Wall Street Jatuh, Dipicu Rencana Tarif Baru Trump
Wall Street ditutup kompak turun pada perdagangan Jumat (7/2/2025) waktu setempat.
IDXChannel - Wall Street ditutup kompak turun pada perdagangan Jumat (7/2/2025) waktu setempat usai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana untuk mengumumkan tarif timbal balik pada banyak negara pekan depan, menyusul data pekerjaan dan sentimen konsumen yang melemah.
Dow Jones Industrial Average (.DJI) merosot 0,99 persen menjadi 44.303,40, S&P 500 (.SPX) turun 0,95 persen ke 6.025,99, dan Nasdaq Composite (.IXIC) anjlok 1,36 persen menjadi 19.523,40.
Trump akan mengenakan pungutan timbal balik pada pekan depan. Namun tidak disebut negara mana yang akan disasarnya.
Pasar saham tertekan setelah data menunjukkan penurunan sentimen konsumen di tengah kekhawatiran atas inflasi. Angka pekerjaan yang beragam menyoroti pasar tenaga kerja yang moderat, namun sehat dan lonjakan upah.
Pembacaan ekonomi terbaru membantu menjelaskan mengapa para pembuat kebijakan mengisyaratkan tidak terburu-buru untuk menurunkan suku bunga acuan.
Sementara para investor masih bertaruh bahwa langkah selanjutnya adalah pemangkasan suku bunga The Fed, dan seluruh investor memperkirakan penurunan suku bunga satu kali pada September.
"Gambaran yang lebih luas masih merupakan ketahanan pasar tenaga kerja dan tekanan upah yang berkelanjutan," kata Seema Shah di Principal Asset Management, mengutip Bloomberg, Sabtu (8/2) waktu Jakarta.
"Ini hanya memberi Fed sedikit alasan untuk segera memangkas suku bunga," ujarnya.
Gaji non pertanian meningkat sebesar 143 ribu bulan lalu setelah revisi ke atas dari dua bulan sebelumnya. Revisi lain yang hanya dilakukan setahun sekali tidak separah yang diperkirakan sebelumnya.
Penambahan pekerjaan rata-rata 166 ribu per bulan tahun lalu, melambat dari laju 186 ribu yang dilaporkan sebelumnya.
Tingkat pengangguran adalah 4 persen, survei yang digunakan untuk menghasilkan angka tersebut memasukkan revisi terpisah untuk mencerminkan estimasi populasi baru di awal tahun, yang membuat angka tersebut tidak dapat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Sementara itu, upah per jam naik 0,5 persen.
“Pertumbuhan upah yang kuat baik untuk pekerja dan harus dilihat sebagai hal yang positif untuk belanja konsumen,” kata Bret Kenwell di eToro.
“Namun, Wall Street telah mencermati ukuran ini dengan saksama selama beberapa tahun terakhir, khawatir bahwa pertumbuhan upah yang terlalu kuat dapat mendorong inflasi lebih tinggi," tuturnya.
(Fiki Ariyanti)