PBB Sebut Angka Kelahiran Dunia Alami Penurunan Drastis, Dua Alasan Jadi Penyebabnya
PBB melaporkan angka kelahiran yang menurun drastis di seluruh dunia. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya biaya yang mahal.
IDXChannel – Laporan terbaru Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) melaporkan angka kelahiran yang menurun drastis di seluruh dunia. Itu lantaran ratusan juta orang tidak dapat memiliki jumlah anak seperti yang mereka harapkan.
Organisasi di bawah PBB itu melaksanakan survei kepada 14.000 orang di 14 negara tentang keinginan mereka untuk memiliki anak. Satu dari lima orang mengatakan mereka belum memiliki atau berharap tidak akan memiliki anak.
Negara-negara yang disurvei yaitu Korea Selatan, Thailand, Italia, Hungaria, Jerman, Swedia, Brasil, Meksiko, AS, India, india, Maroko, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah penduduk negara tersebut mencakup sepertiga dari populasi global.
Negara tersebut juga dilih karena mewakili negara berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi serta negara-negara dengan tingkat kesuburan rendah dan tinggi. UNFPA mensurvei orang dewasa muda dan mereka yang sudah melewati usia reproduksi.
"Dunia telah mengalami penurunan tingkat kesuburan yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata kepala UNFPA, Dr. Natalia Kanem, seperti dikutip dari BBC, Selasa (10/6/2025).
"Kebanyakan orang yang disurvei menginginkan dua anak atau lebih. Namun, angka kelahiran menurun sebagian besar karena banyak yang merasa tidak mampu menciptakan keluarga yang mereka inginkan, dan itulah krisis yang sebenarnya," sambungnya.
UNFPA mengatakan ada dua alasan utama yang menjadi penyebab turunnya angka kelahiran, yaitu biaya menjadi orang tua yang mahal, dan kurangnya pasangan yang cocok.
Secara rinci, survei itu menunjukkan bahwa di semua negara, 39 persen orang mengatakan keterbatasan finansial menghalangi mereka untuk memiliki anak. Respons tertinggi ada di Korea (58 persen), dan terendah di Swedia (19 persen).
Secara total, hanya 12 persen orang yang menyebutkan infertilitas, atau kesulitan untuk hamil, sebagai alasan tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Namun, angka itu lebih tinggi di negara-negara termasuk Thailand (19 persen), AS (16 persen), Afrika Selatan (15 persen), Nigeria (14 persen) dan India (13 persen).
"Ini adalah pertama kalinya [PBB] benar-benar mengerahkan segala upaya untuk mengatasi masalah angka kelahiran rendah," kata demografer di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, Prof Stuart Gietel-Basten.
Sampai saat ini, badan tersebut sangat berfokus pada wanita yang memiliki lebih banyak anak daripada yang mereka inginkan dan "kebutuhan yang tidak terpenuhi" akan kontrasepsi. Namun, UNFPA tetap menghimbau agar berhati-hati dalam menanggapi rendahnya angka kelahiran.
"Saat ini, yang kita lihat adalah banyaknya retorika bencana, baik kelebihan populasi atau menyusutnya populasi, yang mengarah pada respons yang berlebihan, dan terkadang respons yang manipulatif. Dalam hal upaya agar perempuan memiliki lebih banyak anak, atau lebih sedikit,” ujarnya.
Ia menunjukkan bahwa 40 tahun yang lalu, China, Korea, Jepang, Thailand, dan Turki semuanya khawatir populasi mereka terlalu tinggi. Pada 2015, mereka ingin meningkatkan angka kelahiran.
"Kami ingin mencoba sebisa mungkin untuk menghindari negara-negara tersebut memberlakukan kebijakan panik apa pun," kata Prof. Gietel-Basten.
"Kami melihat angka kelahiran yang rendah, populasi yang menua, stagnasi populasi digunakan sebagai alasan untuk menerapkan kebijakan nasionalis, anti-migran, dan kebijakan konservatif gender," katanya.
Di sisi lain, UNFPA menemukan hambatan yang lebih besar bagi anak-anak daripada keuangan yaitu kurangnya waktu karena orang tua yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja.
Hal itu juga dirasakan oleh salah satu ibu di Mumbai, India, Namrata Nangia, yang mengatakan dia menghabiskan sedikitnya tiga jam sehari untuk pergi ke kantor dan kembali. Saat sampai di rumah, dia kelelahan tetapi ingin menghabiskan waktu dengan putrinya.
"Setelah seharian bekerja, tentu saja anda merasa bersalah, sebagai seorang ibu, karena tidak cukup menghabiskan waktu dengan anak anda,” kata dia.
Adapun survei yang merupakan percontohan untuk penelitian di 50 negara akhir tahun ini memang masih terbatas dalam cakupannya. Terutama terkait menyangkut kelompok usia di suatu negara karena ukuran sampelnya terlalu kecil untuk membuat kesimpulan.
(Febrina Ratna Iskana)