MARKET NEWS

Partai Republik Kuasai DPR, The Fed Hawkish, Begini Nasib Saham-Obligasi AS

Maulina Ulfa - Riset 18/11/2022 12:02 WIB

Kebijakan lebih memiliki dampak terbesar pada ekonomi dan pasar dibanding pengumuman politik.

Partai Republik Kuasai DPR, The Fed Hawkish, Begini Nasib Saham-Obligasi AS. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Partai Republik akhirnya mengambil alih kendali House of Representative atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) dalam perhitungan Rabu, (16/11).

Partai pengusung mantan presiden Donald Trump ini meraih kemenangan dari pemilihan paruh waktu (midterm elections).

Banyak analis mengharapkan pemilu kali ini menjadi gelombang merah kemenangan partai Republik, namun yang terjadi justru kemenangan tipis atas partai Demokrat.

Meski demikian, partai tersebut akhirnya memenangkan kursi DPR AS ke-218. Merebut kendali dari Demokrat dan menyiapkan panggung untuk pertarungan dengan Joe Biden sebagai presiden dari partai Biru dalam dua tahun sisa masa kepresidenannya.

Hasil itu juga berarti mengakhiri masa jabatan Nancy Pelosi, pemimpin partai Demokrat sebagai Ketua DPR. Dia harus meyerahkan palu kepemimpinan kepada wakil partai Republik Kevin McCarthy.

Mengutip Investing, AS kembali pada kondisi pembagian kekuasaan pra-2021 di mana para pemilih dihadapkan oleh dua masalah utama selama kampanye pemilihan paruh waktu.

Inflasi yang tinggi memberi amunisi kepada Partai Republik untuk menyerang kelompok liberal yang notabene Demokrat yang menghabiskan anggaran triliunan dolar selama pandemi Covid-19.

Dengan para pemilih yang merasa tagihan belanjaan, bensin, dan sewa bulanan mereka meningkat, maka muncul keinginan untuk menghukum Demokrat di Gedung Putih dan Kongres.

Pada saat yang sama, putusan Mahkamah Agung pada bulan Juni yang menghilangkan hak aborsi juga membuat marah banyak pemilih dan mendukung kandidat dari Partai Demokrat.

Berdasarkan survei Edison Research, hampir sepertiga pemilih mengatakan inflasi menjadi perhatian mereka. Sementara seperempat pemilih mengatakan aborsi menjadi perhatian utama dan 61% menentang keputusan pengadilan tinggi terkait isu Roe v. Wade.

Dampak ke Pasar Saham hingga Obligasi

Masalah inflasi masih menjadi concern utama bagi masyarakat AS. Diketahui inflasi AS masih berada di angka 7,7% (yoy) pada Oktober 2022. Angka ini lebih rendah dari perkiraan para ekonom sebesar 8%.

Capaian ini merupakan yang terendah sejak Januari tahun ini dan juga lebih rendah dibandingkan dengan capaian bulan sebelumnya sebesar 8,2% (yoy).

Meskipun inflasi turun, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) mengumumkan akan tetap bersikap hawkish dalam menyikapi inflasi.

Saham AS alias Wall Street juga terpantau turun pada Kamis pagi (17/11) karena imbal hasil Treasury naik. Hal ini terjadi setelah The Fed mengumumkan tidak akan mengakhiri kenaikan suku bunga untuk menghentikan inflasi.

Pada pukul 10.38 waktu setempat, Kamis (17/11), Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 194 poin atau 0,6%, sedangkan S&P 500 turun 1%, dan NASDAQ Composite turun 0,9%.

Sementara, pada Jumat (18/11) waktu Indonesia, imbal hasil Treasury 2 tahun naik menjadi 4,452% sedangkan imbal hasil Treasury 10 tahun naik menjadi 3,765%. (Lihat grafik di bawah ini.)

Presiden The Fed St Louis, James Bullard mengatakan tingkat kebijakan bank sentral belum mencapai "zona yang dapat dianggap cukup ketat."

The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75 poin persentase pada masing-masing empat pertemuan sebelumnya. The Fed diperkirakan akan menaikkan lagi pada pertemuan Desember, meskipun mungkin dengan kenaikan poin yang lebih kecil.

Beberapa saham ritel juga terpantau naik. Saham emiten ritel seperti Macy's, Inc. (NYSE:M) naik 12% setelah department store menaikkan prospek laba setahun penuh. Sementara, saham Kohl's Corp. (NYSE:KSS) naik 3,9% setelah proyeksi penjualan dan laba diumumkan.

Saham pembuat chip NVIDIA Corporation (NASDAQ:NVDA) naik 1,5% setelah proyeksi pendapatan triwulan karena permintaan yang kuat dalam bisnis pusat datanya.

Sementara harga minyak terpantau jatuh. Minyak Mentah WTI Futures turun 2,2% menjadi USD83,69 per barel. Adapun harga minyak mentah Brent Oil Futures turun 1,3% menjadi USD91,64 per barel dan harga emas turun 0,8% menjadi USD1.760.

Gejolak pasar di tengah pengumuman politik ini tidak perlu dirisaukan oleh investor. Menurut analisis JP Morgan, pada akhirnya, kebijakanlah yang memiliki dampak terbesar pada ekonomi dan pasar, bukan politik.

Menurut Meera Pandit, Global Market Strategist JP Morgan, pasca pemilu paruh waktu, pemerintahan yang terpecah kemungkinan akan mendorong kebuntuan politik karena hanya ada sedikit area untuk kompromi bipartisan.

Anggaran yang dilaporkan meningkat baru-baru ini menunjukkan bahwa persoalan utang tidak akan menjadi masalah sebelum pemilu 2024. Meskipun terdapat potensi kebuntuan yang mengarah pada shut down government sangat mungkin terjadi di Kongres yang baru.

“Namun, investor tidak perlu panik atas pemerintahan yang terbelah, karena ini adalah konfigurasi politik yang paling umum. Melalui pemerintahan yang terbagi sejak Perang Dunia II, ekonomi tumbuh rata-rata 2,7% dan tingkat pengembalian (return) pasar 7,9%,” kata Meera mengutip website JP Morgan, (18/11)

Meera menambahkan, dalam pemerintahan sebelumnya, tercatat rata-rata pengembalian pasar saham tahunan selama pemerintahan Trump dan Obama hampir identik masing-masing sebesar 16,0% dan 16,3%, dan jauh di atas rata-rata selama 30 tahun terakhir sebesar 10,6%.

Investor yang hanya khawatir tentang kondisi politik yang ada mungkin telah kehilangan return yang menjanjikan akibat ketidaksukaan pada rezim politik tertentu.

“Pasar tidak menyukai ketidakpastian, jadi kita biasanya melihat volatilitas yang lebih tinggi dan pengembalian yang lebih rendah menjelang pemilu,” lanjut Meera.

Sejak 1942, pengembalian pasar saham rata-rata dalam tiga kuartal pertama di tahun pemilu paruh waktu masing-masing adalah -1%, 2% dan 5%, tetapi pengembalian kuartal keempat melonjak menjadi 8%.

“Singkatnya, sejarah menunjukkan bahwa investor tidak boleh bergantung pada preferensi politik dan membiarkan ketidakpastian politik mendikte keputusan investasi mereka,” pungkas Meera. (ADF)

SHARE