MARKET NEWS

Saham Konglomerat Terboncos sepanjang 2023, Ada Emiten CT hingga Bakrie

Maulina Ulfa - Riset 29/12/2023 17:50 WIB

Selain saham-saham moncer, tak sedikit pula emiten yang mencatatkan kinerja buruk, termasuk di antaranya emiten yang dimiliki oleh para taipan RI.

Saham Konglomerat Terboncos sepanjang 2023, Ada Emiten CT hingga Bakrie. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Pasar modal Indonesia sepanjang 2023 diwarnai oleh moncernya kinerja sejumlah emiten. Namun, tak sedikit pula emiten yang mencatatkan kinerja buruk, termasuk di antaranya emiten yang dimiliki oleh para taipan RI.

Di tengah rekor jumlah emiten yang mencapai lebih dari 900 emiten sepanjang tahun ini, beberapa emiten di antaranya dikuasai oleh konglomerasi Tanah Air. Sebut saja nama Prajogo Pangestu yang tahun ini muncul sebagai bintangnya pasar modal RI.

Ada juga kinerja saham sejumlah konglomerasi bisnis yang masih tertekan sepanjang tahun ini seperti milik Grup Bakrie, Grup Djarum, Grup Sinar Mas, Grup Salim, dan lainnya. Emiten-emiten tersebut memiliki fokus bisnis yang beragam, mulai dari pertambangan batu bara, perbankan, kesehatan, properti, konsumer, sampai otomotif.

Berikut rangkuman sejumlah emiten para taipan yang sahamnya berkinerja terpuruk sepanjang tahun ini berdasarkan data yang dihimpun Tim Riset IDX Channel per 28 Desember 2023.

GIAA-Grup CT Corp

Kinerja saham paling boncos adalah emiten penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Diketahui konglomerasi CT Corp milik salah satu taipan Chairul Tanjung menjadi salah satu pemilik terbesar saham GIAA saat ini.

Diketahui CT Corp menggenggam kepemilikan saham GIAA lewat Chairul Tanjung yang tercatat 0,0022 persen atau setara 2.014.126 lembar saham. Tak hanya itu, kepemilikan CT terhadap saham GIAA, sapaan akrabnya, juga melalui PT Trans Airways yang merupakan anak usaha CT Corp. PT Trans Airways diketahui menggenggam 7,99 persen saham GIAA dengan total 7.316.798.262 lembar saham.

Saham GIAA telah jeblok 66,18 persen sepanjang tahun ini hingga 28 Desember 2023.

GIAA juga mencatat rugi bersih sebesar USD72,07 juta atau setara Rp1,15 triliun (kurs Rp 15.493). Kerugian tersebut berbalik dari laba bersih senilai USD3,7 miliar. Kerugian ini disebabkan beban usaha yang melonjak 7,14 persen secara tahunan (yoy) menjadi USD1,99 miliar. Meski demikian, jumlah kerugian tersebut berkurang dibandingkan dengan kuartal I-2023, di mana GIAA merugi USD110,03 juta.

GIAA juga sempat digugat oleh krediturnya Greylag Goose Leasing 1410 Designated Activity Company dan Greylag Goose Leasing 1446 Designated Activity Company.GIAA juga akhirya gagal melakukan merger dengan maskapai penerbangan lainnya, yakni Citilink dan Pelita Air setelah sebelumnya kabar ini nampak meyakinkan.

LPPF-Grup Lippo

Saham konsumer milik Grup Lippo, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) juga menjadi salah satu saham berkinerja boncos sepanjang tahun ini.

Hingga tutup kuartal III-2023, kinerja keuangan LPPF juga masih lesu karena laba bersih yang signifikan. Merujuk laporan keuangan per 30 September 2023, pendapatan bersih LPPF hanya naik 0,31 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 4,98 triliun dari Rp 4,96 triliun.

Laba operasi Matahari Department Store juga mengalami penurunan 30,14 persen dibanding per September 2022 menjadi Rp 1,02 triliun hingga akhir kuartal III-2023. Sehingga laba yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk juga menyusut 40,18 persen yoy menjadi Rp630,51 miliar.

