MARKET NEWS

Risiko Resesi AS hingga Akhir Era Carry Trade Yen Hantui Pasar Saham

TIM RISET IDX CHANNEL 05/08/2024 11:24 WIB

Ada hantu bergentayangan di pasar saham global: hantu resesi Amerika Serikat (AS) dan berakhirnya era carry trade yen Jepang.

Risiko Resesi AS hingga Akhir Era Carry Trade Yen Hantui Pasar Saham. (Foto: Freepik)

IDXChannel – Ada hantu bergentayangan di pasar saham global: hantu resesi Amerika Serikat (AS) dan berakhirnya era carry trade yen Jepang. Imbas dari kekhawatiran tersebut, pasar saham global turun tajam.

Menurut data pasar, pukul 09.32 WIB, Nikkei 225 Jepang anjlok 5,41 persen, ke posisi terendah dalam tujuh bulan, mencatatkan penurunan tiga hari beruntun terbesar sejak krisis keuangan 2011.

Indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang merosot 2,0 persen.

Setali tiga uang, indeks Hang Seng Hong Kong turun tajam 1,17 persen, Shanghai Composite minus 0,57 persen, Straits Times Singapura jatuh 3,13 persen, KOSPI Korea Selatan (Korsel) tergelincir 5,31 persen, ASX 200 Australia melemah 2,69 persen.

Dari dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,65 persen.

Kontrak berjangka (futures) bursa saham Amerika Serikat (AS) turun pada Minggu malam waktu setempat menyusul pekan yang bergejolak di Wall Street, di mana Nasdaq Composite turun ke wilayah koreksi, sedikit lagi menuju bear market.

Dow Jones Industrial Average futures melemah 0,96 persen. Futures S&P 500 dan futures Nasdaq-100 masing-masing merosot 1,6 persen dan 2,5 persen.

Tanda Pelemahan Ekonomi AS

Penurunan pertumbuhan pasar tenaga kerja di Amerika Serikat (AS) yang signifikan selama Juli menimbulkan kekhawatiran bank sentral Federal Reserve (The Fed) bergerak terlalu lamban dalam memangkas suku bunga, yang bisa memicu resesi.

Menurut Trading Economics, laporan ketenagakerjaan (non-farm payrolls/NFP) AS yang dirilis pada Jumat (2/8) lalu menunjukkan penambahan 114.000 pekerjaan di ekonomi terbesar dunia tersebut, jauh di bawah rata-rata kenaikan 215.000 selama setahun terakhir.

Tingkat pengangguran naik 0,2 persen menjadi 4,3 persen, memicu Aturan Sahm (Sahm Rule), yang merupakan salah satu indikator resesi.

Data ini muncul dua hari setelah The Fed memilih untuk tidak menurunkan suku bunga acuan, yang tetap pada level tertinggi 23 tahun, yaitu di rentang 5,25-5,5 persen sejak Juli lalu.

Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) ingin melihat lebih banyak bukti bahwa inflasi menuju target 2 persen sebelum mengambil langkah kebijakan lebih lanjut.

Powell mengatakan pemangkasan suku bunga mungkin akan dibahas pada pertemuan berikutnya di September, dan laporan pekerjaan per Juli hampir memastikan bahwa FOMC akan melakukannya.

Harus Lebih Agresif

Namun, mengutip Financial Times (FT), Jumat (2/8), sejumlah ekonom mengatakan The Fed sekarang harus bergerak lebih agresif daripada yang seharusnya jika mereka mulai menurunkan suku bunga lebih awal.

"Mereka membuat kesalahan. Mereka seharusnya sudah menurunkan suku bunga berbulan-bulan yang lalu," kata kepala ekonom di Moody’s Mark Zandi, dikutip FT.

"Sepertinya penurunan suku bunga seperempat poin di September tidak akan cukup. Harus ada penurunan setengah poin dengan sinyal jelas bahwa mereka akan lebih agresif dalam menormalkan suku bunga daripada yang mereka indikasikan,” ujar Zandi.

Senada, kepala ekonom di EY Parthenon Gregory Daco, setuju rapat FOMC pada Juli adalah "kesempatan yang terlewatkan" bagi The Fed. Dia mengatakan akan lebih optimal jika bank sentral tersebut melakukan pemotongan suku bunga pertama pada Juni.

"Jika Anda melihat ke depan, data menunjukkan perlambatan aktivitas ekonomi, momentum pasar tenaga kerja yang melambat, dan disinflasi yang sedang berlangsung, yang memang menjadi tujuan The Fed,” kata Daco.

