MARKET NEWS

Prospek Emiten Menara Telko 2024 di Tengah Ramai Aksi Merger, Masih Nyaring?

Fiki Ariyanti 18/01/2024 15:07 WIB

Bagaimana potensi emiten menara telekomunikasi di 2024? Simak ulasannya berikut ini.

Prospek Emiten Menara Telko 2024 di Tengah Ramai Aksi Merger, Masih Nyaring? (Foto MNC Media)

IDXChannel - Kondisi sektor menara saat ini dinilai terkena dampak negatif jangka pendek dari aksi merger operator telekomunikasi, di mana provider akan melakukan evaluasi terhadap BTS yang mengalami overlapping atau berdekatan. 

"Meskipun perusahaan menara tengah fokus mengembangkan teknologi fiber yang memiliki ruang bertumbuh, namun kami melihat masih membutuhkan waktu yang lama dan tentunya membutuhkan dana yang besar," kata Analis Saham dari Panin Sekuritas, Aqil Triyadi dalam risetnya, Kamis (18/1/2024).

Selain itu, sambungnya, tingkat suku bunga yang masih tinggi akan semakin menekan margin perseroan di sektor menara.

"Sejalan dengan hal ini, kami merekomendasikan NEUTRAL untuk sektor menara (towerco) pada 2024," ucap Aqil. 

Aqil merekomendasikan NEUTRAL untuk sektor towerco dengan top pick TBIG. 

"Kami merekomendasikan HOLD untuk TBIG dengan target harga Rp2.200 (implied EV/EBITDA 11,9x di 2024). Kami juga merekomendasikan HOLD untuk TOWR dengan target price di Rp990 (implied EV/EBITDA 10,2x di 2024)," terang dia.

Dia membeberkan kinerja perseroan di sektor tower atau menara telekomunikasi, yakni PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), dan PT Tower Bersama Infastructure Tbk (TBIG) yang melatarbelakangi rekomendasinya.

Aqil menjelaskan, penambahan fiber optic mulai gencar dilakukan perusahaan menara. Hingga September 2023, TOWR telah menambah panjang fiber optic sepanjang 28.300 km, sehingga total panjang yang dimiliki perseroan 178.300 km fiber.

Melihat dari tren terjadi peningkatan penambahan fiber optic sejak 2021 hingga saat ini 2023, yang disebabkan oleh permintaan yang meningkat dari perusahaan telko seiring pengembangan Fixed Mobile Convergence (FMC) dan menyasar pada pertumbuhan homepass. 

Sementara pertumbuhan menara masih dilakukan oleh perusahaan menara, meski tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan beberap tahun sebelumnya.

"Aksi merger berdampak pada penurunan kinerja secara jangka pendek. Penurunan pendapatan di sembilan bulan 2023 didorong oleh beberapa sewa menara ISAT yang tidak diperpanjang setelah aksi merger," paparnya.

Sementara itu, dari tenant lainnya seperti pendapatan sewa dari Telkomsel tercatat Rp1,7 triliun (-1,1% YoY), pendapatan sewa dari EXCL meningkat menjadi Rp866 miliar (+10% YoY), diikuti PT Smartfren Telecom Tbk sebesar Rp409 miliar (+6,5% YoY). 

"Kami melihat konsolidasi sektor melalui merger akan negatif dalam jangka pendek, karena provider akan melakukan evaluasi terhadap BTS yang mengalami overlapping atau berdekatan," tutur Aqil.

Penguatan dolar AS (USD), diakuinya, akan berdampak negatif. Menurut Aqil, TBIG akan menghadapi empat kali pembayaran obligasi di tahun ini, di mana perseroan mengatakan akan menggunakan arus kas operasional dan fasilitas kredit bergulir untuk melunasi utang tersebut. 

Perlu diketahui, TBIG memiliki komposisi surat utang dalam dolar sebesar equivalent Rp21,2 triliun atau ~72% dari total jumlah utang berbunga TBIG hingga sembilan bulan 2023. 

Secara senstivitas nilai tukar, ketika rupiah melemah 1% terhadap USD, asumsi variabel lain tetap, maka laba bersih akan lebih rendah Rp18,2 miliar di 2022.

Kemenkeu berencana menggratiskan PNBP bagi operator telekomunikasi. Namun, kebijakannya harus menunggu usulan dari Kemenkominfo. Sebelumnya, Kemenkominfo mengungkapkan bakal menggratiskan biaya PNBP bagi operator untuk mendorong penetrasi 5G di Indonesia. 

Kemenkominfo pun berharap dengan keberadaan regulasi tersebut dapat membuat Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan internet tercepat di dunia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan digratiskan biaya up front fee ataupun initial fee dan annual fee selama 3 tahun pertama. 

Selain itu, agar ada perubahan tarif biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang sudah ada. Adapun, up front fee adalah pembiayaan di muka untuk saat suatu operator memenangkan pelelangan frekuensi. Biasanya, biaya ini dapat mencapai tiga kali lipat dari annual fee ataupun biaya tahunan.

Menurut Aqil, harga sewa menara perlahan pulih. Saat terjadi pandemi terlihat harga sewa terjadi penurunan hingga ke level terendahnya di 2021 menjadi rata-rata Rp11 juta per bulan, dengan menggunakan perhitungan jumlah pendapatan sewa menara dibagi dengan jumlah menara yang existing dan dibagi 12 bulan.

Namun seiring status endemik serta meningkatnya inflasi di Indonesia mendorong perusahaan untuk perlahan menaikkan harga sewa menjadi Rp13,3 juta per bulan di 2022 (2019: Rp14 juta per bulan). 

"Kami perkirakan perusahaan masih memiliki ruang untuk menaikkan harga sewa menaranya," pungkas Aqil.

(FAY)

SHARE