Krisis Utang, Raksasa Properti China Evergrande Hadapi Likuidasi
Pengadilan Hong Kong memerintahkan China Evergrande Group, pengembang real estate dengan utang terbesar di dunia, untuk menjalani likuidasi.
IDXChannel - Pengadilan Hong Kong memerintahkan China Evergrande Group, pengembang real estate dengan utang terbesar di dunia, untuk menjalani likuidasi.
Dilansir dari AP pada Senin (29/1/2024), keputusan tersebut keluar setelah kegagalan upaya restrukturisasi utang senilai USD300 miliar atau sekitar Rp4.500 triliun.
"Kurang ada kemajuan dari pihak perusahaan mengenai proposal restrukturisasi yang layak” serta kebangkrutan Evergrande," kata Hakim Linda Chan.
Perusahaan bisa mengajukan banding atas keputusan likuidasi. Bulan lalu, Evergrande sempat memperoleh penangguhan hukuman setelah pihaknya meminta waktu untuk menyempurnakan rencana restrukturisasi utang senilai USD300 miliar.
Tidak jelas bagaimana perintah likuidasi ini akan berdampak pada sistem keuangan China. Saham Evergrande yang diperdagangkan di Hong Kong anjlok hampir 21% pada Senin pagi sebelum dihentikan perdagangannya. Namun indeks acuan Hang Seng Hong Kong menguat 0,9% dan pengembang properti lainnya mencatat kenaikan. Harga saham pengembang real estate terbesar China, Country Garden, menanjak 2,9%, sementara Sunac China Holdings melonjak 4%.
Juga idak jelas bagaimana perintah likuidasi di Hong Kong akan memengaruhi operasi besar Evergrande di daratan China. Sebagai bekas jajahan Inggris, Hong Kong beroperasi di bawah sistem hukum yang terpisah, meski semakin dipengaruhi oleh sistem hukum China yang komunis. Dalam beberapa kasus, pengadilan di China daratan mengakui keputusan kebangkrutan di Hong Kong.
CEO Evergrande Shawn Siu mengatakan bahwa perusahaannya prihatin dengan perintah likuidasi tersebut. Dia menekankan bahwa perintah tersebut hanya memengaruhi unit China Evergrande yang terdaftar di Hong Kong. Menurutnya, unit grup di dalam dan luar negeri adalah badan hukum yang berbeda. Siu menambahkan bahwa Evergrande akan berusaha untuk terus beroperasi dan menyerahkan properti kepada pembeli.
Evergrande pertama kali gagal memenuhi kewajiban keuangannya pada 2021, setahun setelah Beijing membatasi pinjaman kepada pengembang properti dalam upaya untuk mendinginkan bubble di sektor tersebut.
Real estate mendorong pertumbuhan ekonomi China, namun para pengembang meminjam banyak uang ketika mereka mengubah kota menjadi hutan apartemen dan gedung perkantoran. Hal ini telah mendorong total utang korporasi, pemerintah, dan rumah tangga hingga setara dengan lebih dari 300% output perekonomian tahunan, yang merupakan angka yang sangat tinggi bagi negara berpendapatan menengah.
Dampak dari krisis properti juga berdampak pada industri perbankan bayangan China – lembaga yang menyediakan layanan keuangan serupa dengan bank tetapi beroperasi di luar peraturan perbankan, seperti Zhongzhi Enterprise Group. Zhongzhi, yang banyak memberikan pinjaman kepada pengembang, menyatakan perusahaannya bangkrut. (WHY)