Riset IEEFA: Ada Potensi Greenwashing Emiten Batu Bara RI Imbas Ekspansi PLTU
Sejumlah emiten batu bara di Indonesia memiliki potensi melakukan greenwashing karena masih mendanai operasional Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
IDXChannel - Sejumlah emiten pertambangan batu bara di Indonesia memiliki potensi melakukan greenwashing karena masih mendanai operasional Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Hal tersebut termuat dalam laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Dalam laporan yang dirilis edisi Juni 2024 tersebut, IEEFA menganalisis tujuh produsen batu bara terbesar di Indonesia, yang menyumbang 27 persen dari produksi batu bara dalam negeri.
Sejumlah perusahaan ini terindikasi melakukan ekspansi pembangunan PLTU terikat alias captive power plant di sejumlah wilayah operasional unit bisnis pertambangan mereka.
Merujuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsep captive power plant adalah kondisi di mana sebuah perusahaan mengelola dan menyediakan sumber pasokan listrik sendiri.
Produsen-produsen tersebut di antaranya adalah PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), Geo Energy Resources Ltd., dan PT Harum Energy Tbk (HRUM).
Ketujuh perusahaan ini melaporkan rekor keuntungan dalam dua tahun terakhir karena melonjaknya harga batu bara pada 2022, dengan level kas yang menggemuk hingga USD10,3 miliar, serta kinerja hasil keuangan yang sehat sepanjang 2023.
Laporan tersebut juga menyoroti pembiayaan dari bank dan perusahaan yang terus mendorong perluasan kapasitas batu bara di Indonesia.
Khususnya, bank pelat merah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Permata Tbk (BNLI) berkontribusi terhadap investasi batu bara baru ini.
Potensi Greenwashing
Analis Pembiayaan Energi IEEFA, Ghee Peh mengatakan tingginya laba dan tingkat kas sejumlah emiten batu bara tersebut mendorong perusahaan untuk meningkatkan kapasitas batu bara untuk PLTU.
Menurut analisis Peh, setelah sejumlah emiten batu bara membagikan dividen pada paruh pertama 2023, ketujuh perusahaan tersebut memiliki tumpukan kas gabungan sebesar USD6,5 miliar pada akhir tahun lalu.
Dengan kas jumbo, perusahaan batu bara melakukan diversifikasi bisnis sebagai cara untuk menggunakan laba bersih mereka dibandingkan dengan melakukan investasi ulang pada bisnis pertambangan inti.
Terlihat lima dari tujuh perusahaan tersebut berinvestasi pada aset non-batu bara, seperti Adaro Energy pada peleburan aluminium dan Harum Energy pada peleburan nikel.
Namun, Peh menyoroti pengembangan armada pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 2,3 gigawatt (GW) dan mungkin juga membangun kapasitas batu bara baru sebesar 2,2 GW milik Adaro.
Meskipun Adaro sedang mempertimbangkan untuk menambah sumber daya terbarukan untuk memenuhi usulan fasilitas berkapasitas 2,2 GW pada pabrik peleburan aluminium Tahap 2, pabrik peleburan tersebut akan dilengkapi dengan fasilitas pembangkit listrik terikat (captive power) yang akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
“Meskipun pemerintah Indonesia mendorong produksi bahan-bahan seperti nikel atau aluminium untuk mendukung transisi energi, penting untuk mewaspadai potensi risiko greenwashing seputar investasi pada pembangkit listrik captive,” ujar Peh.
Informasi saja, greenwashing adalah adalah taktik yang digunakan oleh perusahaan untuk ‘mengelabui’ pelanggan agar percaya bahwa produk, layanan, atau misi organisasi mereka yang menyatakan kepedulian pada lingkungan, sebetulnya tidak benar-benar berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Sementara, Bayan Resources ditelisik mendapatkan pinjaman senilai USD200 juta dari Bank Permata dan USD200 juta dari Bank Mandiri, sedangkan Geo Energy mendapatkan pinjaman USD220 juta dari Bank Mandiri.
Peh menunjukkan, pada 2023, kedua perusahaan ini mengeluarkan pengeluaran paling besar dibandingkan dengan tingkat kas, meningkatkan tingkat utang secara signifikan, dan meningkatkan pinjaman sebagai bagian dari rencana untuk memperluas kapasitas pembangkit batu bara di wilayah operasional perusahaan dalam jangka menengah.
“Ekspansi kapasitas batu bara Bayan Resources dan Geo Energy sebesar 58 juta ton dapat mendukung rencana pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 21 GW sehingga berpotensi menambah emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 53 juta ton,” kata Peh.
Geo Energy telah menandatangani perjanjian jual beli bersyarat (CSPA) untuk mengakuisisi 58,65 persen saham PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT).
Di sisi lain, pada Oktober 2023, emiten batu bara pelat merah PTBA meresmikan PLTU Sumsel-8 berkapasitas 2 x 660 MW.
Sementara itu, di Weda Bay Industrial Park, 5 pembangkit listrik tenaga batu bara telah dibangun, dan 12 pembangkit listrik direncanakan menyediakan total 3,8GW tenaga batu bara.
Laporan ini menyoroti adanya rencana pengembangan kapasitas pembangkit listrik sebesar 21 GW setara dengan setengah dari kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2023 sebesar 40,7GW di seluruh Indonesia.
Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa proyek pembangkit listrik captive yang ada saat ini berjumlah 13 GW yang mencakup 32 persen dari kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2023.
Diperkirakan jika terdapat tambahan kapasitas 21 GW, maka kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara akan meningkat sebesar 52 persen pada 2023.
“Mengingat Indonesia memiliki waktu kurang dari tujuh tahun untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 32 persen pada 2030, prospek pertumbuhan PLTU besar-besaran kemungkinan akan memicu kekhawatiran di antara para member Just Energy Transition Partnership (JETP),”kata Peh.
Sebagai informasi, Indonesia melakukan kerjasama JETP untuk mendanai pensiun dini PLTU batu bara mulai 2035. Hal ini dilakukan untuk mencapai target net-zero emission (NZE) di sektor energi pada 2050.
Estimasi JETP, untuk menyiapkan pensiun dini dan penghentian bertahap PLTU batu bara, Indonesia membutuhkan investasi hingga USD1,3 miliar hingga 2030.
Laporan IEEFA juga mencatat, produsen batu bara Indonesia meraih rekor keuntungan pada 2022 dan terus memperoleh pendapatan yang kuat sepanjang 2023. Ini didorong oleh melonjaknya harga batu bara global menyusul pembatasan internasional terhadap impor batu bara dari Rusia akibat invasinya ke Ukraina.
IEEFA meneliti angka-angka dari tujuh produsen batu bara besar yang terdaftar di Indonesia yang telah mengungkapkan data keuangan dan produksinya untuk memahami bagaimana keuntungan tersebut disalurkan.
Secara keseluruhan, ketujuh perusahaan tersebut menghasilkan total produksi sebesar 217 juta ton sepanjang 2023, yang mencakup sekitar 27 persen dari total produksi batu bara Indonesia sebesar 775,2 juta ton.
Lebih lanjut, ketujuh perusahaan tersebut melaporkan rekor laba sebesar USD8,4 miliar secara kolektif pada 2022 dan keuntungan besar sebesar USD4,4 miliar pada 2023. (ADF)