Kamar Dagang Thailand Desak Pemerintah Bikin Kelompok Kerja Atasi Ancaman Tarif AS
Kamar Dagang Thailand desak pemerintah atasi ancaman tarif AS, usul impor lebih banyak produk AS untuk kurangi surplus perdagangan.
IDXChannel- Kamar Dagang Thailand mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan atas ketidakpastian kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS). Pemerintah Thailand diminta membentuk kelompok kerja untuk mengatasi ancaman tarif AS itu.
Dilansir Channel News Asia, Kamis (6/3/2025), Kamar Dagang Thailand membenarkan jika ketidakpastian perdagangan AS membuat panik.
Untuk itu, pemerintah harus segera meninjau kembali pajak impornya atas barang-barang AS. Selain itu, kamar dagang Thailand meminta pemerintah meningkatkan impor untuk mengurangi surplus perdagangan dengan AS.
"Hari ini, jika ditanya apakah kami panik tentang AS, kami pasti panik karena mereka adalah pasar ekspor nomor satu kami," kata Wakil Ketua Kamar Dagang Poj Aramwattananont dalam sebuah konferensi pers.
"Waktunya sangat singkat. Jika kita tidak bergegas dan tidak menanggapi secara resmi apa yang sedang terjadi, kita akan mengalami masalah. Kita harus siap dan menanggapi dengan cara yang adil bagi semua pihak," ucapnya.
Poj Aramwattananont telah meminta pemerintah untuk membentuk sebuah kelompok kerja khusus di samping war room untuk menangani masalah-masalah kebijakan perdagangan AS. Menurutnya, Thailand dapat mengimpor lebih banyak energi dan produk pertanian serta pesawat terbang dari Amerika Serikat untuk mempersempit kesenjangan ini.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya menandatangani memorandum perdagangan yang memerintahkan badan-badan federal untuk menyelesaikan tinjauan komprehensif terhadap berbagai masalah perdagangan sebelum 1 April 2025, termasuk analisis defisit perdagangan AS yang terus-menerus.
AS merupakan pasar ekspor terbesar Thailand di 2024 dengan menyumbang 18,3 persen dari total pengiriman setahun. Nilai ekspor mencapai senilai USD54,96 miliar atau setara Rp896 triliun.
Selain itu, Thailand memiliki surplus perdagangan USD35,4 miliar (Rp577 triliun) dengan Amerika Serikat di 2024.
(Ibnu Hariyanto)