Prospek Sektor Komoditas Emas-Nikel Cs, Dua Saham Ini Jadi Sorotan
Prospek komoditas emas dinilai masih lebih menjanjikan dibanding nikel pada 2026.
IDXChannel - Prospek komoditas emas dinilai masih lebih menjanjikan dibanding nikel pada 2026. Analis memproyeksikan emiten emas mampu mencetak margin yang jauh lebih tinggi, seiring kuatnya aksi beli bank sentral dan peluang penurunan suku bunga Federal Reserve (The Fed) yang menjadi penopang utama harga emas global.
Menurut analis CGS International Sekuritas Indonesia (CGSI) dalam riset yang terbit pada 24 November 2025, produsen seperti PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) berpotensi membukukan margin EBITDA di kisaran 40-50 persen pada 2026.
Momentum ini ditopang oleh kondisi pasar emas yang kondusif serta kenaikan produksi yang terus berlanjut, sehingga ruang pertumbuhan laba keduanya dinilai cukup besar.
Di sisi lain, sektor nikel masih dibayangi kelebihan pasokan global. Meski harga mulai stabil mendekati batas cash cost industri, CGSI memandang tekanan masih kuat sehingga margin EBITDA emiten nikel diperkirakan hanya berkisar 20 persen pada 2026.
Dalam situasi harga yang cenderung datar, pertumbuhan laba di sektor nikel lebih banyak bergantung pada peningkatan volume penjualan, terutama bijih nikel, NPI/FeNi, dan MHP. Emiten seperti MBMA dan NCKL, kata CGSI, menjadi contoh pemain yang masih memiliki peluang tumbuh melalui ekspansi produksi.
CGSI mencatat produksi nikel olahan dunia terus menanjak dan sempat mencapai rekor, sementara permintaan belum pulih kuat.
Produk nikel perantara seperti MHP dan nikel sulfat diperkirakan sedikit diuntungkan oleh puncak permintaan kendaraan listrik (EV) berbasis ternary di China menjelang akhir tahun.
Namun, harga NPI masih tertekan lantaran lemahnya permintaan baja nirkarat, meskipun produksi NPI Indonesia tetap tumbuh 20,8 persen secara tahunan hingga Oktober 2025.
Dengan kondisi tersebut, CGSI menilai harga nikel pada 2026 cenderung bergerak datar di kisaran USD16.000 per ton untuk LME nickel, USD12.000 per ton untuk NPI, dan USD15.000 per ton untuk nikel sulfat maupun MHP.
Salah satu faktor yang dapat menjadi katalis positif adalah rencana pemerintah Indonesia untuk membatasi izin pembangunan smelter baru yang hanya memproduksi NPI, FeNi, atau MHP.
Langkah ini dianggap sebagai dorongan menuju produk hilir yang bernilai tambah lebih tinggi. Meski belum ada kepastian waktu penerapannya, kebijakan ini berpotensi menguntungkan NCKL karena struktur produksinya sudah berada di level lanjutan dan tidak bergantung pada proyek smelter baru.
Dalam laporannya, CGSI kembali menempatkan ARCI dan MDKA sebagai pilihan utama (top picks) di sektor komoditas logam. Keduanya memperoleh rekomendasi Add, yang berarti sahamnya diperkirakan dapat memberikan imbal hasil lebih dari 10 persen dalam 12 bulan mendatang.
Di sektor nikel, NCKL juga direkomendasikan Add karena memiliki struktur biaya (cash cost) yang rendah dan prospek pertumbuhan laba yang kuat. MBMA turut dinaikkan ke rekomendasi Add setelah CGSI melihat prospek penjualan bijih nikel yang solid pada 2026-2027.
Sementara itu, INCO dan HRUM mempertahankan status Hold, yang berarti potensi imbal hasilnya berada di kisaran 0-10 persen dalam 12 bulan.
ANTM justru diturunkan menjadi Reduce, atau saham dengan potensi penurunan kinerja karena total imbal hasilnya diperkirakan berada di bawah 0 persen dalam setahun ke depan.
CGSI menekankan bahwa arah sektor logam ke depan sangat ditentukan oleh stimulus yang mampu mendorong permintaan, perkembangan kondisi oversupply yang mempengaruhi harga, serta kebijakan pemerintah yang dapat memperkuat atau justru menahan kinerja industri tambang nasional. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.