MARKET NEWS

Simak Prospek Astra (ASII) di Tengah Pulihnya Industri Otomotif

Dinar Fitra Maghiszha 15/01/2025 11:45 WIB

Cek prospek bisnis dan target harga saham PT Astra International Tbk (ASII) di tengah pulihnya industri otomotif.

Simak Prospek Astra (ASII) di Tengah Pulihnya Industri Otomotif (foto mnc media)

IDXChannel - Emiten konglomerasi PT Astra International Tbk (ASII) menjadi sorotan investor dan analis seiring prospek bisnis di tengah tekanan persaingan dan tantangan pasar otomotif domestik. 

Maybank Sekuritas dalam riset bertajuk Astra International: Steady Year-End Performance masih mempertahankan rekomendasi ‘BUY’ untuk saham ASII dengan target harga (TP) Rp5.650.

Analis Maybank Sekuritas, Paulina Margareta menilai, valuasi ASII saat ini sangat menarik dengan perkiraan price-to-earnings ratio (P/E) sebesar 6x untuk tahun fiskal 2025, dengan dividend yield sekitar 7 persen.

“Kami mempertahankan pandangan kami tentang pemulihan bertahap di pasar otomotif pada full year 2025, khususnya di segmen mobil yang sebelumnya lesu,” kata Paulina dalam risetnya, Rabu (15/1/2025).

Terdapat ekspektasi terhadap peningkatan konsumsi, suku bunga yang lebih rendah, dan penyaluran kredit yang lebih mendukung pasar otomotif Astra.

Kinerja Pasar Otomotif di 2024

Penjualan mobil domestik pada Desember 2024 mencatat angka tertinggi sepanjang tahun, yakni 79.806 unit, meningkat 7 persen secara bulanan, meski turun 6 persen secara tahunan. 

Secara keseluruhan, penjualan kendaraan roda empat (4W) pada 2024 mencapai 865.723 unit, sedikit melampaui target industri sebesar 850 ribu unit.

Paulina menuturkan, pangsa pasar ASII sedikit tertekan, terutama karena penurunan kinerja Toyota. Pada Desember 2024, pangsa pasar ASII tercatat 52,8 persen, lebih rendah dibandingkan 55,9 persen di periode yang sama tahun sebelumnya. 

“Kendati demikian, secara tahunan, ASII tetap mempertahankan pangsa pasar stabil di angka 55,8 persen,” ujarnya.

Di sektor kendaraan roda dua (2W), ASII dinilai berhasil menjaga dominasinya dengan pangsa pasar mencapai 77,8 persen pada akhir 2024. Penjualan sepeda motor sepanjang tahun mencapai 6,33 juta unit, tumbuh 2 persen secara tahunan. 

Sayangnya, tren sepeda motor listrik (e-bikes) yang mulai meningkat belum memberikan tekanan berarti bagi posisi ASII.

Diversifikasi dan Tantangan

Paulina menilai, kekuatan utama ASII terletak pada model bisnisnya yang terintegrasi. Selain distribusi mobil dan motor, ASII memiliki keunggulan di sektor alat berat dan pembiayaan kendaraan. 

“Diversifikasi ini memberikan daya tahan bisnis yang kuat, menciptakan penghalang masuk bagi kompetitor, dan memungkinkan ASII mencatatkan return on equity (ROE) di atas biaya modal,” kata dia.

Adapun peluang besar bagi ASII dinilai datang dari potensi penurunan suku bunga yang dapat mendorong pembiayaan kendaraan. 

Selain itu, rebound harga komoditas, seperti batu bara dan CPO diharapkan memberikan efek positif pada permintaan alat berat dan sepeda motor. 

“Toyota juga diprediksi akan lebih agresif meluncurkan model baru, termasuk kendaraan listrik berbasis baterai (BEV),” tutur Paulina.

Antisipasi Risiko

Persaingan ketat di sektor otomotif masih menjadi risiko utama, terutama dari produsen mobil listrik asal China, yang dinilai Paulina akan menjadi tantangan besar. 

Selain itu, pengurangan subsidi bahan bakar dan kenaikan pajak kendaraan berbahan bakar fosil dapat memberikan tekanan pada permintaan.

Maybank juga mencatat pemulihan pasar otomotif akan berjalan bertahap pada 2025, terutama di segmen mobil yang sebelumnya lesu. Hal ini dididorong adanya perbaikan konsumsi masyarakat, suku bunga yang lebih rendah, dan kebijakan kredit yang lebih mendukung.

Dalam jangka panjang, diversifikasi ke sektor infrastruktur dan properti dapat menjadi penopang baru bagi pertumbuhan ASII. 

Meski membutuhkan modal besar dan periode pengembalian yang lebih panjang, strategi ini dinilai penting untuk menghadapi potensi penurunan kontribusi dari sektor alat berat dan perkebunan.

“Ada risiko bahwa diversifikasi ke infrastruktur membutuhkan banyak modal dan periode pengembalian yang lebih lama, juga risiko penurunan tajam pada harga komoditas,” kata Paulina.

(Fiki Ariyanti)

SHARE