MARKET NEWS

Nasib Industri Nikel 2024: Harga dan Saham Jeblok, Produksi Dipangkas

Maulina Ulfa - Riset 23/01/2024 16:51 WIB

Penurunan harga nikel yang berkepanjangan mulai memberikan dampak negatif bagi para produsen nikel global.

Nasib Industri Nikel 2024: Harga dan Saham Jeblok, Produksi Dipangkas. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Penurunan harga nikel yang berkepanjangan mulai memberikan dampak negatif bagi para produsen nikel global.

Harga nikel berjangka kembali melanjutkan penurunan 0,22 persen pada perdagangan pekan ini (22/1/2024) di level USD15.765 per ton. Dalam sebulan, harga nikel sudah turun 3,16 persen di bawah USD16.000 per ton.

Di tengah penurunan harga nikel, publik kini dihebohkan dengan perdebatan penggunaan baterai lithium ferro-phosphate (LFP) yang lebih banyak dibanding penggunaan nikel sebagai komponen dalam baterai mobil listrik.

Hal ini diungkapkan dalam debat Calon wakil presiden (Cawapres) 2024 seri keempat yang bertema, "Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa," di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Paslon cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka sempat melontarkan pertanyaan terkait baterai LFP untuk mobil listrik kepada cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar.

Alih-alih nikel, Data Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan penggunaan LFP untuk mobil listrik memang hanya 27 persen pada 2022. Namun, cakupan penggunaan ini naik signifikan dari 7 persen pada 2018.

Sementara penggunaan nikel untuk komponen baterai mobil listrik masih sebesar 66 persen di tahun yang sama. Namun, cakupan baterai berkandungan nikel tinggi turun dari 78 persen dan menunjukkan pangsa pasar LFP terus meningkat sementara penggunaan nikel memang tren turun.

Bahkan, pabrikan mobil listrik asal China, BYD, mendominasi penggunaan LFP hingga 50 persen dari total permintaan baterai tersebut, diikuti Tesla yang berkontribusi sebesar 15 persen dari total permintaan. Penggunaan LFP Tesla juga meningkat dari 20 persen dari total mobil yang diproduksi pada 2021 menjadi 30 persen pada 2022.

Saham Nikel Turun

Saham emiten nikel hari ini juga ditutup merah pada perdagangan Selasa (23/1/2024). Saham PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) turun paling tajam 4,35 persen di level Rp660 per saham. Emiten nikel lainnya, PT PAM Mineral Tbk (NICL) juga anjlok 3,77 persen di level Rp204 per saham. Selanjutnya, saham emiten PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) turun 2,83 persen di level Rp103 per saham.

Saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) juga anjlok 2,48 persen di level Rp3.940 per saham. Sementara saham PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) turun 1,56 persen di level Rp945 per saham.

Saham MBMA di awal 2024 menguat 22,22 persen secara bulanan, sementara saham NICL dalam sebulan tertekan 2,86 persen. Adapun saham INCO sudah turun 7,29 persen dalam sebulan. Saham DKFT juga turun 8,85 persen dalam sebulan terakhir. Sementara saham NCKL tertekan 5,97 persen sebulan.

Menurut riset Stockbit, harga nikel yang diperkirakan masih tertekan pada tahun ini akan menjadi tantangan bagi profitabilitas perusahaan pertambangan nikel.

“Dalam kondisi ini, emiten dengan operasional yang efisien dan struktur biaya rendah akan cenderung lebih kebal dari dampak negatif penurunan harga nikel. Adapun salah satu faktor yang dapat membuat biaya produksi emiten lebih rendah adalah wilayah operasional yang terintegrasi,” tulis riset Stokbit, Senin (22/1).

Produsen Australia Pangkas Produksi

Imbas penurunan harga nikel ini juga disertai dengan berita kurang mengenakkan dari Australia. Melansir Stockbit Sekuritas, beberapa produsen nikel, khususnya di Australia memutuskan untuk menutup sementara tambang mereka, sementara yang lain mengumumkan akan mengevaluasi ulang proyeknya.

Wyloo Metals mengumumkan akan  menutup sementara operasi tambang nikel di Kambalda, Australia pada akhir Mei 2024 imbas rendahnya harga nikel. Pengumuman ini hanya berselang 6 bulan setelah Wyloo Metals mengakuisisi tambang tersebut senilai 760 juta dolar AS.

