sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Soal RUU Sektor Keuangan, DPR Minta Independensi OJK dan BI Dipertahankan

Banking editor Giri Hartomo
28/04/2021 05:25 WIB
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang merancang Undang-Undang Reformasi, Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU RPPSK). 
Soal RUU Sektor Keuangan, DPR Minta Independensi OJK dan BI Dipertahankan (FOTO: MNC Media)
Soal RUU Sektor Keuangan, DPR Minta Independensi OJK dan BI Dipertahankan (FOTO: MNC Media)

IDXChannel - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang merancang Undang-Undang Reformasi, Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU RPPSK). 

RUU RPPSK sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021 ini, akan disusun dan akan diterbitkan menjadi Omnibus Law Sektor Keuangan. Undang-undang sapu jagat ini diharapkan dapat memperkuat kewenangan lembaga sektor moneter dan keuangan, seperti BI, OJK dan LPS, untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. 
 
Di sisi lain, dirinya menilai  peraturan perundang-undangan dan kelembagaan saat ini masih kuat mengatasi dampak pandemi Covid-19 pada sistem keuangan. Termasuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.  
 
“Ini harus menjadi perhatian dalam pembahasan RUU RPPSK. Mengingat banyak masalah di sektor keuangan akibat pandemi bersifat temporer,” ujar, Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun di Jakarta, Selasa (27/4/2021). 
 
Dia menegaskan independensi regulator moneter dan keuangan perlu dipertahankan. Menurut Misbakhun, dalam RUU RPPSK  ada potensi mengganggu independensi BI dan OJK karena Pemerintah melalui Menteri Keuangan berhak menetapkan keputusan dalam rapat KSSK, serta dapat menunjuk Dewan Pengawas OJK dan BI.  
 
“Jika independensi ini tergores, maka kredibilitas pasar keuangan Indonesia di dalam dan di luar negeri akan terancam karena independensi kedua lembaga otoritas keuangan inilah yang menjadi kunci kepercayaan terhadap kebijakan moneter dan keuangan sebuah negara,” jelasnya. 
  
Dalam draf RUU RPPSK, diatur penataan ulang kewenangan kelembagaan KSSK yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI dan Ketua OJK. Pengambilan keputusan KSSK dilakukan dalam rapat KSSK secara musyawarah untuk mufakat. 
 
Namun, jika tidak tercapai kesepakatan, Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK mengambil keputusan atas nama KSSK dan keputusan itu sah mengikat setiap anggota KSSK dan/atau pihak terkait. 
 
Berbeda dengan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam undang-undang ini, pengambilan keputusan rapat KSSK dilakukan  oleh  Menteri  Keuangan,  Gubernur BI dan Ketua OJK berdasarkan  musyawarah untuk mufakat. Namun, jika tidak mencapai mufakat, pengambilan  keputusan  dilakukan berdasarkan suara terbanyak. 
 
Masalah lain yang perlu mendapatkan perhatian, adalah masalah temporer. Permasalahan sektor keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19 harus bisa dianalisis sebagai masalah yang bersifat temporer atau masalah yang bersifat permanen, sehingga  solusi yang dilakukan tepat sasaran.
  
Selanjutnya, kemampuan leadership. Jika permasalahan sektor keuangan memiliki kompleksitas sebagai gabungan dari masalah bersifat sementara dan masalah bersifat permanen, maka solusi yang ditawarkan adalah kemampuan leadership dalam forum KSSK.
 
Misbakhun juga menjelaskan jika Omnibus Law Sektor Keuangan juga harus diikuti perubahan regulasi fiskal. UU RPPSK juga harus meliputi UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara agar bisa dikatakan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
  
“Namun, jika hanya direvisi lewat amandemen undang-undang BI, undang-undang OJK dan undang-undang LPS, maka ini artinya revisi UU RPPSK hanya akan menyasar pada undang-undang sektor moneter. Padahal, dibutuhkan juga revisi amandemen di sektor fiskal,” papar jelasnya. (RAMA)

Advertisement
Advertisement