MARKET NEWS

Pekan Suram bagi Minyak, Harga Turun di Bawah USD70 per Barel

Maulina Ulfa - Riset 31/05/2023 11:58 WIB

Harga minyak mentah dunia tampaknya semakin terseok dalam pekan ini.

Pekan Suram bagi Minyak, Harga Turun di Bawah USD70 per Barel. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Harga minyak mentah dunia tampaknya semakin terseok dalam pekan ini.

Dilaporkan Reuters, harga minyak melanjutkan penurunan lebih dari 4% pada perdagangan Selasa (31/5/2023).

Harga minyak mentah berjangka Brent di hari itu terpantau anjlok 4,6% ke level USD73,54 per barel atau turun USD3,53. Sementara harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) anjlok di bawah USD70 per barel menjadi USD69,46 per barel pada periode tersebut.

Pada perdagangan hari ini, Rabu (31/5/2023), harga minyak melanjutkan pelemahan dan mempertahankan penurunan tajam dari sesi sebelumnya.

Harga Brent turun 0,24% menjadi USD73,53 per barel, sementara minyak mentah WTI turun 0,3% menjadi USD69,25 per barel pada pukul 10.20 WIB. Kedua kontrak diperdagangkan di dekat posisi terendah dalam satu bulan terakhir.

Sejumlah sentimen menjadi pendorong kejatuhan lanjutan ini, di antaranya:

  1. Potensi Kenaikan Suku Bunga The Fed

Penurunan harga minyak di antaranya didukung kekhawatiran pasar bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS), The fed akan menaikkan suku bunga lanjutan seiring data ekonomi AS yang dikhawatirkan masih menunjukkan penguatan.

Data pekerjaan AS Mei yang akan dirilis hari Jumat (2/6/2023) masih menunjukkan penguatan dan bisa saja memicu The Fed menaikkan suku bunga lebih lanjut.

Sinyal terbesar untuk tindakan The Fed adalah data pekerjaan AS untuk Mei, yang akan dirilis pada Jumat (2/6/2023).

Jika penguatan pasar tenaga kerja berlanjut, maka akan menunjukkan pertumbuhan gaji masih tinggi dari perkiraan yang memaksa The Fed untuk menaikkan suku bunga lanjutan.

  1. Penantian Keputusan Plafon Utang AS

Pasar juga tengah menunggu pemungutan suara dan kebijakan akhir terkait plafon utang AS. Sebelumnya, Gedung Putih dan Kongres telah bersepakat tentang kebijakan plafon utang AS pada Sabut (27/5/2023) yang akan dibawa dalam pemungutan suara Kongres.

Sebelumnya, Gubernur Federal Reserve Bank, Christopher Waller menegaskan bahwa krisis plafon utang yang sedang berlangsung di Amerika Serikat tidak akan mempengaruhi keputusannya terkait suku bunga pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bulan depan. 

  1. Tekanan Lanjutan Ekonomi China

Data ekonomi yang mengecewakan dari China menimbulkan lebih banyak kekhawatiran atas permintaan yang lesu.

Indeks manajer pembelian manufaktur resmi (PMI) China terkontraksi di bawah 50 yaitu sebesar 48,8 pada Mei, menurut data dari Biro Statistik Nasional.

Angka tersebut lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 51,4 dan lebih lemah dari bulan sebelumnya sebesar 49,2.

Sebagai informasi, angka di atas 50 menunjukkan ekspansi aktivitas manufaktur, sementara angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi.

Kontraksi sektor manufaktur China bukan pertanda bagus bagi pasar minyak karena berarti permintaan akan melemah.

  1. Pertemuan OPEC+ dan Sikap Rusia

Menjelang pertemuan OPEC+ pada 4 Juni mendatang, hubungan antara Arab Saudi dan Rusia nampaknya menegang.

Dalam seminggu terakhir, ancaman Saudi untuk memangkas produksi lebih lanjut akan dipatahkan oleh lemahnya komitmen Rusia untuk mendukung rencana ini.

The Wall Street Journal, dalam sebuah artikel akhir pekan lalu mengatakan ketegangan meningkat antara Arab Saudi dan Rusia karena Moskow terus memproduksi dan menjual minyak mentah dalam jumlah besar ke pasar.

Ini pada akhirnya merusak upaya Riyadh untuk meningkatkan harga energi dengan ancaman pemangkasan lebih lanjut.

“Drama utang AS mungkin telah keluar dari radar pasar tetapi ada dua hal utama yang menjadi momok bagi pasar minyak, yaitu, apa yang akan dicapai The Fed dan apa yang mungkin tidak dicapai OPEC+. Kondisi saat ini, adanya jurang pemisah yang semakin besar soal produksi antara Saudi dan Rusia,” kata John Kilduff, partner di hedge fund energi berbasis New York, Again Capital. (ADF)

SHARE