News

AS Buka Visa Pelajar Lagi, Media Sosial Pemohon Bakal Diperiksa Ketat

Ibnu Hariyanto 19/06/2025 10:04 WIB

Trump perintahkan layanan visa pelajar dilanjutkan, tapi dengan pemeriksaan ketat jejak digital dan media sosial pemohon visa.

Trump perintahkan layanan visa pelajar dilanjutkan, tapi dengan pemeriksaan ketat jejak digital dan media sosial pemohon visa. (foto: iNews Media)

IDXChannel- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memerintahkan layanan visa pelajar dan pertukaran internasional dilanjutkannya. Namun, Trump meminta ada aturan baru soal pemeriksaan lebih ketat terhadap aktivitas media sosial dan jejak digital pemohon visa.

Dalam surat internal Departemen Luar Negeri AS tertanggal 18 Juni yang diperoleh Reuters sebagaimana dikutip dari Channel News Asia, Kamis (19/6/2025), seluruh kedutaan dan konsulat AS diminta untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap jejak digital pemohon visa.

Tujuannya untuk mengidentifikasi pandangan yang dianggap bermusuhan terhadap Amerika Serikat, termasuk terhadap budaya, lembaga, dan prinsip dasarnya.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan proses evaluasi telah rampung dan aturan baru siap diterapkan. Dia menegaskan latar belakang aktivisme politik yang disertai kekerasan atau pernyataan anti-AS di media sosial dapat menjadi dasar penolakan visa. 

“Jika pemohon diketahui pernah aktif secara politik, apalagi disertai kekerasan, maka perlu dinilai apakah ia berpotensi melakukan hal serupa saat berada di AS,” tulis Rubio.

Dalam kebijakan baru ini, pemohon visa bisa diminta membuka akun media sosial mereka ke publik. Petugas konsuler akan menggunakan mesin pencari dan platform daring untuk memverifikasi data. 

Penolakan untuk membuka akses dapat dinilai sebagai upaya menyembunyikan informasi, dan dukungan terhadap kelompok seperti Hamas di media sosial akan jadi alasan langsung penolakan visa.

Proses yang lebih rumit ini bakal membuat jumlah wawancara yang diproses setiap hari menjadi terbatas. Kedutaan dan konsulat diminta memprioritaskan dokter asing dan mahasiswa yang akan kuliah di kampus dengan persentase mahasiswa internasional di bawah 15 persen.

Kebijakan ini menuai kritik dari kelompok kebebasan sipil di AS. Kelompok tersebut menilai kebijakan ini berisiko membatasi hak kebebasan berpendapat. Salah satu kasus menonjol adalah mahasiswa asal Turki yang sempat ditahan selama enam minggu karena mengunggah kritik terhadap kampusnya soal konflik Israel-Gaza.

>

(Ibnu Hariyanto)

SHARE