Saham Grup Bakrie Berpesta: BRMS Cetak Rekor, DEWA-BUMI Ikut Melejit
Saham-saham Grup Bakrie, yang sebagian kepemilikannya juga dimiliki Grup Salim, kembali mencatat lonjakan pada Rabu (1/10/2025).
IDXChannel – Saham-saham Grup Bakrie, yang sebagian kepemilikannya juga dimiliki Grup Salim, kembali mencatat lonjakan pada Rabu (1/10/2025).
Analis menilai, masih ada katalis kuat yang berpotensi menjaga momentum reli ini, bahkan membuka peluang salah satu emiten tambang masuk ke indeks global.
Contohnya, saham PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) terus menanjak hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa (ATH) di Rp965 per unit pada perdagangan intraday pagi tadi.
Hingga pukul 11.13 WIB, saham emiten tambang emas ini melesat 12,50 persen. Yang menarik, level Rp700 terakhir kali diraih BRMS pada 2011, sebelum terperosok ke kisaran Rp50 pada periode 2016–2020.
Dalam sepekan terakhir BRMS sudah naik 31,47 persen, melesat 101,06 persen dalam sebulan, dan meroket 173,12 persen sejak awal tahun.
Kenaikan serupa juga terlihat pada induknya, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), yang menguat 6,04 persen hari ini. Sepanjang sebulan, saham BUMI tercatat melonjak 44,95 persen, sementara secara year to date (YtD) naik 33,90 persen.
Pergerakan positif turut dialami PT Darma Henwa Tbk (DEWA). Saham kontraktor tambang ini naik 5,15 persen hari ini, setara kenaikan 26,79 persen dalam sebulan terakhir, dan sudah menanjak 155,86 persen sepanjang 2025.
Tak ketinggalan, saham PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) yang bergerak di sektor kendaraan listrik (EV) juga meroket 100,00 persen dalam sebulan. Di sisi lain, emiten migas PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) ikut menguat 9,94 persen hari ini dan tumbuh 59,46 persen dalam sebulan terakhir.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai prospek sejumlah saham Grup Bakrie, terutama di sektor pertambangan, masih ditopang sejumlah katalis positif.
“Sebenarnya masih dengan story yang sama, mulai dari restrukturisasi equity,” katanya, Selasa (30/9/2025).
Ia menambahkan, faktor fundamental juga ikut mendukung. “Kemudian, beberapa project fundamental seperti kemungkinan pemindahan tambang yang dimiliki oleh UNTR ke DEWA, dan lain sebagainya,” ujar Michael.
Michael juga menyoroti peluang BRMS masuk ke indeks global. “BRMS berpotensi untuk masuk ke MSCI dan FTSE jika pada observation period akhir tahun ini mampu berada di angka Rp600 ke atas,” tuturnya.
Di samping BRMS, DEWA tengah mempercepat transformasi bisnis dengan sejumlah langkah strategis yang diyakini bakal memperkuat kinerja jangka panjang.
Analis UOB Kay Hian dalam riset 25 September 2025 merekomendasikan beli (buy) dengan target harga Rp372 per saham, seiring prospek pertumbuhan yang solid dan diversifikasi usaha yang semakin jelas.
DEWA terus menambah skala operasi melalui penerapan armada XCMG yang ditargetkan beroperasi penuh pada Oktober dan terpakai maksimal pada Desember. Langkah ini diperkirakan mampu meningkatkan efisiensi bahan bakar serta akurasi estimasi produksi.
Di saat bersamaan, anak usaha Gayo Mineral Resources (GMR) melanjutkan eksplorasi di delapan prospek, termasuk Tengkereng Atas dan Bawah. Pernyataan cadangan sesuai standar JORC ditargetkan bisa dipublikasikan pada 2027.
Dari sisi keuangan, manajemen berencana mengoptimalkan neraca melalui reklasifikasi Rp1,46 triliun selisih kurs ke saldo laba.
