News

IUP Tambang Raja Ampat Dicabut Prabowo, DPR Minta Pemerintah Tak Ugal-ugalan Terbitkan Izin

Ahmad Al Fiqri 11/06/2025 01:06 WIB

Kasus Raja Ampat bisa jadi pembelajaran bagi Pemerintah agar tak ugal menerbitkan izin.

IUP Tambang Raja Ampat Dicabut Prabowo, DPR Minta Pemerintah Tak Ugal-ugalan Terbitkan Izin (FOTO:iNews Media Group)

IDXChannel - Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam meminta Pemerintah mengevaluasi sistem penerbitan IUP agar aktivitas tambang tak melanggar aturan seperti di Raja Ampat.

Pernyataan itu dilontarkan sekaligus merespons langkah Pemerintah yang mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menilai, kasus Raja Ampat bisa jadi pembelajaran bagi Pemerintah agar tak ugal menerbitkan izin.

“Kejadian di Raja Ampat bisa menjadi pembelajaran bagi Pemerintah untuk tidak ugal-ugalan menerbitkan izin tambang. Jangan sampai Pemerintah menjadi makelar tambang,” kata Mufti Anam dalam keterangan tertulis, Selasa (10/6/2025).

Mufti mengingatkan, Raja Ampat memiliki mega keanekaragaman yang merupakan habitat bagi ratusan jenis flora dan fauna yang unik, langka, dan terancam punah sehingga aktivitas tambang sangat merugikan ekosistem lingkungan hidup dan kemakmuran masyarakat setempat.

“Yang digali bukan cuma tambang, tapi harga diri kita sebagai bangsa! Raja Ampat bukan untuk ditambang tapi untuk dijaga. Pemerintah yang membiarkan tambang masuk ke sana, sama saja dengan menghancurkan masa depan anak cucu kita,” tuturnya.

Mufti pun mengingatkan, penambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat tak hanya merusak lingkungan tapi juga bertentangan dengan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No 27 tahun 2007 yang melarang aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2.

Oleh karenanya, Mufti menyoroti bagaimana bisa izin tambang terbit di Raja Ampat yang mayoritas merupakan wilayah konservasi. Apalagi sebagian tambang berdekatan dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Raja Ampat.

“Bahkan bisa-bisanya Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan yang sangat bertentangan dengan UU,” ujar Mufti.

“Belum lagi adanya respons sejumlah pejabat yang terkesan membela aktivitas tambang lalu muncul narasi-narasi yang bertentangan dengan suara masyarakat asli Papua,” tuturnya.

Mufti mengatakan Raja Ampat merupakan kawasan konservasi dan pariwisata kelas dunia, bukan zona industri ekstraktif. Sehingga, menurutnya, tidak masuk akal jika muncul izin-izin pertambangan di kawasan Raja Ampat.

“Sudah cukup hutan habis, laut rusak, masyarakat adat digusur. Kita tidak boleh menggadaikan alam yang akan menjadi modal kehidupan masa depan,” kata Mufti.

Berdasarkan analisis Greenpeace disebutkan lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan nikel dan sedimentasi di Raja Ampat.

Aktivitas itu juga mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut. Bahkan, dalam video yang dirilis Greenpeace, terlihat adanya pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga sebagai lokasi tambang aktif.

Untuk itu, Mufti menyebut ketegasan dari Pemerintah dengan menutup izin tambang bermasalah memang dibutuhkan karena ini terkait dengan komitmen perlindungan terhadap lingkungan, dan integritas dalam menjalankan hukum. 

“Kalau Negara ini masih waras, memang sudah seharusnya aktivitas tambang bermasalah di Raja Ampat dihentikan. Karena Raja Ampat harus dilindungi, bukan dirusak! Dengarkan suara rakyat, bukan hanya suara pemilik modal,” katanya.

“Jangan jual surga dunia yang ada di Indonesia ke pengeruk keuntungan yang menyebabkan lingkungan rusak dan rakyat menderita,” ujar Mufti.

Mufti pun mengkritik respons Pemerintah yang dinilai terlalu reaktif namun lamban dalam menyikapi polemik tambang nikel di kawasan Pulau kecil Raja Ampat, Papua Barat Daya sebab penghentian sementara tambang baru dilakukan setelah tagar #SaveRajaAmpat menjadi perhatian publik di media sosial. 

“Ini bukan persoalan baru. Aturan tentang larangan tambang di pulau-pulau kecil sudah jelas, tapi tetap saja izin pertambangan dikeluarkan. Pemerintah jangan menunggu viral dulu baru bergerak,” katanya.

Seperti diketahui, publik tengah ramai mengkampanyekan #SaveRajaAmpat menyusul eksploitasi sejumlah pulau-pulau kecil di Raja Ampat karena diketahui merusak wilayah yang dikenal sebagai surga dunia tak tergantikan itu. Setelah ramai dibicarakan, Pemerintah atas arahan Presiden Prabowo Subianto mencabut IUP 4 perusahaan di Kabupaten Raja Ampat.

Adapun nama empat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Kawei Sejahtera Mining.

PT ASP merupakan perusahaan penanaman modal asing dari China yang lokasi tambangnya berada di Pulau Manura, PT Mulia Raymond Perkasa dengan lokasi tambang di Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun, serta PT Nurham yang berlokasi di Pulau Yesner Waigeo Timur. Empat perusahaan itu izinnya dicabut karena melakukan pelanggaran lingkungan, termasuk karena sebagian area tambangnya masuk ke kawasan geopark.

Sementara izin PT GAG Nikel yang pertambangannya di Pulau Gag disorot publik belakangan ini justru tidak dicabut izinnya oleh Pemerintah. PT GAG Nikel

yang terafiliasi dengan PT Aneka Tambang Tbk. atau Antam tidak dicabut dengan status izin Kontrak Karya Operasi Produksi.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, PT GAG tetap diizinkan beroperasi karena berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah, perusahaan mematuhi aturan lingkungan hidup dan tata kelola limbah yang baik sesuai analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal). Meski begitu Pemerintah akan tetap mengawasi pertambangan di wilayah tambang PT GAG.

(kunthi fahmar sandy)

SHARE