News

Akademisi Unpad Beberkan Solusi Ancaman Krisis Pangan di Indonesia

Arif Budianto/Kontributor 11/12/2023 16:16 WIB

Akademisi dari Universitas Padjadjaran, Susanti Withaningsih membeberkan pentingnya pemetaan bio produksi untuk menjamin keberlangsungan pangan umat manusia.

Ilustrasi krisis pangan (MNC Media)

IDXChannel - Akademisi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Susanti Withaningsih membeberkan pentingnya pemetaan bio produksi untuk menjamin keberlangsungan pangan umat manusia. 

Withaningsih mengatakan, 70 persen bahan pangan sehari-hari seperti buah-buahan misalnya, mengalami proses polinasi atau  penyerbukan oleh serangga.

Fenomena serangga menjadi penyerbuk atau polinator sehingga buah-buahan bisa dikonsumsi merupakan suatu bentuk dari layanan ekosistem. 

Sekadar informasi, melansir dari Institut Penelitian Pertanian Nasional Perancis, kontribusi serangga penyerbuk terhadap pertanian global nilainya mencapai US$ 200 miliar setiap tahun.

Dalam perjalanannya mewujudkan tri dharma perguruan tinggi, bersama dengan kawanan peneliti lainnya, Susanti berusaha menguak permasalahan tersebut dengan mengumpulkan langsung data-data primer dari lapangan. 

Harapannya, hasil penelitian itu bisa menghasilkan model sistem bioproduksi yang tepat dan bisa diterapkan di tiap wilayah guna memulihkan layanan ekosistem dalam negeri sekiranya untuk tahun 2050.

“Nah kita itu ingin membuat model atau prediksi sebenarnya nanti tuh sekitar tahun 2050, sistem bioproduksi apa sih yang masih memungkinkan ada, kalau kita masih seperti sekarang nih pengelolaannya, seperti sekarang kondisinya, di mana pembangunan infrastruktur semakin banyak, perubahan tata guna lahan semakin banyak, apakah 2050 kita masih bisa makan?” kata Withaningsih, Senin (11/12/2023).

Susanti menjelaskan, terdapat dua  jenis sistem bioproduksi yang kemungkinan dapat diterapkan di masa mendatang untuk menyelamatkan ekosistem lingkungan. Pertama, ada sistem bioproduksi tradisional.

Sistem yang satu ini berkembang pada suatu wilayah tertentu dan diajarkan secara turun temurun berdasarkan pengalaman leluhurnya untuk melakukan praktik-praktik sistem bioproduksi.  

Sistem yang satu ini sering kali berakar dari produksi tanaman, peternakan, perikanan, atau hutan yang bersifat subsisten dan dicirikan oleh produksinya yang menjangkau wilayah lokal dan dikonsumsi secara lokal untuk sehari-hari. 

Sementara itu, sistem bioproduksi modern biasanya diperkenalkan dari luar wilayah. 

Misalnya, produksi tanaman yang diolah secara modern kerap juga didatangkan dari luar daerah dengan praktik budidaya menggunakan metode monokultur, lebih mengutamakan teknologi, terdapat unsur globalisasi, modernisasi, dan komersialisasi.

Selain itu, sistem bioproduksi modern juga lebih terintegrasi pasarnya, serta memiliki biaya produksi yang jauh lebih besar.

"Jadi memungkinkan hasil produksinya itu memang secara massal, diperuntukkan untuk menghasilkan sangat besar produksi, secara input materialnya lebih banyak karena kan banyak dari luar," kata dia.

Kendati demikian, Susanti mengungkap sistem bioproduksi juga bisa dipadukan antara yang tradisional dengan modern, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan sistem bioproduksi hybrid. Pemilihan sistem bioproduksi antara jenis satu dengan jenis lainnya akan bergantung pada model dan kebutuhan dari tiap-tiap wilayah.

Penelitian terkait sistem bioproduksi ini diinisiasi oleh Prof. Parikesit dari Departemen Biologi Unpad yang juga merupakan Kepala Center of Environment Sustainability Science atau Pusat Unggulan Lingkungan dan Ilmu Keberlanjutan.

Susanti mengulas, penelitian ini menggandeng beberapa mitra mancanegara yaitu IIJS Jepang yang diketuai oleh Dr. Osamu Saito dan University of the Philippines Los Banos (UPLB) di bawahi Professor Pulhin, serta mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 dari Unpad.

Tidak hanya akademisi saja, ternyata riset ini juga menerapkan pendekatan transdisiplin. Dalam artian, Susanti dan kawan-kawan turut berkolaborasi dengan pemerintah daerah tempat berlangsungnya riset, yakni Kabupaten Sumedang.

Kolaboratornya pun melibatkan masyarakat seperti Kelompok Tani Hutan (KTH), hingga lembaga pemerintahan seperti Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappppeda) Kabupaten Sumedang.

Keberhasilan dari sistem bioproduksi berkelanjutan di masa depan khususnya di tahun 2050 tidak hanya bergantung pada inovasi dan dedikasi peneliti dan pelaku sistem bioproduksi seperti petani, kebijakan pemerintah turut memainkan peran penting dalam hal ini. 

Susanti menekankan, perlu adanya sebuah transformasi untuk kehidupan yang lebih baik guna menghadapi berbagai tantangan lainnya di tahun 2050 mendatang.

Menurutnya, peraturan pemerintah seperti pemberian insentif akan mendukung penerapan praktik bioproduksi di kalangan petani sebagai katalis penting bagi perubahan positif.

Dengan menawarkan insentif, subsidi, dan panduan strategis, pemerintah mempunyai kekuatan untuk mendorong sistem bioproduksi berkelanjutan menuju masa depan yang lebih bertanggung jawab secara ekologis dan layak secara ekonomi.

(NIY)

SHARE