Indeks Demokrasi RI Kian Jeblok, Waktunya UU ITE Segera Direvisi
Aktivitas dari LBH Indonesia Arif Maulana menjelaskan, ada beberapa hal yang mengharuskan UU ITE segera direvisi.
IDXChannel - Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus menuai kritikan. Sejak disahkan, UU ITE telah memakan banyak korban, khususnya kalangan aktivis yang mengkritisi kebijakan penguasa.
Aktivitas dari LBH Indonesia Arif Maulana menjelaskan, ada beberapa hal yang mengharuskan UU ITE segera direvisi. Kendati pernah direvisi pada 2016 lalu, tetapi hal itu tidak lantas membuat UU itu lebih baik.
“UU ITE rentan mengkriminalkan warga negara. UU ITE sempet direvisi di tahun 2016 terkait dengan beberapa pasal, di antaranya mengurangi jumlah pidana. Ternyata tidak cukup. Koalisi Serius Revisi UU ITE mencatat bahwa ada 84 kasus pemidanaan terhadap warga negara dan 64 di antaranya menggunakan Undang-Undang ITE,” kata Arif dalam Konferensi Pers Koalisi Serius Revisi UU ITE yang disiarkan langsung kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia, Senin (13/3/2023).
Dia menuturkan, indeks demokrasi di Indonesia saat ini, dari tahun ke tahun semakin jeblok. Salah satu indikatornya adalah berbicara kebebasan sipil, termasuk dalam kerangka mengkritik pemerintah.
"Bukan hanya di wilayah offline, tapi juga di wilayah online. Dan UU ITE menjadi salah satu undang-undang yang mengancam demokrasi. Sudah tidak perlu ditawar lagi, saya kira, bahwa Undang-Undang ITE harus segera dibenahi,” lanjut dia.
Dia mencontohkan, dalam waktu terakhir, kasus yang dialami oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti adalah salah satu bukti dari ‘kesaktian’ UU ITE dalam mengkriminalisasi warga.
“Kalau kita merujuk kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti beberapa waktu yang lalu, kasusnya naik, sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. Artinya, kalau Kejaksaaan bekerja tidak benar, kasus ini akan disidangkan dalam waktu dekat. Dan salah satu pasal yang dikenakan adalah pasal 27 ayat 3 Undang-undang ITE yang berkaitan dengan pencemaran nama baik,” tegas dia.
Sementara itu, Perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas menilai, UU ITE merupakan ancaman sangat serius, baik bagi masyarakat luas, maupun jurnalis. Dalam catatan AJI, dalam dua tahun terakhir, sudah ada empat jurnalis yang divonis bersalah, yang berkaitan dengan karya jurnalistiknya.
“UU ITE ini ancaman serius bagi kebebasan berekspresi, terutama karena digunakan untuk menjerat kawan-kawan aktivis. Tapi di samping itu, UU ini menjadi ancaman serius bagi kawan-kawan media, terutama teman-teman jurnalis yang bekerja di media online, atau teman-teman yang selama ini menggunakan media sosial untuk kegiatan mencari data, mempublikasikan hasil pemberitaan dan sebagainya,” kata dia.
“AJI mencatat dalam dua tahun terakhir ada empat jurnalis yang divonis bersalah dengan Undang-undang ITE karena dia menulis kritik terhadap, satu, pejabat publik yang terkait dengan isu korupsi, kemudian terkait kritik kebijakan publik, kasus-kasus agraria,” lanjut Ika.
Secara kuantitas, angka empat mungkin dianggap sedikit. Namun, ketika bicara kebebasan yang dilindungi Undang-undang, angka tersebut dinilai cukup tinggi.
“Empat itu mungkin kelihatan kecil, tapi bagi kami, besar. Satu kasus aja dipenjara, itu besar. Kenapa ? karena sebetulnya perlindungan kebebasan pers itu sudah ada dalam undang-undang pers tahun 1999. Jadi perlindungan terhadap jurnalis untuk menjalankan tugas jurnalistik itu sudah diatur, dan itu seharusnya menjadi jaminan yang penuh terhadap kawan-kawan ketika melakukan aktivitas jurnalistik,” tegas dia.
Sementara, perwakilan dari LBH APIK Jakarta Roby menyoroti kondisi yang dialami oleh korban. “UU ITE ini punya persoalan serius bukan hanya kepada masyarakat pada umumnya, juga jurnalis, tapi juga kepada korban kekerasan kepada perempuan,” jelas dia.
Ditegaskannya, persoalan paling besar yang berkaitan dengan UU ITE, terjadi pada pasal 27 ayat I. “Dari 2021 ada jumlah kasus yang signifikan. Kasus kekerasan berbasis gender online, yang sebetulnya waktu itu belum ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Nah yang bisa digunakan, kemungkinan dalam proses hukum ada Undang-Undang ITE, khususnya fokus pasal 27 ayat 1,” jelas dia.
“Tapi nyatanya di lapangan, kami ketika melakukan pendampingan hanya 25 kasus yang bisa dilaporkan kepolisian, dan dua kasus yang masih dalam proses peradilan,” jelas dia.
Situasi tersebut, jelas dia, karena adanya ketakutan pada diri korban terhadap ancaman akan dikriminalkan. “Ini karena memang ditengarai oleh korban, diancam, akan dikriminalkan. Karena pasal 27 ayat 1. Sehingga korban enggan sekali melaporkan terhadap institusi kepolisian,” papar dia.
“Maka kami melihat pasal 27 ayat 1 dan pasal 27 ayat 3, sangat mudah sekali untuk dilegitimasi bahwa korban sudah tidak aman dalam situasi ketika undang-undang ITE itu hadir sampai detik ini,” lanjut dia menegaskan.
(YNA)