Saham Bank Besar Menggeliat, Momentum Nyata atau Sementara?
Saham-saham bank besar menunjukkan taji menjelang akhir perdagangan Kamis (9/10/2025).
IDXChannel - Saham-saham bank besar menunjukkan taji menjelang akhir perdagangan Kamis (9/10/2025).
Di tengah arus keluar (outflow) dari sejumlah saham konglomerat, sektor perbankan justru tampil sebagai motor penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menuju rekor tertinggi baru.
Namun, pertanyaannya kini, apakah kebangkitan saham bank besar benar-benar menandai perubahan tren, atau sekadar pantulan sesaat?
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham bank pelat merah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) melesat 3,76 persen ke level Rp3.860 per unit, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) meningkat 4,06 persen menjadi Rp4.100 per unit, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) naik 3,29 persen ke Rp4.390 per unit.
Saham bank swasta terbesar milik Grup Djarum, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pun terapresiasi 2,37 persen menjadi Rp7.550 per unit.
Namun, investor asing masih melego saham-saham tersebut. Sebut saja, BBCA mencatatkan jual bersih (net sell) pada Kamis sebesar Rp554,30 miliar di pasar reguler, BBRI sebesar Rp680,02 miliar, BBNI Rp90,49 miliar, dan BMRI Rp74,32 miliar.
Sementara, IHSG ditutup naik 1,04 persen ke level 8.250,90, usai sempat menembus rekor tertinggi 8.272,63 selama intraday.
Sepanjang 2025, aliran dana asing yang keluar dari bursa Tanah Air terbilang besar, mencapai Rp51,69 triliun, dengan porsi terbesar berasal dari penjualan saham bank-bank besar.
BBCA, misalnya, mencatatkan jual bersih asing hingga Rp31,75 triliun year to date (YtD). Selama 2025, BBCA sudah jatuh 19,56 persen.
Menariknya, meski investor asing melakukan aksi jual masif di sektor perbankan, IHSG justru mampu bangkit dan melanjutkan reli di paruh kedua 2025 berkat dukungan saham-saham big cap milik konglomerat, seperti Grup Barito hingga Sinarmas.
NIM Tertekan
Dalam riset yang terbit pada 2 Oktober 2025, Ciptadana Sekuritas mencatat kinerja sektor perbankan per Agustus 2025 masih melemah, terutama akibat tekanan pada net interest margin (NIM).
Laba bersih bank-bank dalam cakupan riset turun 2,8 persen secara tahunan (YoY) menjadi Rp128 triliun sepanjang Januari-Agustus 2025, lebih dalam dari kontraksi 1 persen pada 7 bulan pertama (Januari-Juli 2025).
BBCA tetap menjadi penopang utama dengan pertumbuhan laba 9 persen YoY, menahan penurunan laba bank BUMN besar yang mencapai 6-10 persen YoY. Secara bulanan, laba Agustus turun 10 persen, dipicu pelemahan NIM.
Penurunan paling tajam terjadi pada BMRI sebesar 34 persen secara bulanan (MoM) akibat tekanan biaya operasional. Sebaliknya, BBTN dan BRIS mencatat lonjakan laba masing-masing 116 persen dan 63 persen MoM berkat normalisasi pasca-audit.
Ciptadana menilai tekanan terhadap NIM masih akan berlanjut pada kuartal III-2025.
Likuiditas hasil injeksi belum tersalurkan ke aset produktif. Sementara mulai 5 November, bank-bank BUMN akan menaikkan suku bunga deposito valas menjadi 4 persen per tahun, berpotensi menarik dana dari deposito rupiah di tengah tren penurunan suku bunga.
Dari sisi penyaluran kredit, pertumbuhan dipimpin bank-bank BUMN. BMRI mencatat pertumbuhan kredit 11 persen YoY, melampaui panduan 8–10 persen. BBNI tumbuh 8 persen YoY, sementara BBCA melambat ke 9 persen YoY dari 11 persen bulan sebelumnya.
Tren biaya kredit (CoC) bervariasi. BBRI mencatat lonjakan CoC ke 3,3 persen, sedangkan BMRI turun ke 0,5 persen karena pembalikan provisi. BBCA tetap unggul dengan CoC terendah 0,3 persen.
Ciptadana mempertahankan rekomendasi overweight untuk sektor perbankan, dengan BBCA sebagai top pick di kelompok bank besar dan BBTN untuk small-mid cap. Risiko utama yang perlu dicermati adalah pemulihan NIM yang lebih lambat dari perkiraan serta potensi tekanan kualitas aset.
Peluang Akumulasi?
Penurunan harga saham BBCA sekitar 20 persen sejak awal tahun dinilai DBS Group Research sebagai peluang akumulasi.
Dalam riset terbarunya, analis DBS Muhammad Nurkholis Syafruddin dan Rui Wen Lim menilai potensi perbaikan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) hingga 2026 bisa menjadi pendorong utama kinerja saham, melampaui pertumbuhan kredit, provisi, dan pendapatan nonbunga.
DBS memperkirakan pertumbuhan laba BBCA akan tetap terjaga berkat imbal hasil kredit yang sehat dan basis pendanaan yang kuat. Stabilnya margin bunga bersih (net interest margin/NIM) diperkirakan dapat menahan dampak perlambatan pertumbuhan volume kredit.
Dengan mempertimbangkan fundamental yang solid dan prospek perbaikan NII, DBS mempertahankan rekomendasi buy untuk saham BBCA dengan target harga Rp12.000 per unit. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.