IDXChannel – Saham-saham emiten produsen minyak dan gas (migas) cenderung berbeda arah pada perdagangan Kamis (31/7/2025) di tengah kenaikan harga komoditas energi di pasar global dalam beberapa hari terakhir.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), pukul 10.00 WIB, saham PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) meningkat 3,01 persen dan induknya, PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) terapresiasi 3,16 persen.
Serupa, saham PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS) tumbuh 1,67 persen, PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) naik 0,75 persen dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) terkerek 0,85 persen.
Berbeda, ELSA minus 0,81 persen, APEX turun 0,75 persen, dan MEDC berkurang 0,75 persen.
Harga minyak ditutup naik 1 persen pada Rabu (31/7/2025), seiring investor menyoroti tenggat waktu yang diperketat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bagi Rusia untuk mengakhiri perang di Ukraina, serta ancaman tarif terhadap negara-negara yang berdagang minyak dengan Rusia.
Kontrak berjangka (futures) minyak Brent untuk pengiriman September—yang akan berakhir pada Kamis—ditutup meningkat 1,01 persen ke level USD73,24 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 1,14 persen ke USD70 per barel.
Dengan ini, harga minyak sudah menguat tiga hari berturut-turut.
Kenaikan ini terjadi meski investor cenderung mengabaikan data persediaan minyak dan bahan bakar AS yang bercampur.
Pada Selasa, Trump menyatakan akan memberlakukan langkah-langkah terhadap Rusia, termasuk tarif sekunder sebesar 100 persen kepada mitra dagang Rusia, jika Moskow tidak menunjukkan kemajuan dalam mengakhiri perang dalam 10 hingga 12 hari—lebih cepat dari tenggat 50 hari yang ia tetapkan sebelumnya.
Ia juga menetapkan tarif impor sebesar 25 persen atas barang dari India mulai 1 Agustus, disertai sanksi tambahan bagi negara yang membeli senjata dan minyak dari Rusia. AS juga memperingatkan China—pembeli terbesar minyak Rusia—bahwa mereka bisa dikenai tarif besar jika tetap melakukan pembelian.
Analis JP Morgan menulis, meski kecil kemungkinan China mematuhi sanksi AS, India telah memberi sinyal akan mematuhi, yang dapat berdampak pada sekitar 2,3 juta barel per hari ekspor minyak Rusia.
“Pelaku pasar tampaknya lebih fokus pada isu tarif terkait Rusia, dan kepatuhan India terhadap sanksi ini dipandang sebagai sentimen positif bagi harga minyak,” ujar Wakil Presiden Senior bidang trading di BOK Financial, Dennis Kissler, dikutip Reuters.
Sementara itu, data dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan persediaan minyak mentah AS naik 7,7 juta barel, berbanding terbalik dengan ekspektasi penurunan sebesar 1,3 juta barel menurut jajak pendapat Reuters.
Stok bensin AS turun 2,7 juta barel, melampaui perkiraan penurunan sebesar 600.000 barel. Stok distilat—termasuk solar dan minyak pemanas—naik 3,6 juta barel, jauh di atas perkiraan kenaikan 300.000 barel.
Pertumbuhan ekonomi AS juga meningkat lebih tinggi dari perkiraan pada kuartal II-2025. Namun, lonjakan ini dinilai menyesatkan karena sebagian besar didorong oleh penurunan impor, sementara permintaan domestik justru tumbuh paling lambat dalam 2,5 tahun terakhir.
Federal Reserve (The Fed) tetap mempertahankan suku bunga dalam keputusan yang terbagi, tanpa memberikan sinyal pasti kapan biaya pinjaman akan diturunkan. Ketua The Fed Jerome Powell juga menyatakan terlalu dini untuk memastikan apakah bank sentral akan memangkas suku bunga pada September seperti yang diperkirakan pasar keuangan. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.