Kasus Bakteri Pemakan Daging Meningkat di Jepang, Pemerintah RI Batasi Perjalanan?
Jepang tengah dilanda wabah infeksi mematikan yang disebut sindrom syok toksik streptokokus (STSS).
IDXChannel - Jepang tengah dilanda wabah infeksi mematikan yang disebut sindrom syok toksik streptokokus (STSS). Penyakit tersebut disebabkan Streptococcus Grup A, bakteri radang tenggorokan yang juga dikaitkan dengan kondisi 'pemakan daging' necrotizing fasciitis.
Kasus STSS di Jepang telah melampaui 1.000 dan menjadi perhatian global. Bakteri ini dijuluki ‘pemakan daging’ karena dapat menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat.
Penularan STSS terjadi melalui pernapasan dan droplet dari penderita.
Lantas, apakah kasus ini berdampak terhadap pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang? Kementerian Kesehatan RI menyatakan hingga saat ini tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait dengan STSS.
"Kalau sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan ya untuk kasus bakteri pemakan daging," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Siti Nadia Tarmizi, dalam keterangan resminya, Jumat (28/6/2024).
Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.
Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga sekarang, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri pemakan daging ini.
Meski kasusnya belum ditemukan di Indonesia, Kemenkes memastikan terus memantau situasi melalui surveilans sentinel Influenza Like Illness (ILI) – Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan pemeriksaan genomik.
Kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.
Infeksi STSS bisa berakibat fatal karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan.
Namun, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.
Jepang telah melaporkan kasus infeksi streptokokus dalam sistem notifikasi surveilans sejak 1999. Pada 2023, terdapat 941 kasus, dan angka ini meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024.
Meskipun mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS dipastikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan Covid-19.
Masyarakat diimbau untuk tetap menerapkan perilaku hidup sehat, menggunakan masker saat sakit, dan membiasakan mencuci tangan secara rutin.
“Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi Covid-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan," kata Nadia.
(NIA)