Negara-Negara Eropa Berjibaku Cegah Terjadinya Resesi
Masalah muncul, justru ketika perekonomian mulai kembali menggeliat di 2021, sehingga mendongkrak permintaan pasokan minyak secara signifikan.
IDXChannel - Berubahnya konstelasi perekonomian global membawa pengaruh buruk terhadap negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan juga para anggota Zona Eropa.
Bermula dari stagnasi kegiatan ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang membuat permintaan pasokan energi dunia turun drastis. Hal ini memaksa negara-negara penghasil sekaligus pengekspor minyak global menurunkan kapasitas produksinya agar tidak terjadi over production seiring sepinya pembeli.
Masalah muncul, justru ketika perekonomian mulai kembali menggeliat di 2021, sehingga mendongkrak permintaan pasokan minyak secara signifikan. Padahal, para produsen minyak yang tergabung Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sudah terlanjur memangkas produksinya.
Alhasil, tingginya permintaan tidak sebanding dengan pasokan minyak yang justru sedang sangat terbatas, sehingga harga jual di pasar melonjak tinggi. Hal ini diperparah dengan invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, yang membuat pasokan minyak global turut terganggu.
Harga semakin melambung. Inflasi di berbagai negara pun semakin 'terbang'. Untuk mengatasinya, suku bunga acuan di banyak negara pun dinaikkan, yang membawa berimbas pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Ancaman resesi pun mengintai.
Di Inggris, misalnya, tingkat inflasi melonjak hingga mencapai 10 persen, dan diperkirakan masih akan melambung sampai ke level 13 persen pada musim gugur didorong oleh kenaikan harga energi global. Tak hanya energi, perekonomian Inggris juga tertekan dari gangguan rantai pasokan pangan, kekurangan pekerja serta kekeringan yang juga melanda seluruh Eropa.
“Dalam waktu dekat kami memperkirakan resesi di Eropa pada musim dingin 2022-2023 sebagai akibat dari kekurangan energi dan inflasi yang terus meningkat. Untuk musim dingin 2023-2024 juga semakin menantang, sehingga kami perkirakan inflasi tinggi dan pertumbuhan (ekonomi) melamban akan terus terjadi setidaknya sampai 2024," tulis Economist Intelligence Unit (EIU) dalam analisanya, yang dikutip oleh The Guardian, Jumat (2/09/22).
Sedangkan di Jerman, krisis energi yang terjadi berbulan–bulan ditambah dengan adanya gangguan dalam perdagangan global membuat pertumbuhan ekonomi melambat, bahkan benar-benar terhenti pada triwulan II-2022.
“Ini akan membutuhkan keajaiban, agar ekonoomi Jerman tidak jatuh ke dalam resesi pada paruh kedua tahun ini," ujar salah satu pejabat dari Bank Belanda ING, Carsten Brzeski.
Menurut Brzeski, seluruh model bisnis perekonomian Jerman kini juga tengah berbenah dan 'direnovasi ulang', sehingga makin membebani kondisi perekonomian secara keseluruhan.
Selama ini setengah dari kebutuhan gas di Jerman sangat mengandalkan pasokan dari Rusia. Terjadinya perang Rusia-Ukraina yang membawa konsekuensi pembatasan pasokan gas serta melakukan penurunan volume melalui pipa utama Nord Stream 1, praktis membawa imbas besar terhadap ketersediaan pasokan gas di Jerman.
Sementara di Perancis, kondisi yang ada dilaporkan sedikit lebih baik ketimbang yang terjadi di Jerman, seiring dengan adanya pasokan energi nuklir yang demikian besar, hingga menyumbang lebih dari 70 persen dari total pembangkit listrik yang ada di Perancis.
Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di zona Eropa, Prancis masih bisa menghadapi pemadaman listrik yang akan melanda ketika musin dingin ekstrim berlangsung. Gdp Prancis tumbuh sebesar 0,5 persen pada kuartal kedua tahun ini.
Di lain pihak, Italia yang notabene memiliki ketergantungan lebih besar terhadap pasokan gas Rusia dibanding negara-negara Eropa lainnya, kini dilaporkan telah berhasil mencatatkan kinerja ekonomi yang jauh lebih baik, dengan pertumbuhan ekonomi meningkat satu persen pada triwulan II-2022 lalu.
Italia menyetujui paket bantuan baru senilai sekitar 17 miliar euro untuk konsumen dan bisnis. Bank Sentral Eropa (ECB), mengumumkan data keuangan terbaru yang dirancang untuk mencegah suku bunga yang lebih tinggi.
Semantara, di antara negara-negara Eropa lain, Spanyol diyakini merupakan negara yang berpeluang paling besar untuk terhindar dari ancaman resesi, meski laju inflasinya juga melonjak cukup signifikan.
Gdp negara itu naik ke level 1,1 persen pada kuartal kedua, International Monetary Fund memperkirakan itu akan menjadi pertumbuhan tercepat dibanding dengan negara – negara zona Eropa lainnya di tahun depan. (TSA)
Penulis: Bayu Rama