Proyek Smelter Aluminium Adaro Senilai Rp31,3 Triliun Disebut Lama Balik Modal
Proyek rencana pengembangan smelter mineral tambang aluminium milik emiten Garibaldi ‘Boy’ Thohir, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR).
IDXChannel - Proyek rencana pengembangan smelter mineral tambang aluminium milik emiten Garibaldi ‘Boy’ Thohir, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR), yang juga merupakan anak perusahaan dari PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), tengah menjadi sorotan.
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada Rabu (11/10/2023) memperingatkan bahwa proyek smelter aluminium tersebut memerlukan stabilitas harga aluminium yang tinggi selama bertahun-tahun untuk memulihkan investasi.
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa proyek ADMR ini akan secara signifikan menambah emisi karbon dioksida melalui pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai pendukungnya.
Grup Adaro Indonesia tengah membangun pabrik peleburan (smelter) aluminium berkapasitas 500 kiloton per tahun dan pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 1.100 megawatt.
Proyek ini disebut akan memerlukan waktu delapan hingga 11 tahun untuk menutup belanja modal sebesar USD2 miliar atau setara Rp 31,38 triliun (kurs Rp 15.692 per USD) berdasarkan skenario harga terbaik aluminium sebesar USD2.800 per ton.
Dinamika Harga Aluminium Dunia
Harga komoditas aluminium berjangka turun menuju angka USD2.214 per ton pada Rabu (11/10) setelah menyentuh level tertinggi dalam lima bulan di angka USD2.347 per 29 September.
Berdasarkan data Trading Economics, dalam setahun terakhir, harga aluminium dunia telah terkontraksi 3,95 persen dan selama lima tahun terakhir harga mineral tambang ini turun 1,14 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Penurunan harga aluminium dunia kini mengikuti penurunan logam dasar lainnya karena prospek bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve yang hawkish dan mengangkat kinerja indeks dolar AS serta menghambat sentimen industri.
Namun, kekhawatiran pasokan juga sempat membatasi penurunan harga aluminium. China yang merupakan produsen utama dunia dan bertanggung jawab atas lebih dari setengah produksi global, menghentikan perluasan kapasitas produksi melebihi batas saat ini sebesar 45 juta ton.
Ini sebagai upaya Beijing untuk mencegah kelebihan pasokan dan konsumsi energi yang lebih tinggi dari infrastruktur yang sudah tua dan tidak efisien.
Pada saat yang sama, Indonesia juga memberlakukan larangan terhadap ekspor bauksit, yang merupakan bijih komersial utama aluminium yang juga membahayakan produksi global.
Dalam perhitungan IEEFA, Adaro disebut akan mengalami risiko finansial untuk proyek tersebut dengan harga aluminium global di level saat ini. (Lihat tabel di bawah ini.)
“Dalam skenario harga terbaik sebesar USD2.800/ton aluminium, pabrik peleburan aluminium Adaro Fase 1 berkapasitas 500ktpa dan pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas 1.100MW akan memerlukan delapan hingga 11 tahun untuk menutup belanja modal sebesar USD2 miliar, dan dengan asumsi bahwa harga akan naik 30 persen dari level saat ini,” kata Ghee Peh, penulis laporan dan Analis Keuangan Energi di IEEFA.
Peh menambahkan, pertimbangan finansial untuk proyek ini lemah karena Adaro akan mengalami kerugian jika harga aluminium saat ini masih akan terus mengalami tekanan.
Rencana Ekspansi Adaro dan Dampak Lingkungannya
Pada Mei 2020 lalu, perusahaan energi berbasis batu bara ini pertama kali mengusulkan pembangunan kompleks pabrik peleburan aluminium tiga fase di Kaltara Industrial Park di Kalimantan Utara.
Pabrik peleburan Tahap 1 ini memiliki target produksi sebesar 500 kiloton per tahun (ktpa). Dalam proses produksinya, proyek ini akan mengambil pasokan energinya dari pembangkit listrik captive sebesar 1.100 megawatt (MW) dengan konstruksi yang sedang berlangsung.
Pembangkit listrik captive adalah fasilitas pembangkit listrik off-grid yang dikelola dan digunakan oleh pengguna energi industri.
Dalam hal produksi aluminium, konversinya dari alumina merupakan proses intensif energi yang memerlukan 15.700 kilowatt-jam (kWh) untuk menghasilkan satu ton aluminium.
IEEFA juga menduga, alasan mengapa proyek smelter aluminium Adaro dijalankan adalah untuk memaksimalkan potensi bauksit di lokasi tersebut serta ketersediaan batu bara dan pembangkit listrik tenaga air.
“Pembangunan kapasitas peleburan aluminium tambahan di Indonesia dapat dikaitkan dengan dua kemungkinan alasan. Yaitu untuk mengurangi kekurangan pasokan dalam negeri dan untuk menggunakan sumber daya bauksit dalam negeri untuk menciptakan nilai lebih bagi perekonomian,” kata Peh.
Namun, IEEFA juga menyebutkan, dari sudut pandang lingkungan, proyek smelter aluminium Adaro ini akan mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah besar yang setara dengan hampir 1 persen emisi CO2 Indonesia pada 2021.
“Kita mungkin perlu berhati-hati terhadap risiko greenwashing jika pemerintah Indonesia benar-benar menganggap pembangkit listrik captive sebagai pembangkit listrik ramah lingkungan hanya karena pembangkit tersebut mendukung produksi material seperti nikel atau aluminium atas nama transisi energi,” tambah Peh.
Selama ini, aluminium ramah lingkungan idealnya diproduksi menggunakan energi terbarukan. Penggunaan energi hijau justru dapat menjadi keunggulan kompetitif aluminium, jika produksinya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah.
Namun, IEEFA menemukan, tahap pertama dan kedua proyek smelter aluminium Adaro diperkirakan akan menggunakan listrik berbahan bakar batu bara. Hanya tahap ketiga, yang juga menargetkan produksi sebesar 500 ktpa, yang akan didukung oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
“Selain itu, Fase 1 dapat menghasilkan 5,2 juta ton CO2 saat beroperasi. Ini setara dengan 0,8 persen total emisi CO2 Indonesia pada 2021,” kata Peh.
Adaro juga disebut telah mendapatkan pinjaman dari lima bank domestik di Indonesia. Namun, pada Februari lalu, Standard Chartered dan DBS Bank dilaporkan menolak mendanai Adaro Tahap 1.
“Dukungan pendanaan akan semakin rumit karena semakin banyak lembaga keuangan yang mengadopsi kebijakan keluar dari sektor batu bara,” imbuh Peh. (ADF)