Prospek Saham Menara di Paruh Kedua 2025, Cermati MTEL hingga TBIG
Analis masih mempertahankan rating overweight terhadap emiten sektor tower telekomunikasi di paruh kedua 2025.
IDXChannel - Analis masih mempertahankan rating overweight terhadap emiten sektor tower telekomunikasi di paruh kedua 2025.
Dalam laporan terbaru CGS International Sekuritas, terdapat tiga emiten besar yang menjadi perhatian, yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).
Ketiganya mencatat kinerja beragam sepanjang semester I-2025. CGS International menempatkan MTEL sebagai perusahaan menara terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah menara dan penyewa pada 2024.
Emiten ini diberi rekomendasi add dengan target harga Rp740 per saham dari posisi terakhir Rp610. MTEL diperkirakan akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan dan EBITDA CAGR tertinggi di industri pada periode 2025–2027.
"Ini seiring ekspansi MTEL ke luar Jawa dan penguatan bisnis fiber," tulis riset analis CGS International Sekuritas, Bob Setiadi dan Rut Yesika Simak, dikutip Kamis (28/8/2025).
TOWR, emiten menara terbesar kedua, juga direkomendasikan add dengan target harga Rp1.025 per saham dari harga terakhir Rp615.
Perusahaan ini dinilai paling agresif dalam ekspansi bisnis fiber. Sebelumnya TOWR baru saja menyelesaikan rights issue senilai Rp5,5 triliun.
Analis memproyeksikan aksi korporasi ini dapat menurunkan rasio utang bersih terhadap EBITDA TOWR pada semester II menjadi 4 kali dari 4,6 kali pada kuartal II-2025.
Selain itu, TOWR telah mengakuisisi 40 persen saham PT Remala Abadi Tbk (DATA) senilai Rp536 miliar untuk memperkuat bisnis konektivitas dan fiber to the home (FTTH).
Sementara itu, TBIG memperoleh rekomendasi hold dengan target harga Rp2.025 per saham dari posisi Rp1.925.
Emiten ini diperkirakan tetap fokus pada pertumbuhan organik dengan struktur neraca yang optimal dan biaya utang yang efisien. CGS menilai valuasi TBIG saat ini sejalan dengan pertumbuhan EBITDA dan prospek ROE tahun 2025.
Dari sisi kinerja keuangan, laba bersih MTEL dan TBIG sepanjang semester I, tercatat sesuai dengan ekspektasi konsensus Bloomberg, sementara laba bersih TOWR sedikit meleset akibat biaya bunga lebih tinggi.
Total pendapatan gabungan ketiga emiten mencapai Rp14,4 triliun, naik 2,7 persen secara tahunan. Namun, capaian tersebut sedikit di bawah proyeksi karena dampak finalisasi merger Indosat-Hutchison.
Dari indikator operasional, analis mencatat tenancy ratio menara industri turun ke level 1,62 kali pada paruh pertama 2025, lebih rendah dibandingkan 1,66 kali pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Ini terjadi sejalan dengan penurunan harga rata-rata tarif sewa menjadi Rp11,7 juta per bulan dari sebelumnya Rp12 juta.
"Meski begitu, margin EBITDA tetap terjaga berkat peningkatan kontribusi bisnis fiber sebesar 15,5 persen dan efisiensi belanja operasional," kata analis.
Outlook industri menara diperkirakan menghadapi pertumbuhan penyewa yang rendah dalam tiga tahun mendatang, terutama setelah merger XL Axiata dan Smartfren yang ditargetkan rampung pada kuartal II-2026.
Dengan terbatasnya peluang akuisisi di bisnis menara, aksi anorganik diproyeksikan lebih banyak menyasar aset fiber. MTEL sudah menyiapkan belanja Rp2 triliun untuk akuisisi anorganik tahun ini, sedangkan TOWR dengan tambahan modal dari rights issue diposisikan lebih agresif dalam akuisisi aset serupa.
Dari perspektif valuasi, CGS menilai sensitivitas emiten tower terhadap imbal hasil obligasi Amerika Serikat lebih tinggi dibanding obligasi domestik dalam tiga tahun terakhir.
Dengan proyeksi penurunan suku bunga The Fed sebesar 100 basis poin dalam 15 bulan ke depan, potensi re-rating sektor ini terbuka.
Target valuasi berbasis EV/EBITDA 2026F ditetapkan masing-masing 9,6 kali untuk TOWR, 9,9 kali untuk MTEL, dan 12,7 kali untuk TBIG.
CGS menegaskan, katalis utama revaluasi sektor menara ada pada penurunan suku bunga dan keberhasilan akuisisi aset fiber.
"Risiko yang perlu dicermati berasal dari potensi perubahan regulasi serta belanja modal operator seluler yang lebih rendah dari perkiraan," tulis analis.
(DESI ANGRIANI)