SONA-Grup Mayapada

Saham milik konglomerasi Grup Mayapada, PT Sona Topas Tourism Industry Tbk (SONA) juga tertekan sepanjang tahun ini. Saham SONA merosot 50,45 persen secara ytd.

Kabar teranyar, SONA berencana melakukan pemecahan nilai nominal saham atau stock split dengan rasio 1:2. Perseroan saat ini memiliki 331.200.000 lembar saham beredar dengan nilai nominal Rp250 per saham. Setelah stock split, jumlah saham perseroan menjadi 662.400.000 lembar dengan nilai nominal menjadi Rp 125 per lembar. (Lihat tabel di bawah ini.)

INDY-Grup Indika

Saham PT Indika Energy Tbk (INDY) milik Arsjad Rasyid menjadi salah satu saham dengan kinerja buruk sepanjang 2023. Saham INDY terkontraksi 47,07 persen sepanjang 2023 (ytd).

INDY membukukan penurunan kinerja dengan laba bersih turun menjadi USD93,8 juta hingga 9 bulan 2023. INDY membukukan pendapatan senilai USD2,29 miliar pada kuartal yang sama. Pendapatan ini turun 26,64 persen dibandingkan periode yang sama 2022 sebesar USD3,13 miliar. Laba bersih INDY ikut terjun 72,27 persen dari sebelumnya USD338,3 juta menjadi USD93,8 juta.

Indika Group merupakan konglomerasi yang dirintis oleh salah satu putra konglomerat terbesar pada era Orde Baru  Sudwikatmono, yaitu Agus Lasmono Sudwikatmono.

Perusahaan ini ini awalnya hanya berbisnis di bidang hiburan dan media massa, seperti rumah produksi sinetron dan film dengan nama Indika Entertainment, radio dengan nama Indika FM dan beberapa perusahaan lainnya sejak 1996.

Bisnis Indika Group mulai membesar pasca Sudwikatmono mengalami masalah akibat efek krisis ekonomi 1997-1998 di Indonesia.

Sementara INDY didirikan pada 2000. Empat tahun kemudian, perusahaan ini mengakuisisi 41 persen saham PT Kideco Jaya Agung yang bergerak di bidang pertambangan batu bara di Kalimantan Timur. Pada tahun 2006, perusahaan ini meningkatkan kepemilikan sahamnya di Kideco menjadi 46 persen. 

EMTK-Grup Emtek

Saham konglomerasi media milik keluarga Sariatmadja, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) juga masuk ke dalam jajaran saham terboncos. Saham EMTK turun 46,12 persen ytd.

EMTK juga mengalami penurunan kinerja keuangan sepanjang tahun ini hingga kuartal III-2023. EMTK membukukan rugi bersih Rp162,18 miliar per akhir September 2023. Dalam laporan keuangannya, EMTK mencetak pendapatan senilai Rp6,76 triliun alias turun 3,05 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp6,97 triliun.

BUMI-Grup Bakrie-Salim

Saham batu bara terafiliasi dengan Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) berkinerja buruk sepanjang tahun ini, dengan penurunan mencapai 45,96 persen ytd.

Seiring dengan penurunan saham, BUMI juga mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih per September 2023. Salah satu emiten batu bara terbesar di Indonesia ini membukukan pendapatan per kuartal III-2023 sebesar USD1,17 miliar. Pendapatan tersebut turun 15,78 persen secara year on year (yoy) dari sebelumnya USD1,39 miliar per September 2022.

BUMI juga mencatatkan beban pokok pendapatan per September 2023 mencapai USD1,09 miliar. Angka ini turun dari tahun sebelumnya sebesar USD1,10 miliar. Meski demikian, laba bruto BUMI jadi menyusut USD78,92 juta dari sebelumnya USD294,27 juta. BUMI mencatatkan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk USD58,26 juta. Angka ini anjlok 83,78 persen dari sebelumnya sebesar USD365,49 juta per September 2022.

Catatan saja, kini Bakrie dan Grup Salim menjadi pemegang saham pengendali bersama BUMI. Salim memegang 45,78 persen saham via Mach Energy (Hongkong) limited sejak Oktober tahun lalu melalui aksi korporasi private placement. Sementara, Bakrie memegang saham BUMI salah satunya melalui Long Haul Holdings Ltd. (ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

SHARE