Rupiah Perkasa, Asing Mulai Lirik Pasar Modal RI saat The Fed Tahan Suku Bunga
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (Fed) menahan suku bunga fed fund rate (FFR) pada rapat terbaru.
IDXChannel - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (Fed) menahan suku bunga fed fund rate (FFR) pada rapat terbaru. FFR saat ini ada pada kisaran sebesar 5,25 persen hingga 5,5 persen.
Keputusan The Fed ini berdampak bagi pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Ditandai dengan rupiah yang kembali menguat dan aliran modal asing di pasar modal Indonesia.
Nilai tukar rupia di pasar spot lanjut menguat pada perdagangan jelang akhir pekan, Jumat (2/2). Rupiah spot dibuka di level Rp 15.754 per dolar Amerika Serikat (USD) dan kini berada di level Rp15.659 per USD pada pukul 11.23 WIB. (Lihat grafik di bawah ini.)
Dalam lima hari, rupiah sudah menguat 1,05 persen terhadap USD. Meski, secara bulanan rupiah masih tertekan 1,22 persen. Secara year to date (YTD), rupiah juga masih melemah 1,62 persen.
Melansir Stockbit Sekuritas, dengan meningkatnya kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia akan memiliki ruang yang lebih besar untuk mulai memangkas suku bunga, mengikuti The Fed. Berdasarkan konsensus yang dihimpun Bloomberg, Bank Indonesia diperkirakan akan mulai memangkas suku bunga pada kuartal ketiga tahun ini.
Dari pasar saham, pergerakan IHSG hari ini dipengaruhi sejumlah sentimen, dari eksternal, investor mengantisipasi data inflasi dan ketenagakerjaan AS untuk menakar peluang The Fed untuk memangkas suku bunga acuan di FOMC Maret 2024. CME FedWatch Tools mencatat probabilitas pemangkasan suku bunga di FOMC Maret sebesar 35,5 persen.
Keputusan The Fed menahan suku bunga juga membuat aliran modal asing pelan-pelan kembali ke pasar modal RI. Pasca pengumuman The Fed, asing mencatatkan beli bersih (net buy) di pasar saham Indonesia per Kamis (1/2) mencapai Rp886,17 miliar dan sepanjang 2024, asing mencatatkan net buy mencapai Rp9,22 triliun. Ini artinya, kepercayaan investor mulai kembali pulih di awal 2024.
Pada Kamis (1/2) kemarin, saham perbankan big four juga mencatatkan foreign net inflow harian sebesar Rp767 M secara kumulatif, dengan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) meraih foreign net inflow lebih dari Rp500 miliar dan PT Bank Mandiri Indonesia Tbk (BMRI) menjadi satu-satunya yang mencatat foreign net outflow sebesar Rp12 miliar.
Dua bank big four lainnya, yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing mencatat net inflow mencapai Rp131 miliar dan Rp104 miliar.
Ini merupakan net foreign inflow berturut-turut yang dicatatkan big banks selain BMRI dengan BBCA mencatatka net buy 4 hari terakhir, BBNI 4 hari terakhir, dan BBRI: 2 hari terakhir.
Meski mencatatkan foreign net outflow pada kemarin, BMRI sebelumnya mencatatkan foreign net inflow dalam 3 hari berturut-turut.
Rahmanto Tyas Raharja, Investment Analyst Lead Stockbit, inflow ini dapat menjadi indikasi meningkatnya appetite investor asing ke emerging market, menyusul pernyataan The Fed yang memberikan sinyal bahwa suku bunga sudah berada di puncak. Inflow ini juga terjadi seiring yield obligasi AS dengan tenor lebih dari 2 tahun terus turun pasca-pertemuan The Fed.
Di samping itu, jika mengacu pada dampak sikap hawkish The Fed di AS, era suku bunga tinggi di negeri Paman Sam untuk jangka waktu yang lebih lama terbukti telah meningkatkan biaya utang bagi konsumen dan dunia usaha dan menyebabkan perlambatan aktivitas perekonomian.
