehilangan 58,15 poin, atau turun 1,85 persen. Indeks Nasdaq Composite juga turun 246,5 poin, atau 1,85 persen.
Sepanjang tahun ini, kinerja Dow Jones berubah negatif untuk pertama kalinya sejak Juni dan berakhir pada level terendah sejak 31 Mei. Kinerja Dow Jones melemah 0,4 persen secara year to date (YTD) sementara Nasdaq juga ditutup pada level terendah sejak 31 Mei.
Melemahnya bura Asia bisa jadi disebabkan asing yang melakukan aksi jual di tengah penguatan dolar. Bisa jadi, terjadi perpindahan investasi ke obligasi hingga dolar mengingat dua instrumen ini dianggap sebagai safe-haven.
- Cadangan Devisa Turun
Cadangan devisa adalah salah satu aspek penting dalam sektor keuangan negara. Cadangan devisa menjadi wajah kondisi perekonomian suatu negara.
Mengutip OCBC NISP, berdasarkan peraturan Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 1999, cadangan devisa adalah aset yang dimiliki oleh bank sentral dan otoritas moneter, biasanya disimpan dalam mata uang asing.
Umumnya, mata uang dalam cadangan devisa adalah yang diakui oleh banyak negara dan berlaku secara internasional, seperti euro, dollar AS, yen, dan pound sterling.
Dengan demikian, cadangan devisa suatu negara akan digunakan untuk membiayai defisit neraca pembayaran serta menjaga stabilitas nilai tukarnya.
Cadangan devisa negara diperoleh dari kegiatan perdagangan antar negara yang dikenal dengan kegiatan ekspor dan impor. Penurunan kegiatan perdagangan, berarti juga akan berdampak pada penurunan posisi cadangan devisa.
Sayangnya, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2023 turun di level USD137,1 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Pelemahan cadangan devisa ini bisa berdampak negatif terhadap rupiah karena kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan dianggap semakin berkurang.
“Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global”ujar BI dalam rilisnya.
Posisi cadangan devisa Agustus 2023 setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka ini juga disebut berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Sejumlah risiko dari menguatnya dolar dan melemahnya rupiah di atas kini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah tegas.
Menakar Respons Bank Sentral
Merespon volatilias pasar keuangan baru-baru ini, Bank Indonesia tengah berupaya menjaga stabilitas harga dengan kenaikan suku bunga.
Pernyataan ini menandakan kebijakan suku bunga akan dipertahankan stabil pada akhir bulan ini karena bank sentral tengah mencoba untuk meningkatkan kepercayaan investor pada pasar mata uang dan obligasi.
Hal ini disampaikan Destry Damayanti Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Jakarta pada Rabu (4/10).
Pernyataan tersebut muncul ketika BI tengah berupaya membeli obligasi pemerintah dalam upaya membendung aksi jual di pasar utang dan demi menjaga mata uang rupiah.
Destry menekankan, ini adalah operasi pembelian obligasi pertama yang dilakukan BI sejak 2022 di tengah kegelisahan di kalangan pejabat mengenai guncangan di pasar dii tengah rupiah yang terus melemah.
“Kami sudah menaikkan (suku bunga) sebesar 225 basis poin. Dan angka ini kami pandang cukup untuk menjaga stabilitas saat ini, stabilitas inflasi, dan di sisi lain cukup untuk memacu pertumbuhan penyaluran kredit,” kata Destry, dikutip dari Reuters, Rabu (4/10).
Destry mengatakan volatilitas pasar saat ini disebabkan oleh faktor eksternal, khususnya komentar hawkish pejabat bank sentral AS, The Federal Reserve.
Menurut perkiraan Lotus Sekuritas, pasar mengekspektasikan potensi kenaikan The Fed, dan Bank Indonesia memperkirakan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) akan terjadi sekali lagi pada November 2023.
Hal tersebut memberikan ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin lagi pada pertemuan mendatang.
BI akan mengadakan pertemuan kebijakan moneter selama dua hari pada tanggal 18-19 Oktober mendatang. (ADF)