News

Intip Aturan Zero-Covid yang Tuai Protes dan Tekan Ekonomi China

Febrina Ratna 29/11/2022 12:25 WIB

Masyarakat China meminta kebijakan zero Covid-19 dihentikan ketika negara-negara lain sudah mulai melonggarkan peraturan terkait penanganan pandemi.

Intip Aturan Zero-Covid yang Tuai Protes dan Tekan Ekonomi China. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Shanghai pada Minggu (27/11/2022) lalu. Mereka berdemonstrasi meminta berakhirnya pembatasan kegiatan dalam kebijakan zero-Covid-19.

Bahkan, banyak yang menyerukan agar Presiden China Xi Jinping mengundurkan diri. Aksi tersebut bermula dari insiden terbakarnya apartemen di Urumqi yang menimbulkan sedikitnya 10 korban jiwa.

Masyarakat Urumqi pun melakukan protes kepada pemerintah setempat karena pembatasan kegiatan akibat kebijakan zero-Covid-19 menyebabkan upaya pertolongan tidak maksimal hingga menimbulkan korban jiwa. Protes di Kota Urumqi pun diikuti oleh berbagai kota besar di China.

Masyarakat China seperti sudah jenuh dengan kebijakan zero Covid-19 ketika negara-negara lain sudah mulai melonggarkan peraturan terkait penanganan virus corona tersebut. Bahkan, World Health Organization (WHO) memberikan pernyataan agar China memikirkan kembali strategi penanganan Covid-19.

Lalu, apa itu peraturan zero Covid-19 yang berlaku di China sejak awal pandemi? Berikut penjelasannya:

Aturan untuk Capai zero-Covid China

China merupakan salah satu negara yang paling berupaya menjadi anti-Covid-19. Hal itu dapat diukur dari pemerintah daerah harus menerapkan lockdown yang ketat, bahkan jika hanya ada sedikit kasus Covid-19.

Selain itu, negara tersebut bakal melaksanakan uji massal Covid-19 jika ada temuan kasus baru. Jika ada warga yang terpapar virus corona, harus isolasi mandiri di rumah atau tempat karantina yang disediakan pemerintah.

Tak berhenti sampai di situ, kegiatan bisnis dan sekolah harus tutup di area yang menjalankan lockdow. Begitu juga dengan pusat perbelanjaan, kecuali bagi ritel yang menjual makanan. Lockdown bakal dibuka jika sudah tidak ada lagi laporan penemuan kasus baru.

Akibat kebijakan zero Covid-19 itu, sebanyak 10 juta orang telah hidup dalam keterbatasan akibat lockdown. Beberapa pemerintah daerah bahkan menambahkan kebijakan ekstrem dengan memaksa pekerja tidur di dalam pabrik sehingga mereka tetap bisa bekerja selama karantina.

Pada awal November, pekerja di pabrik iPhone milik Foxcon yang berada di Zhengzhou melakukan aksi kabur  secara massal. Mereka takut akan terjebak di dalam akibat kasus Covid-19 yang kembali meningkat.

Sebelumnya, pada Agustus, pekerja Ikea yang berada di Shanghai memaksa keluar dari toko untuk kabur dari upaya penguncian paksa oleh otoritas setempat.

Meskipun, sejumlah kebijakan mulai dilonggarkan. Seperti  isolasi yang  hanya delapan hari dibandingkan kebijakan sebelumnya sebanyak 10 hari. Adapun pelonggaran isolasi itu termasuk lima hari di pusat isolasi dan tiga hari di rumah.

China juga melonggarkan aturan terkait penerbangan internasional. Negara tersebut akhirnya memperbolehkan penerbangan internasional masuk untuk pertama kalinya pada Maret 2022.

Apa efek kebijakan Zero-Covid terhadap ekonomi Cina?

Ketatnya peraturan Cina dalam menekan peningkatan kasus baru Covid-19 ternyata berdampak besar pada kegiatan ekonomi negara tersebut dan juga dunia.

Apalagi kota-kota besar di China telah dikunci dalam beberapa bulan terakhir. Seperti Shenzhen, kota dengan 17,5 juta penduduk dan merupakan tempat penghubung atau hub teknologi.

Sementara itu, Shanghai, kota dengan 26 juta penduduk dengan manufaktur, perdagangan, dan pusat keuangan China.

Lockdown pun menjadi faktor utama dari ragunya investor asing untuk datang ke China, dan terbukti dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya menyentuh 3,9% padahal ditargetkan sebesar 5,5% pada tahun ini.

Pengangguran pun meningkat, terutama pada angkatan muda. Selain itu, pasar properti melemah.

Bukan hanya Cina, perusahaan dan konsumen di negara lain juga ikut terdampak peraturan tersebut, terutama yang bergantung pada produk China. Misalnya produksi IPhone Apple yang harus tersendat karena pabrik Foxconn di Zhengzhou harus melakukan lockdown untuk beberapa waktu.

Mengapa Cina masih berusaha mencapai Zero-Covid?

Tidak seperti negara-negara lain yang sudah mulai melonggarkan aturan terkait Covid-19 dengan beberapa batasan. China justu mengambil kebijakan yang disebut "dynamic zero" dengan ditemukannya kasus positif baru Covid-19.

Alasan Cina tetap memberlakukan peraturan yang ketat yaitu menyelamatkan banyak nyawa terutama para orang tua yang lebih rentan. Ketatnya pembatasan ini memang membuat angka kematian lebih rendah daripada saat awal-awal pandemi, angka resmi sekarang hanya lebih dari 5.200.

Data kematian China juga sangat jauh jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Britania Raya. Jika di China tiga orang meninggal per satu juta penduduk, maka sama dengan 3.000 orang di Amerika Serikat dan 2.400 orang di Britania Raya per satu juta penduduk.

Mengapa WHO menganggap kebijakan Zero-Covid itu salah?

Tindakan Cina yang langsung menutup satu kota meskipun hanya sedikit kasus baru memang berhasil dalam menekan laju Covid-19.

Namun, WHO menyebut cara tersebut tidak akan berhasil terhadap varian Omicron karena lebih cepat menyebar daripada varian lainnya.

"Virus ini berkembang, mengubah perilakunya," kata Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus dari WHO.

"Dengan itu ... Mengubah tindakan Anda akan sangat penting," Tambah Dr. Tedros

Pernyataan WHO tersebut langsung dibantah oleh Presiden China Xi Jinping dengan mengatakan kebijakan Zero-Covid itu "ilmiah dan efektif", dan pemerintah mengatakan perubahan kebijakan yang disarankan WHO akan "pasti menyebabkan kematian sejumlah besar orang lanjut usia".

 

Penulis: Ahmad Fajar

(FRI)

SHARE