News

Tok, MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen

Achmad Al Fiqri 02/01/2025 16:24 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Sebelumnya, pencalonan presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi DPR sedikitnya 20 persen atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional.

Keputusan tersebut merupakan respons Mahkamah atas judicial review dengan nomor gugatan 62/PUU-XXI/2023. Putusan dibacakan di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Suhartoyo.

Pemohon yang bernama  Enika Maya Oktavia melakukan gugatan atas norma dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Terhadap gugatan tersebut, Hakim Suhartoyo bersama hakim-hakim lainnya mengabulkan gugatan tersebut. MK menyatakan pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya.

Dissenting Opinion Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic

Dalam putusan tersebut, dua Hakim Konstitusi memberikan perbedaan pendapat (dissenting opinion). Kedua hakim tersebut yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

"Terhadap putusan terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh," kata Suhartoyo.

Suhartoyo menganggap perbedaan pendapat itu dianggap dibacakan. Namun, dia mengatakan, pokok dissenting opinion adalah pemohon dinilai tak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

"Pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga statusnya Mahkamah seharusnya tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan," kata Suhartoyo.

(Rahmat Fiansyah)

SHARE