UOB Kay Hian mencatat, langkah ini memang akan diikuti pencatatan beban penurunan nilai Rp500 miliar-Rp600 miliar pada kuartal III-2025, sehingga berpotensi membuat perusahaan membukukan rugi bersih sementara.
Namun, saldo laba diperkirakan positif pada kuartal berikutnya, memberi ruang bagi distribusi dividen sekaligus memangkas beban depresiasi di jangka menengah.
Untuk tahun penuh 2025, DEWA tetap menargetkan EBITDA Rp1,7 triliun, dengan margin yang diyakini membaik seiring armada baru beroperasi penuh di semester II. Net profit diproyeksikan mencapai Rp490 miliar, melesat 2.893 persen secara tahunan.
Menurut catatan UOB, manajemen juga tengah berupaya memperluas basis klien di luar BUMI guna menekan risiko ketergantungan.
Pendanaan ekspansi juga semakin kuat. DEWA telah mengantongi pinjaman sindikasi Rp350 miliar dari Bank Central Asia (BCA) untuk modal kerja dan penambahan armada.
Negosiasi tambahan fasilitas Rp150 miliar dengan Amar Bank dan ICBC masih berlangsung, sementara opsi kerja sama dengan bank asal China juga terbuka untuk mendukung roadmap elektrifikasi.
Tahap awal elektrifikasi akan diterapkan pada pengangkutan batu bara, kemudian meluas ke armada overburden dengan model pembayaran berbasis konsumsi listrik (kWh).
UOB Kay Hian menilai DEWA atraktif berkat proyeksi pertumbuhan EBITDA rata-rata 42,1 persen per tahun pada 2024–2028, ditambah potensi nilai lebih dari bisnis tembaga yang belum masuk perhitungan valuasi.
Menurut hemat analis UOB, katalis saham mencakup kelanjutan pengembangan armada, pertumbuhan laba kuat di 2025, serta peluang kontrak baru dari klien tambahan.
Sebelumnya, Sucor Sekuritas turut mengulas BUMI. Sebagai produsen batu bara terbesar di Indonesia, BUMI tetap solid dengan target produksi 80 juta ton per tahun dari KPC dan Arutmin.
Reformasi struktur royalti Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menjadi katalis margin baru—tarif turun dari 28 persen ke 19 persen—yang meningkatkan efisiensi secara struktural.
Sucor memproyeksikan laba bersih BUMI rebound 14 persen menjadi USD72 juta pada 2026 seiring stabilnya harga batu bara, turunnya biaya bahan bakar, dan penuh manfaat dari skema royalti baru.
Sementara itu, langkah diversifikasi mencakup akuisisi tambang emas di Australia dan konsesi bauksit yang akan dikembangkan menjadi smelter alumina senilai USD1,5 miliar.
Baru-baru ini, BRMS resmi masuk dalam daftar konstituen VanEck Gold Miners ETF (GDX), sebuah tonggak penting yang meningkatkan eksposur BRMS di mata investor global.
Menurut Sucor Sekuritas, dalam riset pada 15 September 2025, masuknya BRMS ke GDX menjadi titik balik signifikan bagi likuiditas, visibilitas, dan akses perseroan ke investor asing.
Selama empat bulan terakhir, kinerja GDX tercatat melonjak lebih dari 50 persen, jauh melampaui kenaikan harga emas yang hanya belasan persen. Hal ini mencerminkan rotasi investor ke saham-saham pertambangan emas sebagai proksi leverage terhadap kenaikan harga emas batangan.
Meski sudah reli, kata Sucor, GDX masih diperdagangkan dengan diskon yang lebar terhadap harga emas spot. Kondisi ini memberi sinyal ruang kenaikan lebih lanjut. BRMS, sebagai konstituen baru sekaligus salah satu yang tumbuh paling cepat di Asia Tenggara, diperkirakan akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dari pergeseran ini. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.