Namun, pengamat pasar akan terus mencermati data inflasi dan ekonomi untuk mencari kejelasan di tengah ketidakpastian yang dihadapi The Fed dalam upayanya mencapai kemenangan atas inflasi dan meminimalisir dampak buruk terhadap perekonomian.
Meskipun para pengamat dan pelaku pasar sudah mengantisipasi secara luas bahwa bank sentral akan mempertahankan suku bunga pada tingkat saat ini, dunia keuangan akan terus memperhatikan petunjuk lebih lanjut mengenai waktu dan tingkat potensi penurunan suku bunga sepanjang tahun ini.
Sebelumnya, keputusan The Fed terbaru menandai pertemuan keempat berturut-turut di mana para pembuat kebijakan memilih untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil terhitung sejak September 2023.
Dalam pengumuman tersebut, ketua The Fed Jerome Powell juga terlihat menahan diri mengenai penurunan suku bunga di tahun ini.
“Mantra konferensi pers hari ini tampaknya adalah 'lebih banyak data'. Powell mengakui bahwa kemajuan baik telah dicapai, namun komite ingin lebih yakin bahwa inflasi akan turun secara berkelanjutan hingga 2 persen” kata Ajene Oden, Ahli Strategi Investasi Global untuk tim Strategi Investasi Global J.P. Morgan.
Data terbaru menunjukkan moderasi inflasi AS selama beberapa bulan terakhir cukup menggembirakan. Namun, data bulan Desember menunjukkan pasar tenaga kerja yang lebih panas dari perkiraan dan kenaikan inflasi telah menimbulkan pertanyaan tentang kapan The Fed mempertimbangkan penurunan suku bunga.
The Fed juga terus menggunakan senjata utama lainnya dalam upaya anti-inflasinya dengan menjual aset-asetnya, terutama surat berharga berbasis hipotek, untuk menarik uang dari pasar keuangan. Kebijakan ini dikenal sebagai pengetatan kuantitatif (quantitative tightening/QT).
Menurut Powell, keputusan The Fed di masa depan mengenai suku bunga acuan akan bergantung pada apakah inflasi akan tetap terkendali seperti yang dilaporkan baru-baru ini. Ukuran inflasi pilihan The Fed menunjukkan harga-harga tumbuh sebesar 2,6 persen sepanjang tahun pada bulan Desember setelah melonjak lebih dari 7 persen pada bulan Juni 2022, jauh di bawah target The Fed sebesar 2 persen.
“Jadi kami melihat kelanjutan dari data bagus yang telah kami lihat,” kata Powell.
Para investor yang mencari petunjuk mengenai kemungkinan penurunan suku bunga dalam konferensi pers The Fed terbaru hanya menerima sedikit jawaban pasti dari Powell.
“Inflasi masih terlalu tinggi. Kemajuan yang sedang berlangsung dalam upaya untuk menurunkannya masih belum pasti, dan arah ke depan masih belum pasti,” kata Powell
Powell juga menegaskan bahwa penurunan suku bunga pada pertemuan berikutnya, yang dijadwalkan pada 19-20 Maret, tampaknya tidak mungkin terjadi.
Namun, Ketua Fed tetap bersikeras bahwa diperlukan lebih banyak bukti sebelum siklus pelonggaran dapat dimulai. Dia menekankan bahwa para pengambil kebijakan tetap “sangat memperhatikan” risiko inflasi, yang menunjukkan bahwa The Fed siap untuk mempertahankan suku bunga kebijakan pada level saat ini lebih lama jika diperlukan.
“Inflasi yang lebih rendah pada paruh kedua tahun lalu disambut baik, namun kita perlu melihat bukti berkelanjutan untuk membangun keyakinan bahwa inflasi bergerak turun menuju tujuan kita,” kata Powell. (ADF)