News

Kejaksaan Periksa Tujuh Saksi Terkait Dugaan Korupsi PDNS, Termasuk Pejabat Komdigi

Riyan Rizki Roshali 19/03/2025 08:02 WIB

Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakpus telah memeriksa tujuh orang saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) pada 17-18 Maret.

Kejaksaan Periksa Tujuh Saksi Terkait Dugaan Korupsi PDNS, Termasuk Pejabat Komdigi. (Foto: Instagram Kejari Jakpus)

IDXChannel - Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat telah memeriksa tujuh orang saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) pada 17-18 Maret lalu.

Kasi Intel Kejari Jakpus, Bani Immanuel Ginting, mengatakan para saksi itu di antaranya terdiri dari pejabat Kementerian Kominfo (sekarang Komdigi).

“Para saksi yang diperiksa terdiri dari pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika serta pihak terkait dalam pengadaan dan pengelolaan PDNS, sejumlah 7 orang saksi,” kata Bani dalam keterangannya, Rabu (19/3/2025).

Meski begitu, Bani tidak merinci siapa sosok pejabat Komdigi yang diperiksa itu, termasuk saksi-saksi lainnya. Bani menambahkan, penyidik telah merencanakan pemeriksaan terhadap puluhan saksi lainnya untuk mengungkap dugaan korupsi tersebut.

“Penyidik Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat masih akan terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi terkait untuk menuntaskan penyidikan perkara a quo, hingga saat ini masih ada sekitar 70 orang saksi yang akan diperiksa, ahli serta pemeriksaan dokumen-dokumen terkait,” ujar dia.

Dia menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk mengusut perkara ini secara transparan. Ia juga mengimbau kepada semua pihak untuk mendukung proses hukum ini.

Adapun dugaan korupsi proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di lingkungan Kementerian Kominfo (saat ini Kementerian Komdigi) terjadi pada 2020-2024. Surat perintah penyidikan atas kasus ini pun telah dikeluarkan pada Kamis (13/3/2025) kemarin.

"Atas adanya dugaan tindak pidana korupsi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Dr. Safrianto Zuriat Putra, S.H., M.H. menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-488/M.1.10/Fd.1/03/2025 tanggal 13 Maret 2025 dan memerintahkan sejumlah Jaksa Penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tersebut," kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakpus, Bani Immanuel Ginting dalam keterangan, Jumat (14/3/2025).

Bani mengungkapkan tim penyidik telah melakukan beberapa penggeledahan di beberapa tempat. Salah satunya di Kantor Komdigi, dan beberapa tempat lainnya di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Bogor, dan Tanggerang Selatan. Dari penggeladahan tersebut tim penyidik menyita sejumlah barang bukti yang berkaitan dengan dugaan korupsi itu.

"Berdasarkan penggeledahan tersebut jaksa penyidik telah menemukan dan menyita beberapa barang bukti seperti dokumen, uang, mobil, tanah dan bangunan serta barang bukti elektronik, dan lain-lain yang patut diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi a quo," tuturnya.

Dia juga menyampaikan akibat dugaan korupsi ini, kerugian negara ditaksir ratusan miliar. "Atas dugaan tindak pidana korupsi tersebut diperkirakan menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah ratusan miliar," ucapnya.

Sekadar informasi, Kementerian Kominfo pada periode 2020-2024 melalukan pengadaan barang/jasa dan pengelolaan PDNS dengan pagu anggaran Rp958 Miliar. Dalam proses lelang, Kejari Jakpus melihat ada oknum pejabat Kominfo yang sengaja memenangkan tender salah satu perusahaan.

"Dalam pelaksanaannya tahun 2020 terdapat pejabat dari Kominfo bersama-sama dengan perusahaan swasta melakukan pengondisian untuk memenangkan PT AL dengan nilai kontrak Rp60.378.450.000," ujar Bani.

"Kemudian pada tahun 2021 kembali perusahaan swasta yang sama memenangkan tender dengan nilai kontrak Rp102.671.346.360," tambahnya.

Lalu, pada 2022, perusahaan yang sama terpilih sebagai pelaksana kegiatan tersebut dengan nilai kontrak Rp 188,9 miliar.

"Di tahun 2023 dan 2024 kembali perusahaan yang sama memenangkan pekerjaan komputasi awan dengan nilai kontrak tahun 2023 senilai Rp350.959.942.158 dan tahun 2024 senilai Rp256.575.442.952," ucapnya. 

Bani menjelaskan, perusahaan pemenang tender itu bermitra dengan pihak yang tidak mampu memenuhi persyaratan pengakuan kepatuhan ISO 22301. 

Akibat dari tidak dimasukkannya pertimbangan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai syarat penawaran, sehingga pada Juni 2024 terjadi serangan ransomware.

"Meskipun anggaran pelaksanaan pengadaan PDSN ini telah menghabiskan total sebesar lebih dari Rp959.485.181.470 (Rp959,48 miliar), tetapi pelaksanaan kegiatan tersebut tidak sesuai dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik yang hanya mewajibkan pemerintah untuk membangun Pusat Data Nasional (PDN) dan bukan PDNS serta tidak dilindunginya keseluruhan data sesuai dengan BSSN," ujarnya.

(Febrina Ratna Iskana)

SHARE