Mirip dengan argumentasi sejumlah pengamat di muka, analis BRI Danareksa Sekuritas dalam riset yang terbit pada 5 Agustus 2024 menulis, ekonomi Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda kelemahan yang semakin parah, memicu spekulasi bahwa The Fed akan segera memangkas suku bunga.

BRI Danareksa melihat, tingkat pengangguran AS meningkat menjadi 4,3 persen pada Juli 2024, tertinggi dalam hampir tiga tahun.

Aturan Sahm kini menandakan resesi, kata BRI Danareksa, memaksa The Fed mempertimbangkan langkah pemotongan suku bunga untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Risiko Likuidasi Carry Trade Yen

Kenaikan suku bunga oleh Bank of Japan (BoJ) pada 31 Juli lalu dan pengurangan pembelian obligasi telah menyebabkan penguatan mata uang Yen, yang kini mencapai level tertinggi dalam empat bulan terakhir.

Masih mengutip BRI Danareksa, ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed dan keputusan Bank of England (BoE) menambah kekhawatiran akan likuidasi carry trade yen, memaksa peminjam Yen untuk menutup posisi short mereka dan menjual aset di negara-negara dengan imbal hasil tinggi.

Penjelasan BRI Danareksa tersebut senada dengan explainer dari The Economic Times (5/8), yang menjelaskan, carry trade yen memperoleh fokus karena yen terapresiasi tajam setelah BOJ menaikkan suku bunga dan mengurangi pembelian obligasi.

“Hal ini menyebabkan investor melepas posisi mereka untuk menghindari kerugian, sehingga menyebabkan aksi jual saham-saham teknologi AS dan mempengaruhi pasar global, termasuk Asia,” jelas Economic Times.

Sedikit soal carry trade.

Carry trade adalah strategi perdagangan yang sangat populer di mana investor meminjam dari negara dengan suku bunga rendah dan mata uang lemah dan menginvestasikan kembali uang tersebut dalam aset negara lain dengan tingkat pengembalian yang lebih tinggi.

Carry trade bisa dibilang menjadi salah satu sumber arus dana terbesar di pasar mata uang global.

Menurut catatan Economics Times, meskipun carry trade juga lazim dilakukan dengan beberapa mata uang, yen Jepang dianggap sebagai salah satu mata uang yang paling banyak digunakan untuk tujuan ini.

Dalam carry trade yen, investor, termasuk investor ritel Jepang meminjam dengan suku bunga rendah di dalam Negeri Sakura tersebut dan membeli aset di negara lain dengan imbal hasil lebih tinggi, seperti saham dan obligasi luar negeri.

Pasar saham AS alias Wall Street menjadi favorit dalam beberapa waktu terakhir seiring penguatan dolar AS.

Yen populer untuk carry trade karena Jepang telah mempertahankan kebijakan suku bunga nol selama lebih dari dua dekade, kecuali periode pendek pada 2006-2008, untuk memerangi deflasi yang terus-menerus.

Namun, situasi saat ini berubah.

Pekan lalu, yen menguat lebih dari 3 persen terhadap dolar AS setelah BOJ—seperti dijelaskan di muka—menaikkan suku bunga menjadi 0,25 persen dan mengumumkan akan mengurangi pembelian obligasi.

Ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed juga berkontribusi terhadap melemahnya dolar.

Meskipun suku bunga di Jepang masih rendah, langkah BoJ dipandang sebagai sinyal bahwa mereka bergerak menuju normalisasi kebijakan moneter.

Pergerakan tajam yen tidak sering terjadi, itulah sebabnya yen menjadi mata uang pilihan untuk carry trade.

Yen harus tetap melemah jika carry trade ini ingin menghasilkan keuntungan.

Alhasil, ketika yen menguat terhadap dolar, investor bergegas mengambil tindakan atau melepas taruhan mereka pada yen sebagai bagian dari carry trade untuk menghindari kerugian.

Sorotan ke PMI RI

Balik ke analisis BRI Danareksa.

Analis BRI Danareksa mengamati, ekonomi domestik Indonesia juga menunjukkan tanda-tanda moderasi.

Indeks PMI turun di bawah 50, menunjukkan kontraksi aktivitas manufaktur akibat permintaan yang lebih rendah.

Tingkat pengangguran juga meningkat, seiring perusahaan mengurangi jumlah karyawan pada tingkat tertinggi dalam hampir tiga tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tren deflasi bulanan yang berlanjut dan inflasi inti yang stagnan, menunjukkan melemahnya tekanan harga.

BRI Danareksa berpendapat, ada potensi pemotongan suku bunga secara taktikal pada akhir tahun untuk merangsang pertumbuhan dan mengatasi tekanan deflasi. (Aldo Fernando)

SHARE