IDXChannel - Beberapa investor melihat adanya potensi kerentanan di pasar obligasi Amerika Serikat (AS) serta tanda bahaya dari pergerakan harga yang bergejolak belakangan ini. Mereka menilai pasar masih mengabaikan risiko fiskal jangka panjang dan bahaya dari tekanan Gedung Putih terhadap bank sentral untuk memangkas suku bunga.
Pasar obligasi AS sempat mengalami aksi jual pada awal pekan ini ketika kekhawatiran atas kesehatan fiskal global meningkat. Namun, tekanan itu cepat mereda dan obligasi kembali reli setelah data ekonomi yang lemah dirilis.
Reli berlanjut pada Jumat, ketika perlambatan tajam pertumbuhan lapangan kerja AS meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan mempercepat laju pelonggaran moneter lebih dari perkiraan.
Meski demikian, investor mengatakan mereka tetap khawatir dengan pasar.
"Kekhawatiran saya adalah kita berada dalam situasi yang memburuk perlahan tanpa disadari," kata manajer portofolio strategi obligasi global di DoubleLine, Bill Campbell, dilansir Investing, Sabtu (6/9/2025).
Dia merujuk pada risiko melemahnya kekuatan institusi, khususnya tekanan terbaru dari Gedung Putih kepada The Fed untuk memangkas suku bunga, serta faktor lain seperti memburuknya arah fiskal AS.
Beberapa indikator risiko di pasar obligasi menunjukkan bahwa investor mulai memperhitungkan potensi sikap The Fed yang terlalu dovish, yang pada akhirnya bisa memicu inflasi lebih tinggi di masa mendatang.
Term premium Treasury AS, komponen dari imbal hasil Treasury dan ukuran kompensasi yang diminta investor atas risiko memegang obligasi jangka panjang, naik menjadi 84 basis poin pada Selasa, level tertinggi dalam lebih dari tiga bulan, menurut data terbaru Fed New York.
Ekspektasi inflasi dalam 10 tahun ke depan, yang diukur melalui Treasury Inflation-Protected Securities (TIPS), menyentuh 2,435 persen pada 27 Agustus, level tertinggi dalam lebih dari sebulan. Angka tersebut kemudian menurun dan terakhir tercatat di 2,36 persen pada Jumat.
Namun pelaku pasar mengatakan sulit untuk mengisolasi faktor pendorong di balik pergerakan ini. Mereka menyebut sejumlah isu, termasuk tekanan pada The Fed untuk menurunkan suku bunga, dampak inflasi dari tarif Presiden Donald Trump, serta kekhawatiran atas arah utang AS dan meningkatnya tingkat utang global.
Semua faktor tersebut mendukung perdagangan yang bertaruh pada steeper yield curve, yakni ketika obligasi jangka panjang menjadi kurang menarik dibandingkan surat utang jangka pendek. Kurva yang semakin curam biasanya menandakan bahwa investor memperkirakan suku bunga akan lebih tinggi di masa depan karena aktivitas ekonomi lebih kuat dan inflasi lebih tinggi.
Kurva imbal hasil juga bisa menanjak ketika yield Treasury jangka pendek turun karena ekspektasi kuat terhadap pelonggaran moneter, sementara yield jangka panjang bergerak naik atau turun lebih lambat akibat kekhawatiran pemangkasan suku bunga, dapat memicu inflasi yang lebih tinggi dalam jangka panjang.
(NIA DEVIYANA)