MARKET NEWS

Minyak Kembali Bertenaga usai Anjlok, akankah Harga Terkerek di 2024?

Maulina Ulfa - Riset 08/12/2023 12:52 WIB

Harga minyak kembali bertenaga pada perdagangan Jumat (8/11/2023).

Minyak Kembali Bertenaga usai Anjlok, akankah Harga Terkerek di 2024? (Foto: Freepik)

IDXChannel - Harga minyak kembali bertenaga pada perdagangan Jumat (8/11/2023). Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 1,4 persen di atas USD70,3 per barel.

Sementara minyak Brent naik 1,7 persen di level USD75,3 per barel pada pukul 10.56 WIB.

Kenaikan harga minyak kemungkinan karena pembelian teknis, namun masih diperkirakan minyak akan turun lebih dari 5 persen minggu ini di tengah tanda-tanda peningkatan pasokan global dan melemahnya permintaan, berdasarkan proyeksi Trading Economics.

Secara mingguan, harga minyak WTI masih tertekan 5,14 persen, sementara Brent turun 4,63 persen. Ini artinya, upaya mengerek harga minyak, terutama oleh organisasi pengeskspor minyak, OPEC+ masih belum memberi dampak signifikan kepada pasar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sebelumnya, harga minyak mentah dunia sempat turun sekitar 4 persen memasuki level di bawah USD70 perbarel ke level terendah sejak Juni 2023 pada perdagangan Kamis (7/12/2023).

Data yang dirilis awal pekan ini menunjukkan bahwa persediaan bensin Amerika Serikat (AS) melonjak 5,4 juta barel pada pekan lalu. Ini menjadi peningkatan terbesar dalam sembilan minggu dan jauh lebih tinggi dari perkiraan 1 juta barel yang mengindikasikan melemahnya permintaan.

Nasib Minyak di 2024

Menambah sentimen bearish, data dari Bureau of Economic Analysis (BEA) AS menunjukkan bahwa ekspor minyak mentah AS mendekati rekor 6 juta barel per hari pada Oktober, dengan aliran ke Eropa dan Asia menunjukkan peningkatan yang stabil.

Meningkatnya ketidakpastian ekonomi di negara importir minyak mentah utama seperti China juga membebani pasar. Terlebih, baru-baru ini lembaga pemeringkat kredit Moody’s memangkas prospek peringkat kredit pemerintah China dari stabil menjadi negatif.

Di samping itu, OPEC+ mengecewakan para pelaku pasar minyak minggu lalu dengan mengumumkan pemotongan sukarela dari beberapa produsen. Namun, OPEC+ gagal menyepakati pengurangan pasokan secara keseluruhan setidaknya untuk kuartal pertama tahun 2024, ketika permintaan sedang berada pada titik terendah.

Dilaporkan sebelumnya, anggota OPEC+ mengumumkan pengurangan pasokan minyak tambahan sebesar 2,2 juta barel per hari pada minggu lalu. Meski demikian, lebih dari 1,3 juta barel per hari merupakan perpanjangan dari pengurangan sukarela yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Rusia.

Melansir Oilprice.com, Kepala Strategi Komoditas di ING, Warren Patterson mengatakan dalam sebuah catatan awal pekan ini OPEC+ selama ini menjadi kunci pergerakan harga minyak.

“Bagaimanapun, manajemen pasar minyak dari OPEC+ akan menjadi kunci arah pergerakan harga tahun depan. Prospek pasar minyak sangat bergantung pada kebijakan OPEC+,” kata Patterson.

Pemotongan yang diumumkan minggu lalu akan cukup untuk menghapus surplus pasar yang diperkirakan sebelumnya untuk kuartal pertama tahun 2024.

“Namun, neraca kami masih menunjukkan surplus kecil pada kuartal kedua 2024, yang berarti pasar kemungkinan seimbang pada semester pertama 2024. Hal ini dapat dan kemungkinan akan berubah tergantung pada bagaimana anggota OPEC+ membatalkan pemotongan sukarela ini,” kata Patterson.

ING melihat Minyak Mentah Brent diperdagangkan pada level terendah di level USD80an per barel pada awal tahun depan, sementara itu Brent akan diperdagangkan rata-rata USD91 per barel pada kuartal kedua 2024 ketika pasar akan kembali mengalami defisit.

Namun, OPEC+ kali ini menghadapi banyak variabel lain dalam pengendalian harga. Kekhawatiran terhadap perekonomian China, melonjaknya produksi minyak mentah AS, dan meningkatnya persediaan komersial serta ekspor minyak mentah AS cukup membebani harga minyak.

OPEC+ kini menghadapi dilema yang sama antara bagaimana melawan lonjakan produksi AS dan mencegahnya mengganggu upaya aliansi tersebut untuk menopang harga.

Ini karena pasokan minyak non-OPEC+ juga tumbuh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya yang dipimpin oleh rekor produksi minyak mentah AS. Produksi ini terus melonjak meskipun jumlah rig tidak berubah atau berkurang dibandingkan tahun lalu.

“Produksi minyak AS yang mencapai rekor tertinggi adalah "masalah besar" bagi OPEC+,” kata Paul Sankey dari Sankey Research kepada CNBC International setelah pertemuan OPEC+ minggu lalu.

Produksi minyak mentah AS mencapai rekor bulanan baru sebesar 13,236 juta barel per hari pada September, menurut data terbaru dari EIA yang dirilis minggu lalu.

Untuk itu, OPEC+ harus mempertimbangkan banyak variabel dalam kebijakan pengelolaan pasarnya tahun depan, termasuk ancaman baru terhadap pangsa pasarnya akibat melonjaknya produksi AS dan non-OPEC+.

Guna mencari strategi alternatif, presiden Rusia Vladimir Putin dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MbS) bahkan melakukan pertemuan di Riyadh pada Rabu (6/12) untuk membahas kondisi harga minyak dunia terkini.

Dilansir dari Reuters, Rusia dan Arab Saudi merupakan pemimpin de fakto kelompok produsen minyak OPEC+.

Pertemuan dilakukan setelah pemangkasan pasokan oleh OPEC+ gagal mencegah penurunan harga minyak dunia. Sebelum ke Arab Saudi, Putin terlebih dahulu melawat ke Uni Emirat Arab (UEA) yang juga pemain penting di OPEC+.

"Kerja sama akan terus berlanjut di dalam OPEC+," kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov seusai pertemuan antara kedua pemimpin negara.

"Kedua belah pihak memikul tanggung jawab besar untuk menjaga pasar energi internasional pada tingkat yang tepat, dalam kondisi yang stabil dan dapat diprediksi," tambahnya. (ADF)

SHARE