News

Putin Tak Hadiri KTT G20 di Bali, Ini Tanggapan Pengamat

Winda Destiana 12/11/2022 10:37 WIB

Ketidakhadiran Putin secara langsung ke Bali harusnya membuat Jokowi jujur dalam pertimbangan geopolitik regional khususnya hubungan dengan Tiongkok

Putin Tak Hadiri KTT G20 di Bali, Ini Tanggapan Pengamat (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Ketidakhadiran secara langsung Presiden Rusia Vladimir Putin secara sengaja dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November mendatang dapat diartikan sebagai sinyal tidak menganggap Presiden Joko Widodo sebagai teman dekat.

Menurut pengamat komunikasi dari Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta, Algooth Putranto ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin secara langsung di KTT G20 menunjukkan pemimpin Rusia itu tidak merasa dekat dengan Presiden Jokowi.

“Secara kasat mata Rusia meski gemar berkoar menang mudah di front Ukraina, namun mendadak tanpa alasan jelas Putin tidak hadir di KTT G20. Ini menunjukkan Putin tidak cukup percaya diri dengan orang-orang di sekelilingnya mampu menangani tekanan di dalam negeri akibat ketidakpuasan pasca terpukul di front Ukraina dan sanksi negara Barat,” tuturnya.

Dia mencontohkan ketika Presiden Putin memilih menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) di Bali, Oktober 2013 sebagai balasan bagi kehadiran Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam KTT G20 di St. Petersburg, pada September tahun itu.

Secara langsung, ketidakhadiran Putin menunjukkan dia tak serius memberikan atensi kepada Presiden Joko Widodo yang sudah ke Moskow demi pembukaan koridor biji-bijian. 

“Dalam komunikasi, tradisi saling berbalas mengunjungi ini sangat penting. Dan Putin mengabaikan Jokowi!”  

Menurut Algooth ketidakhadiran Putin secara langsung dengan berbagai alasan menempatkan Presiden Jokowi di posisi sulit mengingat KTT G20 adalah salah satu etalase keberhasilan Indonesia selaku pemain global.

Indonesia menjadi tuan rumah presidensi G20 pada 2022 dan akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November mendatang. Tema KTT G20 tahun ini adalah Recover Together Recover Stronger dengan mengusung tiga fokus utama, yakni Global Health Architecture, Sustainable Energy Transition, dan Digital Transformation.

G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20  merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% produk domestik bruto (PDB) dunia. 

Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.

“Meski Putin menelpon langsung Jokowi, ketidakhadirannya secara langsung membuat KTT G20 berpeluang tidak mencapai komunike bersama. Gimana mau sepakat, Rusia sebagai salah satu pemain penting malah tak hadir!” tuturnya.

Ketidakberhasilan KTT G20 mencapai komunike bersama akan membuat negara-negara peserta G-20 termasuk Indonesia cenderung mengambil tindakan yang bersifat orientasi ke dalam (inward-oriented policies).

“Hal ini tidak lepas dari kondisi pemulihan ekonomi secara global yang tidak berjalan baik pasca epidemi Covid-19 yang terganggu akibat perang yang dilancarkan Rusia kepada Ukraina. Jangan heran hasil akhir G-20 akan cenderung seremonial serupa KTT-Asean di tangan Kamboja,” tuturnya.

Pada sisi lain, ketidakhadiran Putin secara langsung ke Bali harusnya membuat Jokowi jujur dalam pertimbangan geopolitik regional khususnya hubungan dengan Tiongkok sebagai sekutu Rusia yang sebetulnya tak sekuat yang disebutkan selama ini.

Data perdagangan Rusia-Tiongkok yang bisa diakses secara mudah menunjukkan Rusia hanya menyumbang 2 persen dari perdagangan Tiongkok pada tahun 2021. Jumlah itu sangat kecil dibandingkan hubungan perdagangan Beijing dengan Amerika Serikat dan Eropa yang mencapai 26 persen pada 2021.

Sebaliknya, Presiden Xi Jinping telah mendesak AS untuk menaikkan tarif produk Tiongkok. Dia juga berharap untuk meningkatkan hubungan dengan beberapa ibu kota Eropa. Sehingga jelas terlihat Tiongkok khawatir, kedekatan terlalu jauh dengan Putin dapat menyebabkan sanksi keuangan Barat terhadap Beijing.

Tidak itu saja, lanjutnya, sejak pecahnya perang, bank-bank Tiongkok telah berhenti menawarkan letter of credit untuk perdagangan dengan Rusia. Perusahaan energi Tiongkok, seperti Sinopec, telah membekukan proyek dengan mitra Rusia. 

Pemroses kartu kredit China UnionPay menolak bekerja sama dengan bank Rusia setelah Visa dan Mastercard berhenti melayani Rusia. Bahkan raksasa teknologi Tiongkok yang masuk daftar hitam di negara-negara Barat, Huawei telah mengurangi operasinya di Rusia untuk menghindari sanksi.

“Jadi sebaiknya, mitos bersikap tegas pada Rusia akan membuat Tiongkok marah tak perlu diputar ulang orang-orang di sekeliling pak Jokowi. Ekonomi Tiongkok yang melemah berkepentingan dengan proyek infrastruktur dan pasokan gas di Indonesia,” tegasnya.

(SAN)

SHARE