Perusahaan nikel lainnya, BHP Group mengumumkan sedang mengevaluasi ulang bisnis nikelnya. Menurut laporan Reuters, BHP kemungkinan perlu menunda proyek nikel senilai 1,2 miliar dolar AS di West Musgrave, Australia. BHP mengatakan bahwa mereka sedang mencari opsi untuk memitigasi dampak penurunan tajam harga nikel dan akan memberikan rincian lebih lanjut dalam laporan tengah tahun pada 20 Februari 2024.

Ada juga First Quantum Minerals yang mengumumkan akan memangkas jumlah pekerja dan produksi di tambang Ravensthorpe, Australia imbas penurunan harga nikel yang signifikan.

Allan Ray Restauro, analis BloombergNEF menyebutkan bahwa  proyek nikel Indonesia lebih fleksibel dalam menyerap dampak penurunan harga nikel. Sebab, produksi nikel di Indonesia didukung oleh biaya tenaga kerja yang murah, harga energi yang rendah, serta bahan baku yang melimpah.

Sementara itu, jika tren pemangkasan produksi berlanjut ke produsen-produsen nikel global lainnya, hal ini berpotensi mengurangi suplai dan mendukung harga nikel ke depannya.

Proyeksi Harga Nikel

Harga nikel sendiri diproyeksikan masih akan tertekan di 2024, dengan Citigroup memperkirakan harga nikel akan turun ke level USD15.500 per ton pada 3 bulan ke depan. Sementara itu, ING Group memproyeksikan  harga rata-rata nikel akan berada pada level USD16.813 per ton sepanjang 2024.

Menurut riset Commodities Outlook 2024: Cautious optimism oleh lembaga ING pada Desember 2023 memperkirakan harga nikel akan tetap berada di bawah tekanan dalam jangka pendek seiring dengan meningkatnya surplus di pasar global dan melambatnya perekonomian global. Kondisi ini dapat meredam permintaan baja tahan karat dan kendaraan listrik.

“Kami melihat harga rata-rata USD16.600/t pada 1Q2024 dengan harga secara bertahap naik hingga rata-rata USD17.000/t. Kami memperkirakan rata-rata USD16.813/t pada tahun 2024,” tulis ING dalam risetnya.

Berdasarkan perkiraan International Nickel Study Group (INSG), surplus pasar nikel global diperkirakan akan meningkat menjadi 239.000 metrik ton pada tahun 2024, Ini menandai kelebihan pasokan selama tiga tahun berturut-turut dan akan menjadi yang terbesar.

Tahun lalu, pasar nikel mengalami surplus sebesar 104.000 ton, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 223.000 ton pada tahun ini. Perkiraan surplus kumulatif selama tiga tahun berjumlah 566.000 ton. (Lihat grafik di bawah ini.)

Mereka memperkirakan produksi global akan meningkat menjadi 3,71 juta ton pada tahun 2024 dari 3,42 juta ton pada tahun 2023. Ini karena produksi nikel pig iron (NPI) Indonesia terus meningkat.

Pabrik high pressure acid leaching (HPAL) baru di Indonesia yang menghasilkan campuran endapan hidroksida (MHP) juga terus meningkatkan produksinya, dan konversi NPI menjadi nikel matte pun semakin meningkat.

Menurut riset ING salah satu pendorong utama buruknya kinerja nikel tahun ini adalah lonjakan pasokan dari Indonesia yang merupakan produsen nikel terbesar di dunia.

RI memiliki cadangan logam terbesar di dunia dan sebagian besar produksi Indonesia adalah nikel Kelas 2 dengan kemurnian lebih rendah yang digunakan dalam produksi baja tahan karat.

Produksi tambang nikel Indonesia juga diperkirakan mencapai 1,6 juta ton pada 2022, naik 54 persen dibanding 2021, menurut Survei Geologi AS. Jumlah tersebut mencakup hampir separuh produksi nikel global, yang totalnya diperkirakan mencapai 3,3 juta ton.

Indonesia kini tengah gencar membangun pabrik peleburan nikel (smelter) sejak pemerintah memberlakukan larangan permanen ekspor bijih nikel pada bulan Januari 2020. Mengingat, posisi nikel sebagai salah satu mineral dunia cukup kritis.

Upaya ini dilakukan sebagai langkah menarik investor asing dan mendorong pengolahan dalam negeri, serta hilirisasi penggunaan bahan baku. Larangan ini telah menarik investor asing, terutama China, untuk membangun smelter lokal dan membantu meningkatkan nilai ekspor Indonesia.

“Kami yakin peningkatan produksi di Indonesia akan terus menekan harga nikel di tahun depan,” tulis lembaga ING dalam risetnya. (ADF)

SHARE