Technology

Nasib Startup RI di Tengah ‘Kuasa Digital’ Google

Maulina Ulfa - Riset 12/10/2022 15:12 WIB

Di tengah lesunya bisnis startup Tanah Air, Google bisa tetap cuan dengan kebijakan Google Pay Billing (GPB).

Nasib Startup RI di Tengah ‘Kuasa Digital’ Google. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kehadiran Google, sebagai perusahaan teknologi di Indonesia, mulai mendapatkan perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Beberapa waktu lalu, lembaga ini mulai melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaraan UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh Google dan anak usahanya di Indonesia.

Menurut KPPU, Google melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi digital di Indonesia.

Dalam amatan KPPU, perusahaan yang didirikan oleh Google didirikan oleh Larry Page dan Sergey Brin ini mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu.

GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan kepada aplikasi sebesar 15 hingga 30% dari pembelian.

“Kewajiban ini ditemukan KPPU sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 % dari harga konten digital yang dijual,”ujar KPPU dalam keterangan tertulis di websitenya pada 15 September lalu.

Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5%.

Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda. Perusahaan asal Amerika Serikat ini mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).

Google juga hanya menggunakan satu payment system. Sementara beberapa penyedia payment system lain tidak memperoleh kesempatan yang sama untuk metode pembiayaan tersebut.

'Digital Dictatorship’ Google

Bagi pengembang atau developer aplikasi, dominasi Google Play Store cukup kuat karena mayoritas pengguna aplikasi di Indonesia mengunduhnya di Google Play Store.

KPPU menyebut Google Play Store menjadi platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93%.

Beberapa platform lain tercatat turut mendistribusikan aplikasi seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery. Namun, mereka bukan subsitusi sempurna dari Google Play Store.

Praktik monopoli ini sebenarnya bukan barang baru bagi perusahaan pimpinan Sundar Pichai ini. Google pernah mendapatkan laporan antimonopoli di Amerika Serikat hingga Uni Eropa.

Di negeri asalnya, Google didakwa melakukan monopoli algoritma oleh Departemen Kehakiman AS terkait mesin pencarian dan aktivitas iklan digital.

Pada 2020, Departemen Kehakiman menggugat raksasa teknologi atas dominasinya di pasar pencarian online, menuduh perusahaan “secara tidak sah mempertahankan monopoli di pasar untuk layanan pencarian umum, iklan pencarian, dan iklan teks pencarian umum di AS.”

Google menolak gugatan tersebut dengan alasan konsumen menggunakan produknya karena Google mengklaim diri lebih unggul.

Jonathan Kanter, kepala divisi anti-persaingan Departemen Kehakiman AS berpendapat bahwa Google terkenal karena menggunakan "buku pedoman" anti-persaingan untuk memotong ‘pasokan oksigen’ ke pesaingnya.

Laporan terbaru Bloomberg, Departemen Kehakiman sedang mempersiapkan gugatan antimonopoli besar kedua terhadap Google.

Tidak seperti kasus pertama yang diprakarsai oleh pemerintah federal di era Trump, gugatan baru akan fokus pada laporan perusahaan terkait pasar iklan digital.

Di Eropa, Google terbukti melakukan monopoli serupa dan harus membayar denda sebesar 2,42 miliar Euro karena penyalahgunaan dominasi mesin pencari.

Fenomena ini disebut oleh Anggota Parlemen Jerman, Axel Voss, sebagai Google digital dictatorship, dalam gugatannya terhadap Google terkait perannya dalam melakukan monopoli di pasar aggregator berita di benua Biru.

“Mereka menggunakan kekuatan ekonomi mereka untunk mengambil segalanya melalui cara mereka. Kondisi pers kami sangat terdampak karena mereka tidak lagi menerima keuntungan akibat monopoli internet ini,” ujar Voss mengutip euractiv.com.

Di Prancis, pada 2021, badan antimonopoli setempat juga menuduh raksasa teknologi AS itu menggunakan dominasinya atas penjualan dan pembelian iklan di platformnya. Tujuannya untuk mendistorsi pasar demi keuntungannya sendiri. Akibatnya, Google harus membayar denda senilai 220 juta euro.

Nasib Start-Up di Bawah Monopoli Google

Industri startup Tanah Air disebut yang paling terdampak dari kebijakan Google ini. Hal ini karena ciri khas startup yang harus membangun aplikasi dalam operasional bisnis mereka.

Langkah Google di Indonesia ini memang perlu untuk ditindaklanjuti. Pasalnya, ekosistem startup Tanah Air sedang dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi.

Dari badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah startup, hingga startup yang dinyatakan pailit atau bangkrut, menunjukkan ekosistem bisnis digital ini menunjukkan tren kelesuan.

Terkenal dengan bisnis yang bergantung pada modal ventura dan angel investor, startup harus merestrukturisasi bisnis mereka di tahun ini hingga tahun depan.

Hal ini karena diproyeksikan pendanaan bagi startup diramalkan akan terus turun. CB Insights memproyeksikan pendanaan modal ventura untuk startup akan turun lagi pada Q3 2022.

Menurut laporan CB Insights, pendanaan startup skala global diprediksi akan mencapai USD83,88 miliar pada akhir Q3 2022. Turun dari kuartal sebelumnya yang mencapai USD 110,9 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

Ini juga menjadi momen pertama pendanaan startup global berada di bawah level USD100 miliar per kuartal dalam setahun terakhir.

CB Insights memperkirakan pendanaan startup akan terus turun setidaknya hingga tahun depan. Kondisi ini didorong melemahnya kinerja portofolio para modal ventura serta terus meningkatnya suku bunga acuan di banyak negara.

Sementara Google tetap meraup cuan di tengah perlambatan ekonomi global dan upaya monopoli ini.

Laba bersih perusahaan induk Google, Alphabet Inc. dilaporkan turun selama dua kuartal berturut-turut di tengah pendapatan Google Services yang tercatat masih naik.

Laba bersih Alphabet turun menjadi USD16 miliar pada Q2 2022, sementara di tahun 2021 mencapai USD18,5 miliar di periode yang sama.

Adapun pendapatan dari Google Services mencapai USD62,8 miliar hingga Juni 2022. Sementara di tahun 2021 hanya mencapai USD57,06 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Rincian Pendapatan Alphabet per Segmen

Sumber: Laporan Keuangan Alphabet

Google Services mencakup produk dan layanan seperti iklan, Android, Chrome, perangkat keras, Google Maps, Google Play, Penelusuran, dan YouTube.

Google Services menghasilkan pendapatan terutama dari iklan, penjualan aplikasi dan pembelian dalam aplikasi, produk konten digital, dan perangkat keras, hingga produk berbasis langganan seperti YouTube Premium dan YouTube TV.

Bahkan Google dikabarkan akan melakukan PHK dalam waktu dekat. Alasan efisiensi dari kondisi perlambatan ekonomi global menjadi jurus terjitu perusahaan ini.

Sudah saatnya pasar melalui KPPU melakukan peninjauan kembali atas kiprah perusahaan teknologi AS ini. Di tengah perkembangan teknologi yang kian tak terbendung, seharusnya dominasi pasar bisa lebih diminimalisir dan diregulasi. Google telah berhasil menundukkan pasar hingga pemangku kebijakan dewasa ini. (ADF)

SHARE