Raksasa Migas Shell Ancam Hengkang dari Bursa London, Ada Apa?
Raksasa minyak dan gas (migas) multinasional Inggris, Shell Plc, dikabarkan tengah mempertimbangkan akan hengkang alias delisting dari London Stock Exchange.
IDXChannel - Raksasa minyak dan gas (migas) multinasional Inggris, Shell Plc, dikabarkan tengah mempertimbangkan akan hengkang alias delisting dari London Stock Exchange (LSE) dan akan melantai di New York Stock Exchange (NYSE).
Menurut surat kabar harian Inggris, Shell sedang mempertimbangkan semua opsi karena mereka mengeluhkan rendahnya apresiasi di Bursa Efek London.
CEO Shell Wael Sawan mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan tersebut dinilai terlalu rendah di London karena sikap apatis pemegang saham terhadap sektor migas.
Sawan juga mengungkapkan rasa frustrasinya yang mendalam atas rendahnya apresiasi investor terhadap kinerja keuangan perusahaan tersebut, serta pajak yang berlebihan dari pemerintah Inggris atas keuntungannya.
Sawan juga akan mempertimbangkan mengalihkan pencatatan sahamnya ke New York dalam upaya untuk menutup kesenjangan penilaian dengan perusahaan Minyak Besar Amerika lainnya seperti Exxon Mobil Corp. (XOM) dan Chevron Corp. (CVX).
Harga saham perusahaan kini mendekati rekor tertinggi di GBP2.851, sebagian disebabkan oleh gejolak geopolitik beberapa tahun terakhir yang mendukung kenaikan harga migas. Meski begitu, Sawan yakin saham tersebut dinilai terlalu rendah.
Sepanjang tahun ini, secara year to date (YTD), saham Shell terapresiasi sebanyak 10,7 persen dan secara harian menguat 0,33 persen pada perdagangan akhir pekan, Jumat (19/4). (Lihat grafik di bawah ini.)
Sawan bukanlah eksekutif Shell pertama yang mengadopsi pemikiran ini. Mantan CEO Shell Van Beurden mengungkapkan hal serupa pada 2021.
Ben van Beurden juga mengatakan, perusahaan-perusahaan minyak yang terdaftar di New York menikmati valuasi saham yang lebih tinggi dan memiliki akses terhadap modal.
Per April 2024 Shell memiliki kapitalisasi pasar sebesar USD230,80 miliar. Angka ini menjadikan Shell sebagai perusahaan paling bernilai ke-47 di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar menurut data Companiesmarketcap.com.
Imbas Aktivisme Lingkungan Eropa
Salah satu alasan keengganan investor di Eropa untuk membeli saham Shell adalah karena perusahaan ini merupakan produsen energi fossil dan penghasil emisi.
Penilaian terhadap perusahaan bahan bakar fosil juga mengalami penurunan selama beberapa tahun terakhir berkat transisi energi ramah lingkungan.
Selain itu, tingginya tingkat aktivisme iklim di Eropa membuat perusahaan ini dijauhi masyarakat di benua Biru.
Misalnya, awal tahun ini, para aktivis lingkungan melakukan protes di luar kantor pusat Shell di London setelah perusahaan tersebut mengumumkan laba tahunan lebih dari USD28 miliar (setara GBP22 miliar) pada 2023, dan merupakan salah satu laba bersih tahunan paling menguntungkan yang pernah tercatat.
Sementara itu, Shell dan sejumlah perusahaan energi di Eropa terus berinvestasi besar-besaran pada energi terbarukan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan minyak besar berbasis Amerika.
Terlepas dari upaya Sawan untuk mengurangi investasi ramah lingkungan, Shell masih menginvestasikan sekitar 20 persen belanja modal tunainya pada aset rendah karbon.
Angka ini lebih besar dibandingkan dengan hanya 2 persen yang dikeluarkan Exxon untuk solusi rendah karbon yang fokus utamanya menangkap dan menyimpan emisi karbon.
Di samping itu, perusahaan-perusahaan energi Eropa, termasuk Shell, secara tradisional melakukan perdagangan saham dengan harga diskon dibandingkan perusahaan-perusahaan Amerika.
Namun kesenjangan tersebut semakin melebar dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, pada 2018, nilai valuasi Shell termasuk utang yang ditanggung sekitar 6x EBITDA (Pendapatan sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi, dan Amortisasi), sedangkan Exxon bernilai 7x EBITDA.
Namun, perusahaan-perusahaan raksasa energi di Eropa mengalami penurunan valuasi lebih cepat dibandingkan perusahaan-perusahaan Amerika. Bahkan Shell kini bernilai 4x EBITDA dibandingkan dengan 6x EBITDA Exxon.
Strategi bisnis yang berbeda juga dapat menjelaskan melebarnya kesenjangan penilaian valuasi ini.
Pada 2021, mantan CEO Shell, Van Beurden, menyatakan bahwa harga minyak akan tetap rendah selamanya, dan menargetkan penurunan produksi minyak sekitar 1 persen hingga 2 persen setiap tahun hingga 2030.
Sementara total produksi minyak dan gas pada 2030 diperkirakan akan sama dengan tingkat pada 2022.
Sebaliknya, produksi minyak Exxon malah diperkirakan akan tumbuh sebesar 7 persen berkat investasi di Guyana serta pengambilalihan Pioneer Natural Resources senilai USD60 miliar baru-baru ini.
Harga minyak kini juga telah mengalami kenaikan, dengan minyak mentah WTI telah mengalami kenaikan 12,94 persen YTD per 18 April 2024 dan minyak Brent telah naik 10,83 persen YTD.
Pada 15 April 2024, harga minyak mentah Brent sempat berada pada USD90,34 per barel dan USD85,41 per barel untuk minyak WTI dan menjadi level tertinggi sepanjang 2024 imbas ketegangan yang terjadi di Timur Tengah. (ADF)