Simak Baik-Baik, Arcandra Tahar Ramal Prospek Investasi Migas 2023
Wakil Menteri ESDM 2016-2019 Arcandra Tahar mengutarakan pandangan terkait prospek investasi minyak dan gas bumi (migas) dunia tahun 2023.
IDXChannel - Wakil Menteri ESDM 2016-2019 Arcandra Tahar mengutarakan pandangan terkait prospek investasi minyak dan gas bumi (migas) dunia tahun 2023.
Hal itu disampaikannya melalui Instagram pribadinya @arcandra.tahar yang dikutip MNC Portal Indonesia pada hari ini, Selasa (21/2/2023).
Ia mengungkapkan, berbagai fakta yang terjadi di industri migas saat ini dan ke depan. Menurutnya, usai konflik Ukraina dan Rusia berlangsung hampir setahun dan pandemi Covid-19 terkendali dengan baik, harga minyak akan mencari titik kesetimbangan baru pada 2023.
Dari sisi permintaan, kebutuhan minyak dunia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2 juta barel per day (bpd) pada 2023.
"Sebaliknya dari sisi supply juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan kekurangan. Bahkan OPEC+ telah memangkas volume produksi bulan November 2022 sebanyak 2 juta bpd untuk menstabilkan harga minyak pada level USD80-USD90 per barel," jelas Arcandra.
Dia menerangkan, ditinjau dari sisi politik dunia, langkah OPEC+ memangkas produksi tahun lalu tidak sejalan dengan keinginan pemerintah Amerika Serikat (AS). Dengan berkurangnya pasokan, AS khawatir harga minyak akan tetap tinggi dan menyulitkan ekonomi AS yang sedang berjuang menurunkan inflasi.
"Namun, OPEC+ melihat kestabilan harga pada level USD80-USD90 per barel jauh lebih utama daripada pertimbangan naiknya inflasi di hampir seluruh negara maju di dunia," jelas dia.
Arcandra yang juga pakar energi itu menuturkan, kalau boleh menganalisa lebih dalam, sistem kapitalis yang mengedepankan perdafangan bebas dan ditopang oleh hukum pasokan dan permintaan telah dimanfaatkan dengan baik oleh OPEC+. Sisi pasokan ternyata dapat mengontrol harga pada tahun lalu.
Bagaimana dengan tahun 2023? Apakah sisi permintaan dapat mengontrol harga?
"Sekali lagi kami selalu mengatakan bahwa tidak ada sekelompok orang atau organisasi atau bahkan kepala negara yang mampu memprediksi harga minyak pada masa datang. Selain hukum supply dan demand, harga minyak dipengaruhi banyak hal termasuk geopolitik dunia," terangnya.
Arcandra menilai, dengan naiknya permintaan sekitar 2 juta bpd di 2023, dan pemangkasan produksi OPEC+ tahun 2022 ada kemungkinan harga minyak tetap bertahan pada level USD80-USD90 per barel di tahun ini. Salah atau faktor yang mungkin bisa mengubah level harga ini adalah berakhirnya konflik Ukraina-Rusia.
Dalam analisisnya itu, Arcandra juga berpendapat, banyak skenario mungkin akan terjadi, di antaranya adalah pipa gas Nordstream 1 dan 2 diperbolehkan untuk beroperasi dengan normal, sehingga pasokan gas ke negara-negara Eropa dapat terpenuhi kembali.
Dengan normalnya pasokan gas ke Eropa, maka inflasi tinggi yang diakibatkan oleh krisis energi bisa teratasi. Dampaknya, kebutuhan minyak mentah dan batu bara otomatis juga akan terkoreksi dan harga minyak kemungkinan bisa turun pada level dibawah USD80 per barel.
"Namun demikian, jika berakhirnya konflik Ukraina-Rusia dengan beberapa syarat yang membuat sektor energi Rusia tertekan atau tidak berjalan dengan semestinya, maka harga minyak bisa tetap di level USD80-USD90 per barel atau bahkan lebih tinggi. Negara-negara pengimpor minyak tentu akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan energi mereka," paparnya.
Bagaimana dengan perusahaan migas terbesar dunia seperti ExxonMobile, Chevron, Shell, BP, Equinor dan Total Energies menyikapi harga minyak yang tinggi di tahun 2022 dan strategi di tahun 2023?
Menurut Arcandra, Operating Cash Flow (OCF) dari 6 perusahaan minyak di tahun 2022 memecahkan rekor tertinggi yang pernah terjadi. Sejak tahun 2006, rekor tertinggi pernah terjadi pada tahun 2008 yang nilainya mencapi USD220 miliar. Namun pada tahun 2022 rekor ini terlampau dengan OCF mencapai USD320 miliar.
"Peningkatan OCF yang sangat signifikan ini bisa dimaknai dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah industry oil and gas belum menemui titik balik untuk menjadi sunset industry. Selain masih menghasilkan keuntungan yang sangat besar, kebutuhan dunia akan fosil energi masih belum tergantikan," jelasnya.
Akibat besarnya OCF di tahun 2022, perusahaan migas raksasa mulai kelihatan goyah dengan komitmen mereka yang akan mengurangi investasi di sektor energi fosil.
"BP misalnya berjanji di tahun 2020 akan mengurangi produksi oil dan gas sebanyak 40% pada tahun 2030. Namun janji itu mereka ubah menjadi hanya 25% pada tahun 2030," jelas dia.
Lebih lanjut Arcandra menjelaskan, dari sisi investasi, capital investment yang dianggarkan oleh ExxonMobil dan Shell tahun ini juga luar biasa. ExxonMobil punya anggaran sekitar USD23-USD25 miliar sementara Shell sekitar USD23-USD27 miliar. Patut diduga capital investment ini sebagian besar akan mengalir ke sektor migas.
Begitu juga dengan perusahaan minyak dunia yang lain. Anggaran investasi di sektor migas meningkat 15% dibandingkan tahun 2022.
"Dengan anggaran investasi yang cukup besar di tahun ini dan diperkuat oleh prediksi harga minyak yang stabil di level USD80-USD90 per barel, kegiatan eksplorasi di wilayah-wilayah yang dulunya dianggap kurang menarik dan susah, sekarang mulai dilakukan," papar dia.
"Diharapkan di tahun-tahun mendatang penemuan ladang minyak baru yang signifikan bisa terealisasi, sehingga kebutuhan dunia terhadap minyak bisa terpenuhi," tukas Arcandra.
(YNA)