MARKET NEWS

Sempat Pecahkan Rekor Sepanjang 2022, Pendapatan Raksasa Migas Dikalahkan Big Tech

Maulina Ulfa - Riset 13/02/2023 14:02 WIB

‘Rejeki nomplok’ yang diperoleh industri energi ini adalah pembalikan keuntungan usai selama dua tahun lamanya banyak perusahaan migas yang menderita kerugian.

Sempat Pecahkan Rekor Sepanjang 2022, Pendapatan Raksasa Migas Dikalahkan Big Tech (foto: MNC Media)

IDXChannel - Tahun 2022 digadang-gadang menjadi tahun kebangkitan raksasa minyak dan gas (migas). Namun, sektor big tech yang ternyata menghasilkan lebih banyak uang di sepanjang tahun lalu.

Sepanjang 2022, ketika investor banyak yang putus asa dengan sektor ini, empat perusahaan teknologi terbesar di AS secara kolektif membukukan laba bersih sekitar 41% lebih banyak dibanding lima perusahaan besar lain di bidang industri energi. 

Mereka adalah Apple (AAPL), Microsoft (MSFT), Alphabet (GOOG) (GOOGL), dan Meta (META) yang menghasilkan total pendapatan bersih sebesar USD255,7 miliar untuk tahun fiskal 2022.

Jika dibandingkan dengan gabungan laba bersih beberapa perusahaan migas, angka ini tergolong jumbo. Raksasa migas mencetakkan pendapatan gabungan tertinggi sepanjang sejarah hampir USD180 miliar dari Chevron (CVX), ExxonMobil (XOM), Shell (SHEL), BP (BP), dan TotalEnergies (TTE). (Lihat grafik di bawah ini)

Lima perusahaan raksasa migas ini masing-masing membukukan rekor laba bersih tahunan setelah invasi Rusia ke Ukraina membuat harga minyak mentah meroket mendekati USD130 per barel di awal hingga pertengahan 2022.

Andy Lipow dari Lipow Oil Associates baru-baru ini mengatakan, para ‘big oil’ ini menghasilkan banyak uang dengan memanfaatkan harga minyak mentah dan gas alam yang cenderung meroket. 

“Mereka berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat,"ujarnya dikutip Yahoo Finance, Senin (13/2/2023).

‘Rejeki nomplok’ yang diperoleh industri energi ini adalah pembalikan keuntungan setelah selama dua tahun lamanya banyak perusahaan migas yang menderita kerugian akibat dampak pandemi Covid-19, bahkan sebelum virus Corona menyerang.

"Selama pandemi, ketika harga minyak mentah turun menjadi USD20 per barel, mereka kehilangan banyak uang," imbuh Lipow.

‘Pilih Kasih’ Politisi AS Untuk Sektor Tekno

Sayangnya, profit taking perusahaan migas global ini tidak disambut baik oleh para politisi, khususnya di Amerika Serikat. 

Big tech seringkali mendapat sorotan karena beberapa laporan tentang praktik monopoli yang dilakukan. Sebagai contoh, Google yang masih berjuang dalam gugatan antitrust law di AS.

Namun, rekor laba big oil berulang kali menjadi sasaran kritik politisi dari Gedung Putih.

“Anda mungkin telah memperhatikan bahwa [perusahaan] big oil baru saja melaporkan rekor laba. Ini keterlaluan. Mereka menginvestasikan terlalu sedikit dari keuntungan itu untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan menekan harga gas," ujar Presiden AS Joe Biden dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu.

Krisis energi memang telah mengguncang banyak perekonomian dalam beberapa waktu terakhir akibat guncangan pasokan karena perang Rusia-Ukraina. Tak terkecuali AS.

Harga bahan bakar bensin sempat menembus USD5 per galon tahun lalu sebelum akhirnya turun. Namun, harga bensin akan bisa naik lagi ke level USD4 lagi pada bulan April mendatang.

Sementara banyak perusahaan energi, termasuk Chevron dan ExxonMobil telah menggunakan pendapatan mereka dari keuntungan 2022 untuk membayar hutang, membagikan dividen kepada pemegang saham serta program pembelian kembali saham (buyback).

Ketika Chevron mengumumkan program buyback saham senilai USD75 miliar pada Januari, langkah tersebut justru dengan cepat dikecam oleh Gedung Putih.

Namun, ketika Apple melakukan buyback hampir USD90 miliar sahamnya pada September tahun lalu, tak ada yang menegurnya. 

Bahkan, selama dekade terakhir, raksasa teknologi itu telah mengeluarkan lebih dari USD550 miliar untuk membeli kembali sahamnya sendiri.

Di lain pihak, pada minggu lalu, Meta mengumumkan buyback senilai USD40 miliar, meskipun pendapatan dari segmen iklan melambat dan perusahaan yang didirikan Mark Zuckenberg ini melakukan PHK besar-besaran. Mereka juga kebal kritik Gedung Putih.

"Mencecar perusahaan energi seperti halnya politisi ini sungguh tidak fair, Dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk berinvestasi dalam ekstraksi minyak,” kata Matt Maley, kepala strategi pasar di Miller Tabak kepada Yahoo Finance.

Sebagai informasi, pada Januari lalu, ExxonMobil mengumumkan biaya modal dan eksplorasi sebesar USD23 miliar hingga USD25 miliar untuk tahun fiskal 2023.

Sementara raksasa minyak Chevron memperkirakan menghabiskan sekitar USD17 miliar tahun ini untuk kebutuhan eksplorasi dan produksi. Jumlah ini 25% lebih tinggi dari tahun 2022. 

Tahun lalu raksasa minyak itu juga mengakuisisi Renewable Energy Group, sebuah perusahaan produksi biodiesel, senilai USD3,15 miliar. Namun langkah tersebut, mungkin tidak cukup untuk menenangkan kritik terhadap big oil.

Secara kinerja saham, emiten energi ini juga jauh mengungguli emiten lain, termasuk tekno sepanjang 2022. Bahkan anjloknya saham emiten tekno tercatat cukup dalam.

Kontras, sebagai contoh saham Google jeblok hingga 30,22% sepanjang tahun lalu, sementara saham ExxonMobil justru meroket 50,89%. (Lihat grafik di bawah ini)

Sebagai pugasan, meskipun perusahaan migas mungkin tidak mengulangi rekor laba tahun lalu, diharapkan mereka akan tetap melakukannya dengan baik tahun ini.

Di tengah pemulihan ekonomi yang terjadi di China, Eropa, dan AS karena permintaan global meningkat, harga minyak mentah diperkirakan dapat mencapai USD100 per barel dalam beberapa bulan mendatang. 

“Proyeksi harga minyak sebesar USD120 per barel sangat mungkin terjadi selama musim panas,” kata Louis Navellier dari Navellier Investing kepada Yahoo Finance.

Ia menambahkan, justru sangat menyukai saham energi daripada saham teknologi

“Hanya karena energi memiliki perkiraan pendapatan dan laba yang jauh lebih kuat, ditambah terus diperdagangkan jauh di bawah rasio PE untuk indeks S&P 500," imbuhnya. (TSA)

SHARE